Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Forty First Memory*:・゚✧

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kalau kamu merasa tidak baik-baik saja, aku tetap akan mendengarmu, menemanimu, dan menyemangatimu meski sebenarnya aku juga berada di posisi yang sama
  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Apakah aku senang? Bukan, bukan rasa senang, lebih ke rasa lega karena Alyssa tidak akan lagi bisa menindasku. Satu luka tidak akan melebar lagi.

Perkataan Caroline tempo hari membuat batinku seperti teracak-acak. Aku tidak bisa mendeskripsikan dengan betul wajah Caroline saat itu. Entah itu marah, kecewa, sedih, aku tidak tahu.

Pada dasarnya, Caroline tidak pernah bercerita hal seperti perasaannya atau apa yang sedang ia lalui. Apakah dia memang tidak punya masalah atau dia hanya menyembunyikannya?

Di klub tadi Caroline juga terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak berniat berbicara denganku, sepertinya. Apa mungkin ini hanya perasaanku? Aku sering berpikir yang berlebihan, menciptakan asumsi mengerikan yang akan membunuhku sendiri.

Ting!

Ada bunyi notifikasi. Aku langsung melirik ke arah ponselku, ternyata yang mengirim pesan adalah Alvian.

Alvian
Tara, aku mau datang ke rumahmu. Bisa?

Ini pertama kalinya Alvian ingin datang tiba-tiba. Biasanya dia hanya akan mampir bila mengantarku pulang sesekali. Entah apa yang membuatnya ingin datang, mungkin ingin bertemu Bibi.

"Bi, Alvian ingin datang." Aku bertanya pada Bibi yang tengah duduk di depanku. Kami sedang berada di ruang kerjanya, aku membantu Bibi sebentar.

Senyuman terukir di atas bibir Bibi. "Baguslah."

Aku langsung mengetikkan balasan untuk Alvian.

Tara
Datang saja.

Alvian langsung mengirimkan stiker kelinci yang mengacungkan jempol. Aku menutup ponselku lalu lanjut membantu Bibi.

Alvian
Aku sudah mau sampai. 

Satu pesan lagi masuk lima belas menit kemudian. Aku langsung beranjak dari dudukku dan berjalan menuju pintu depan dan menunggu di sofa.

Lima menit, dia tidak kunjung mengetuk pintu. Mungkin ada macet atau jalan sedang ramai. Aku membuka ponselku lagi, membaca kembali pesan lama aku dan Alvian.

Di antara semua orang, Alvian yang paling sering mengirim pesan padaku. Kadang mengirim foto bunga di halaman belakangnya, kadang mengirim foto Meow.

Meow adalah kucing yang sering berkeliaran di sekitar rumahnya. Alvian sendiri yang memberi nama. Alvian sering memberinya makan; dan setelah diberi makan, kucing itu pergi, dan akan kembali esok harinya.

Kadang dia juga mengirim soal yang tidak ia mengerti, Alvian sering mengerjakan soal malam-malam dan tidak sabar menunggu besok untuk bertanya padaku.

Aku mengembuskan napas, dia baik-baik saja 'kan? Aku tidak pernah melihat dia kesakitan lagi sejak tempo hari itu. Itu hanya sakit kepala biasa bukan?

Mataku melirik ke arah pintu, lima belas menit, dan dia belum datang. Bukannya Alvian bilang kalau dia sudah mau sampai?

Ketukan pintu terdengar, aku langsung beranjak dari dudukku. Bukan Alvian, yang datang malah makanan yang aku pesan dua puluh menit lalu.

Aku berjalan masuk ke ruang makan lalu meletakkan bungkusan makanan itu di atas meja. Benakku berpikir, apa Alvian tidak jadi datang?

Aku melirik ponselku sekali lagi. Dia tidak sedang online, mungkin dia tidak jadi datang. Aku terlalu segan untuk bertanya.

Lagipula, untuk apa aku menunggunya, dia bisa meneleponku saat dia sampai 'kan? Aku selalu bertindak aneh.

"Alvian belum datang?" Aku menggelengkan kepala saat Bibi melontarkan pertanyaan itu. 

Aku kembali membantu Bibi memotong renda sesuai dengan ukuran yang sudah Bibi beritahu, melupakan soal Alvian yang belum datang sampai detik ini juga.

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Alvian benar-benar tidak datang hari itu. Katanya ada urusan mendadak yang membuatnya harus membatalkan kunjungannya. Dia baru mengirim pesan tiga jam kemudian.

Kadang ada secuit rasa penasaran soal 'urusan' Alvian. Aku tahu tidak seharusnya aku ikut campur masalahnya. Namun, rasanya kurang adil.

Kenapa hanya dia yang melihatku saat aku tertimpa masalah? Kenapa aku tidak pernah melihat yang lainnya saat mereka butuh pertolongan? 

Apa karena aku terlalu lemah untuk melindungi, jadinya hanya bisa dilindungi? Aku tidak tahu. Sampai sekarang, aku juga tidak bisa benar-benar mengerti diriku sendiri.

Yang aku tahu adalah aku hidup demi Bibi, demi Alvin yang sudah tidak aku lihat sejak malam tahun baru kemarin. Ini sudah lama sekali, aku curiga dia benar-benar menghilang.

Kedua mataku sesekali menatap Alvian yang tengah mengerjakan soal. Ujian akhir semester genap sisa enam minggu, banyak sekali persiapan yang harus dilakukan.

Kutatap jemariku yang tengah menggengam sesuatu. Sesuatu yang ingin aku berikan kepada lelaki ceria yang tidak jadi datang ke rumahku Rabu lalu.

"Ini untukmu." Aku menyerahkan sebuah gantungan kunci kepada Alvian, bunga berwarna ungu. Warna ungu adalah warna paling favoritnya, kurasa, Alvian punya banyak warna favorit, aku mengambil warna ungu karena bunga kesukaannya berwarna ungu.

Aku tidak pernah mengatakan warna favoritku, tapi dia memilih warna merah, sesuai dengan warna bunga favoritku. Apakah kami berpikiran hal yang sama?

Wajah Alvian berseri, dia terlihat sangat senang. "Terima kasih."

Anggukan ia dapatkan dariku. Aku tidak mengira dia akan sesenang itu. Dia bisa meminta orang untuk membeli gantungan yang serupa sebanyak satu dus, tapi dia tetap senang meski diberi hadiah yang tidak mahal. 

Satu sifat yang aku tangkap, Alvian mudah senang karena hal kecil. Bahkan melihat kucing jalanan yang mau dielus saja dia senang, andai saja aku sepertinya. Andai saja aku bisa bertukar posisi dengan Alvian, aku tahu, aku benar-benar egois.

Omong-omong, aku membuatkan satu untuknya sebagai balasan dari gantungan kunci yang pernah ia berikan. Dan kami malah jadi punya gantungan kunci yang mirip, salahku, seharusnya aku menjahit bentuk lain.

Alvian terus menatap gantungan itu, apa ada jahitan yang lepas atau ada kesalahan yang kulakukan?

Kurasa tidak ada, karena setelah itu, Alvian menaruh gantungan kunci itu di atas meja, tepat di sampingnya, lalu kembali fokus mengerjakan soal matematika.

Aku juga ikut mengerjakan soal yang sudah aku unduh dari internet. Ini akan membantuku untuk ujian semester nanti; semakin cepat aku mengerjakannya, semakin banyak waktu yang bisa aku gunakan untuk mengeceknya atau menghitung ulang.

"Tara, aku tidak bisa lagi ...." Alvian menatapku sembari mengelus tengkuknya. Aku bisa melihat raut kebingungan yang terpancar jelas dari wajahnya.

Aku beranjak dari dudukku, kini berdiri tepat di sampingnya. Tangannya menunjuk soal nomor empat, aku mengamatinya sejenak. "Sudut a dan b saling berpelurus, berarti nilai sudutnya sama ...."

Tangan Alvian yang bergerak masuk ke dalam laci meja, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. "Apa itu?"

Alvian terkejut, lalu tersenyum canggung padaku. Bukannya curiga, Alvian pernah menyembunyikan salah satu soal mudah yang masih belum bisa ia kerjakan, dia takut aku memarahinya.

Mustahil aku memarahinya, aku dibayar, tidak punya hak untuk memarahinya.

"Tara sudah lelah, aku tidak ingin merepotkan Tara." Begitu katanya saat itu. Aku memang sedang lelah dan bangak pikiran waktu itu.

Alvian memang pengertian, pada semua orang. Dia sering bertanya perihal kabar orang lain, aku sering melihatnya.

"Kamu tidak menyembunyikan soal lagi 'kan?" Aku menatapnya datar.

Alvian menggelengkan kepala; tetap mempertahankan senyumannya. "Bukan."

"Jadi?" Ucapan itu refleks keluar dari mulutku. Ah, seharusnya aku tidak bertanya soal ini, aku tidak seharusnya mengorek-ngorek hal yang ingin dia sembunyikan.

Tidak kusangka, tangannya menarik kertas itu keluar dati laci, lalu menyerahkannya padaku. "Untuk Tara."

Tanganku meraih kertas yang baru saja Alvian berikan. Aku menatap kertas itu, ada sebuah gambar. Wajah seorang gadis yang tengah memakai mahkota bunga mawar. Gadis itu berambut lurus coklat tua, tengah tersenyum.


Itu aku? Jemariku mengusap gambar itu dengan pelan. Gadis yang tengah tersenyum ini adalah aku? 

"Ini aku?" 

Alvian menganggukkan kepalanya; terlihat ragu. "Maaf kalau tidak mirip, aku belum terlalu bisa menggambar."

Mulutku terkunci, menatap gambar kecil itu. Ini sangat indah, lagi-lagi letupan kecil itu muncul, mataku terus nenerus memandang kertas itu. "Ini sangat bagus."

"Benarkah?" tanya Alvian.

"Iya, terima kasih." 

"Ah, Tara tersenyum." Saat kalimat itu meluncur keluar dari mulut lelaki berambut coklat itu, aku langsung menatapnya.

Aku tersenyum, tanpa sengaja. 

"Selamat ulang tahun, Tara." 

"Eh?" Aku langsung melempar tatapan heran.

"Kenapa?" Alvian juga sama, kami berdua terjebak dalam kebingungan. Dia bilang selamat ulang tahun padaku, ulang tahunku ada di bulan Juli, dan sekarang adalah bulan april, tanggal 31.

"Hari ini bukan hari ulang tahunku." 

Alvian langsung mengalihkan pandangannya dariku. "Bukan ya, aku salah tanggal ternyata."

Darimana Alvian mengambil kesimpulan kalau ulang tahunku itu tiga puluh satu Maret? Itu terlalu jauh dari tanggal ulang tahunku yang sebenarnya.

"Maaf." Alvian menggaruk tengkuknya, dan dia lagi-lagi tersenyum. "Jadi ulang tahun Tara itu kapan?"

"Tujuh Juli." Aku membalasnya.

Alvian tersenyum kaku. "Yah, beda jauh."

"Memangnya kamu tahu tanggal lahirku dari mana?" Rasa penasaran ini mengantung dalam hatiku, kurasa tidak akan menjadi masalah yang besar jika bertanya padanya.

"Ehh, dengar-dengar dari orang lain," ujar Alvian. "Hadiahnya jadi keawalan."

"Tidak apa-apa, terima kasih." Aku membalasnya dengan senyuman, kali ini benar-benar tulus. "Ini hadiah yang indah."

"Senang mendengarnya." Alvian kembali menundukkan kepalanya, matanya kembali fokus mengerjakan soal matematika yang sempat membingungkannya tadi.

"Kamu ikut klub seni?"

Tebakan yang keluar dari mulutku membuat Alvian kembali mendongkakkan kepalanya, menatapku yang tengah berdiri; membuat tinggi kami terpaut jauh. "Eh? Bagaimana Tara tahu?"

"Hanya menebak." Aku kembali duduk pada kursiku. Rasanya aku tidak pernah dengar soal Alvian yang senang menggambar sedari kecil, maka aku menyimpulkan kalau dia memang ikut klub seni.

"Aku belajar menggambar dari sana." Alvian bercerita sambil mencoret-coret kertas sele-sele, dia tidak tampak seperti sedang berhitung, terlihat seperti sedang menggambar garis abstrak. 

"Aku senang saat Tara berkata bahwa itu gambar yang bagus, tapi ...." Alvian menjeda kalimatnya. "Aku tidak pernah bisa melakukan sesuatu dengan beres, tanpa pengajaran. Dan gambar itu, aku meminta Giselle dari klub seni juga untuk membantuku."

Kenapa Alvian terlihat sedih? Bukannya itu tidak menjadi masalah?

"Aku sudah berada di klub selama hampir setahun, dan baru bisa menggambarkan begitu, padahal aku ingin membuat hadiah yang lebih indah untuk Tara."

Kenapa ucapannya terasa seperti menyiratkan kesedihan? Kenapa hal sekecil itu membuat Alvian merasa gundah? 

Hujan mengguyur dari luar, seharusnya langit masih terlihat cerah saat pukul setengah enam, tapi karena hujan, suasananya langitnya jadi agak mendung, lebih gelap dari seharusnya, seperti suasana saat ini.

Ada yang tidak beres dengan Alvian, aku tidak pernah melihat Alvian mempermasalahkan hal sekecil ini. Seharusnya aku tidak bertanya mengenai klubnya, apa dia menyembunyikannya karena ingin aku mengira kalau dia memang punya bakat menggambar sedari dulu?

"Aku tidak punya bakat." Kalimat pendek itu dikeluarkan oleh Alvian tanpa menghilangkan senyuman yang sudah ia pamerkan sedaritadi.

Rintikan hujan menemani keadaan hening ini. Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa pun. Seharusnya aku senang karena akhirnya ada hal penting yang Alvian ceritakan, tapi di sisi lain, aku merasa bingung.

Sejak kapan Alvian berpikir seperti ini? Bukannya pikirannya selalu terasa simpel? 

Di depanku, seorang laki-laki bermata cokelat hazel menatap meja tanpa bersuara. Tatapan sayunya mengingatkanku pada laki-laki lain yang sudah muncul di mimpiku sebanyak sembilan kali, Alvin.

Tidak, tidak seharusnya Alvian menjadi seperti ini. Aku bisa melihat usaha yang ia tuangkan dalam gambar ini, aku menyukainya, sungguh.

"Dan aku selalu merepotkan Tara. Bahkan aku salah menebak ulang tahun Tara."

Aku menggelengkan kepala. "Itu bukan—"

Untuk pertama kalinya, Alvian memotong kalimatku. "Tapi aku tetap senang bisa bertemu Tara."

Aku terdiam saat ini. Kenapa auranya jadi suram begini? 

"Ah, aku akan fokus mengerjakan soal matematikanya, maaf soal yang tadi." Alvian kembali menundukkan kepalanya, tangannya menggerakkan pena di atas kertas.

Alvian, ada apa dengannya? Hanya karena salah menebak tanggal ulang tahunku, dia jadi sesedih ini? Hanya karena aku tahu menebak dia belajar lewat klub seni, lantas dia merasa kalau dia tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpa pengajaran?

 Hanya karena hal simpel itu, Alvian merasa kalau dia tidak berbakat? Sejenak aku merasa sosok Alvian ini berubah menjadi Alvin. Alvian tidak sepesimis ini, Alvian selalu optimis, ceria ....

.... Atau mungkin ada terlalu banyak hal yang tidak kuketahui soalnya.

Aku menghela napas. Menatap lamat-lamat Alvian yang tengah mengerjakan soal seraya mengepalkan tanganku erat-erat.

"Aku senang bertemu denganmu. Aku senang bila menerima gambar ini, gantungan kunci kemarin." Aku menjeda kalimatku sejenak. "Dan juga jepit rambut ini."

Rintikan hujan menjadi saksi dari kejadian hari ini, kejadian yang membuatku tahu kalau Alvian tidak seceria yang aku lihat.

TBC~

13 Maret 2021

Lemony's note

Konfliknya semakin mendekat, aku benar-benar berharap semua masalahnya bisa clear di chapter 50 meski terdengar agak mustahil.

Di sini aku perlihatkan dengan ketara kalau Alvian memang sedang punya masalah. Aku tidak tahu apakah aku bisa membawakan mereka semua ke dalam konflik dengan baik, gugup. Alvian yang mulai sensitif sama masalah kecil merupakan tanda kalau dia sedang tidak baik-baik saja *pat-pat Alvian.

Aku sudah punya rencana untuk rewrite Memoriam. Awalnya aku pengen unpublish dulu, tapi engga jadi, mari kita gas sampai tamat *heh

Alvian itu juga manusia, dia akan suram pada waktunya *heh. Kubuat dia jadi sensitif pas pikirannya kacau, kalian pernah begitu? 

Dan chapter kali ini full tentang Alvian dan juga Tara *baru sadar

Makasih buat yang baca sampai sini /peluk satu-satu/

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro