✧・゚:*Forty Fourth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Bermimpi kadang terasa lebih baik, kita hanya terus berdansa di antara awan-awan tanpa ada yang menganggu.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Dua Minggu lagi ujian semester, dan kedua mataku harus bersitatap dengan Sonia. Kali ini di gudang sekolah. Entah Miss Helen, guru bahasa Inggris kami, sengaja meminta kita berdua untuk memindahkan kertas sele-sele ke gudang atau mungkin melihat kami berdua yang tidak terlihat terburu-buru untuk pulang.
Alvian sakit dia tidak datang. Alvin tidak lagi datang ke mimpi. Aku lebih banyak menghabiskan hariku dengan mengulang-ulang pelajaran atau menatap buku yang sering kutulisi saat kegundahan menyerang. Buku yang menceritakan tentang Alvin dan segala rasa sakitku.
Caroline pulang begitu saja dengan wajah yang sama muramnya seperti kemarin, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hanya bisa menanyakan kabarnya sesekali, berharap dia tidak tersinggung.
Hening. Tentu saja. Tidak mungkin aku dan Sonia bercakap-cakap sepanjang perjalanan menuju ke gudang. Hanya ditemani suara langkah kaki saja sudah membuatku bergidik ngeri, apalagi diajak bicara olehnya.
Hatiku terus melantunkan kalimat penenang. Aku benar-benar takut apabila Sonia tiba-tiba menyerangku seperti sewaktu di toilet, apalagi keadaannya sepi begini. Tiga minggu, tiga minggu lagi sekolah akan libur, dan aku bisa tenang di rumah.
Aku mempercepat langkahku, mungkin setengah berlari adalah kalimat yang tepat. Gudang ini tidak pernah dikunci, isinya hanya barang-barang bekas atau barang-barang yang ketinggalan. Dan sampai detik ini, aku tidak tahu siapa yang mengunciku, hampir setahun yang lalu sejak peristiwa itu terjadi, meninggalkan misteri tanpa jawaban.
Bruk!
Ada tendangan pada kakiku yang membuatku langsung terjatuh, kardus yang kubawa langsung terlempar ke sembarang arah, berserakan. Dengan posisi telungkup, aku meringis kesakitan.
Kenapa ini terjadi lagi? Aku sudah bosan dengan semua penderitaan ini.
"Tidak terasa kita sudah mau naik kelas, dan tidak terasa pula sudah setahun aku bersama dengan orang menjijikkan sepertimu." Kalimat itu melintasi gendang telingaku, aku tidak terlalu menggubrisnya, lebih fokus untuk berdiri.
"Dan kamu ternyata punya teman." Sonia menginjak punggungku. Rasa sakit menyerang, tenaganya kuat, fisikku yang lemah tidak akan sanggup melawan gaya yang ia berikan. "Dua pula, beruntung."
Belum sempat aku berdiri, dia menekan punggungku, membuatku tertahan di atas lantai. "Seandainya kamu mengerti diriku. Kamu hanya mengacaukan segalanya. Kamu senang, ha?!"
Apalagi yang kukacaukan? Sonia tidak pernah memperjelas kebenciannya itu. Dia tidak pernah dengan jelas memberitahu kesalahan apa yang sebenarnya kuperbuat? Kenapa dia menyiksaku terus-menerus?
Dadaku sesak, aku ingin pulang, bukan malah harus menerima cacian Sonia yang membuat hatiku tergerus. Sudah cukup kepalaku sakit akibat memikirkan orang-orang di sekitarku. Aku hanya ingin hidup tenang.
"Jawab, Bodoh!" Sonia menjambak rambutku, begitu kuat sampai aku terlepas dari posisi telungkup. Tubuhku terangkat, kita aku berada tepat di hadapannya, tepat di hadapan iblis yang pernah membuatku ingin menghilang dari dunia ini.
Jawaban apa lagi yang harus kuberikan? Meminta maaf? Aku sudah sering mengucapkan permintaan maaf. Aku merapatkan gigiku, berusaha untuk tetap kuat melawan rasa sakit.
"Karena ini hari terakhirmu, biar aku beritahukan semua kesalahanmu!" Dia membentakku, matanya melotot ke arahku, dia terlihat mengerikan. Apa maksudnya dengan hari terakhir?
Dia mengeluarkan sebuah silet. Aku langsung meronta-ronta saat menyadari apa yang akan dia lakukan, sia-sia, dia menjambak rambutku, membuatku tidak bisa lari. Pisau silet itu ia todong di depan mataku.
Seluruh tubuhku bergetar. Aku memang pernah ingin mati, namun tidak dengan sekarang. Bibi sekarang sudah sembuh, dan aku sudah berjanji pada Alvian, aku ... aku .... Rasanya ingin menjerit, tapi seperti ada yang menahan tenggorokanku.
"Kamu merebut Caroline dariku." Caroline mendekatkan pisau siletnya, jaraknya hanya beberapa senti dari mataku. "Caroline marah karena aku terus menerus menindasmu! Padahal aku sedang berusaha ...." Sonia menghentikan ucapannya, ia merapat giginya dengan erat, membuang muka.
Kepalaku rasanya hendak meledak saat mendengar kalimat yang keluar dari gadis berambut hitam itu, tatapan matanya yang mengerikan membuat seluruh tubuhku, aku benar-benar tidak bisa berpikir di situasi saat ini.
"Tidak ada yang mengerti diriku!" Sonia kembali meneriaki kalimat itu. "Bahkan kamu masih tidak mengerti diriku setelah kuberikan rasa sakit ini!"
Sonia sadar kalau yang sedang dia berikan adalah rasa sakit? Kenapa dia tidak berhenti? Kenapa dia terus melakukannya meskipun dia tahu kalau ini adalah perbuatan yang salah.
"Kamu sampah menjijikkan!" Dia menarik-narik rambutku dengan emosi. "Kenapa masih ada yang mau berteman denganmu, hah?! Kenapa aku tidak seberuntung dirimu?!"
Aku terus diam. Aku tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa membiarkan Sonia berteriak-teriak di depanku.
"Kenapa saat aku ditindas tidak ada yang menolongku?!" Wajah Sonia memerah. "Kenapa ... aku tidak beruntung sepertimu?!"
Kalau aku beruntung, aku tidak akan pernah ditindas, aku akan menjalani masa remaja dengan normal sebagaimana halnya yang dirasakan orang normal. Jika aku beruntung, aku tidak perlu membenci masa laluku. Jika aku beruntung, aku tidak akan pernah berpikir untuk mati!
Aku tidak berani melontarkan semua itu pada Sonia. Melihat pisau silet digenggamnya sudah cukup untuk membuatku tidak berdaya. Buku jari Sonia memerah, dia menggengam gagang pisau begitu erat.
"Lidahmu belum pernah mencicipi rasa sepatu yang penuh ampas pasir bukan?" Air mata Sonia jatuh dari pelupuknya, tangannya bergetar. "Kamu belum pernah meminum air bekas pel bukan? Kepalamu juga belum pernah diinjak 'kan?!"
Suaranya yang semakin lantang memenuhi lorong. Kenapa tidak ada yang datang? Dengan suara yang sekeras itu, kenapa belum ada yang datang? Peluh mengalir dari pelipisku, seragamku mulai bersimbah keringat.
"Tidak ada yang menyelematkanku sebagaimana Alvian menyelamatkanmu! Tidak ada membelaku seperti Caroline yang terus melindungimu! Dan ... dan ... aku masih harus tersiksa saat mereka datang kembali, bahkan orang dalam toilet tidak keluar untuk membantu!" Kepala Sonia menunduk, air matanya mengenai lantai keramik.
Aku tidak mengerti siapa "mereka" yang dirujuk Sonia. Perasaan takutku lebih kuat, telah memenuhi seluruh pikiranku.
"Kamu tidak mengerti 'kan?" Sonia melotot padaku, matanya merah. "Karena. Kamu. Lebih. Beruntung. Dariku!" Dia menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Mataku menangkap goresan pada leher Sonia yang tadinya tertutupi rambut. Aku pernah melihatnya sekilas sekali saat di toilet, saat dia menyuruhku menjilat sepatunya. Goresan itu—
Sonia menggeser rambutnya, membuatku bisa melihatnya semakin jelas. "Kurasa kita harus memiliki tanda yang sama. Tanda bahwa kamu juga sampah! Tanda bahwa kamu lemah!" Jambakannya semakin kuat saat aku berusaha menghindari pisau silet itu. "Ini akan menyakitkan kalau kamu terus bergerak, akan meninggalkan bekas!"
Pisau silet yang ada pada genggaman Sonia semakin dekat. Aku mau berteriak, tapi suaraku tidak mau keluar. Kenapa belum ada yang datang menolongku? Kenapa Sonia sampai mau melukaiku? Apa salahku padanya? Kenapa aku 'terlihat seperti sampah di matanya?
Ada rasa perih pada leherku. Sonia tidak berhenti terisak-isak. Semua ucapannya tadi berputar dalam otakku, meninggalkan gelagapan. Otakku mulai merespon rasa sakit pada leherku, aku merapatkan gigiku, menahan rasa perih. Aku tidak bisa bergerak.
Siapapun, tolong aku ....
Air mataku memenuhi pelupukku tanpa kusadari, tubuhku gemetaran. Pandanganku memburam. Kepalaku sangat sakit, lebih sakit dari luka yang ada di leher.
Ada suara tapak kaki yang terdengar, semakin lama semakin dekat. Ada yang memanggil namaku. Suaranya terdengar akrab, tapi aku tidak bisa mengenali siapa pemilik suara itu, kepalaku seperti baru saja dihantam dengan benda keras.
Napasku terpotong-potong. Sesak. Dadaku seperti ditekan oleh kesedihan dan ketakutan. Rasa perih pada leherku bertambah, Sonia menambah lukanya. Kulihat ada seseorang yang menariknya menjauhiku, dan selanjutnya pandanganku berubah menjadi hitam gelap.
TBC~
26 Juni 2021
Lemony's note
Setelah menghilang selama tiga bulan, aku kembali lagi! Hi semuanyaa! 🦕💖
Sudah paham motif Sonia melakukan ini semua? Dan ada yang sadar ga kalau biasanya saat Tara pingsan, pandangannya menjadi putih bersih, tapi yg kali ini, pandangannya jadi hitam gelap?
Huff, sudah lama ga update. Aku malah lebih fokus pada cerita baru /ditabok. Sebentar lagi tamat, kok. Berarti sebentar lagi Memoriam akan di-unpub untuk direvisi, doakan lancar ya.
Semoga aku bisa menulis ending-nya dengan baik.
Terima kasih buat semuanya yang masih setia membaca /tebar bunga/
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro