✧・゚:*Forty Eighth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Aku berharap aku bisa menyadari semuanya lebih awal.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Aku bertemu dengan Sonia saat berada di toko buku. Sosok itu membuat kenangan lama yang berusaha kulupakan kembali berputar dalam benakku.
Alih-alih menatapku dengan galak, dia malah menghindariku. Aku tidak berniat mengejarnya, rasa takut--yang muncul sebulan yang lalu saat melihatnya mengeluarkan silet--kembali datang saat aku melihat manik hitamnya tadi.
"Itu Sonia?" Alvian mengarahkan telunjuknya pada seorang gadis dengan blouse putih dan juga rok hitam pendek yang bergerak menuju rak lain.
Kepalaku mengangguk samar sebagai balasan.
Apa aku harus minta maaf karena tidak menolongnya waktu itu? Tidak, bukannya memaafkanku, dia malah akan membentakku. Namun, perasaan ganjal dan bersalah itu tidak pernah terhapus dari benakku.
"Apa Tara ingin menemuinya?" Alvian sepertinya bisa membaca isi pikiranku. Rasanya aneh. Setengah dari diri berkata kalau aku harus melangkahkan kakiku ke arah Sonia, setengahnya lagi memintaku untuk tidak menghiraukannya, tetap berdiri di tempat.
Aku menggelengkan kepala, lagipula dia sudah pergi. Aku kembali menelusuri rak buku, mencari salah satu novel yang sudah berada lama di wishlist-ku.
"Yang ini bagus." Aku menyerahkan sebuah novel dengan cover berwarna hitam dengan font putih. Ada gambar kaca pembesar yang terpampang di tengah.
Alvian memegang buku itu, melihatnya dari segala sisi. "Ini novel misteri?"
Aku menganggukkan kepala. Alvian langsung menyerahkan bukunya kembali. "Aku tidak sepintar Tara untuk membaca itu. Tara tahu itu bukan?"
"Kamu tidak perlu menebak misterinya, biarkan saja ceritanya berjalan. Kepalamu akan baik-baik saja." Aku menimpalinya dengan tawa kecil.
Kalau semua 'misteri' dalam kehidupanku tidak kuketahui, maka kepalaku akan baik-baik saja .... Aku memikirkan kalimatku sendiri. Ah, dasar, aku seharusnya sudah tidak melihat ke belakang lagi.
Pada akhirnya Alvian membeli novel itu, katanya dia percaya dengan rekomendasi. Dia percaya padaku.
Sedangkan aku? Aku bahkan tidak percaya pada diriku sendiri.
"Tara, ayo beli es krim di sana." Alvian menunjuk sebuah toko es krim. "Papa dan Mama kelihatannya belum selesai."
Aku ikut ke mall bersama orang tua Alvian. Mereka mengajakku dan Bibi, sayangnya orderan Bibi sedang banyak jadi tidak bisa ikut. Ayah dan ibu Alvian pergi melihat baju, aku membantu Alvian memilih buku.
Aku senang Alvian tidak memperlakukanku secara berbeda. Kukira setelah aku berbuat macam-macam, dia jadi semakin sungkan, nyatanya dia semakin hangat padaku. Dia tidak memperlakukanku layaknya kaca yang bisa pecah ketika disentuh.
Kini dia dengan semangat menarik tanganku menuju toko es krim. Kami sama-sama menikmati es krim di bangku, sesekali membahas soal novel yang kami beli hari ini.
"Tara sangat suka novel misteri, ya?"
Aku mengangguk. "Aku suka dengan alur yang tidak bisa ditebak, rasanya berdebar-debar saat membacanya."
Iya, rasanya berdebar-debar ketika kita tidak tahu apa yang terjadi ke depannya.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ditakdirkan bertemu dengannya. Tanpa semua kejadian ini, mungkin aku dan Alvian hanya akan berakhir menjadi teman sekelas biasa. Jika saja Alvian tidak selalu ada, kami mungkin tidak akan punya 'hubungan' semacam ini.
Aku diam-diam mengalihkan pandangan ke lelaki bermanik cokelat hazel itu, dia terlihat cukup manis dari samping.
"Tara, kok senyum? Ada yang aneh di wajahku?"
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
"Terima kasih sudah membantuku," ucap Alvian yang tengah menumpukkan buku-buku. Aku masih mengajarnya sebagai persiapan untuk materi kelas delapan, meski kini hanya dua kali seminggu.
Aku membantunya merapikan buku yang berserakan. Raknya tidak pernah terorganisir, entah kenapa Alvian tidak pernah mau merapikannya, atau setidaknya meletakkannya dengan benar.
"Lain kali susun yang benar, supaya nanti tidak kerepotan merapikannya nanti." Tanganku bergerak cepat menurunkan buku dari rak, bahkan ada bungkusan makanan ringan.
Duk!
Ada buku yang tidak sengaja jatuh saat aku memindahkan buku lainnya. Bukunya berada dalam posisi terbuka, mataku langsung membulat saat melihat isinya tanpa sengaja.
Ada namaku di sana. Ditulis dengan asal dan cepat. Ini tulisan Alvian, aku mengenalnya.
Tanganku refleks mengangkat buku itu; membacanya.
Ingatan #1
Gadis berambut cokelat tua, tersenyum di taman saat malam hari. Namanya Tara Adelline, aku melihatnya di perempatan jalan saat lari dari Pak Rudy.
Dia mencatat semua yang dia alami? Apa maksudnya dengan 'ingatan'?
Ingatan #2
Gudang dingin, suara beling kaca, pecutan. Ada sesosok laki-laki dewasa, aku tidak tahu siapa itu, dia memukul tanganku. Aku menangis.
Entah kenapa yang satu ini terasa familiar.
Ingatan #3
Ada seorang wanita dewasa yang melempar makanan padaku. Wajahnya mirip denganku. Apakah dia kerabatku atau mungkin keluargaku?
Saat hendak membaca kalimat selanjutnya, buku itu diambil oleh Alvian dengan paksa. Aku merutuki diriku sendiri yang sudah membaca isi buku ini tanpa izin.
"Itu apa?" Aku menatapnya dengan ragu-ragu. Apakah Alvian akan marah karena aku sudah menyentuh barangnya tanpa izin? Dan bisa-bisanya aku bertanya soal isi ini, semuanya keluar dari mulutku tiba-tiba.
"Tara sudah membacanya?" Ekspresi wajahnya berubah. Benar-benar berubah. Senyumnya luntur.
"Maaf." Aku menundukkan kepala, tidak berani menatapnya. "Tadi jatuh, lalu aku melihat namaku, dan—"
"Ini ingatanku." Alvian memotong kalimatku. Kedua mata cokelat hazelnya menilik buku abu-abu itu. "Ingatan yang muncul tiba-tiba."
Dahiku mengernyitkan mendengar penjelasan. Ingatan apa maksudnya?
Alvian mengusap pelan buku itu, mengembuskan napas pelan. Tatapan kami bersirobok, aku bisa melihat mata cokelatnya yang kini memancarkan kesenduan.
"Aku pernah mengalami kecelakaan, koma selama berbulan-bulan, dan terbangun setelah melihat Tara. Sayangnya aku tidak ingat apapun, aku tidak bisa melihat ke belakang."
TBC~
2 Juni 2021
Lemony's note
Gimana?
Ada yang udah 'ngeh' dari awal?
Aku udah sebar clue dari permulaan cerita. Soal Alvian yang lamban dalam belajar, soal Alvian yang sakit kepala, saat di rumah sakit, dan pernah juga aku menulis soal luka yang ada di dada Alvian. Oh iya, perubahan sikap Alvian juga.
Jadi kalian sudah tahu bukan kalau Alvin itu siapa sebenarnya? Oh wait, belum kubahas sebenarnya, nanti di chapter selanjutnya.
And yes, ini puncak konflik dari Memoriam. Ya, ga tahu kalian kaget atau enggak 😭✨ tapi aku senang karena sudah menuliskannya di sini, lega aja.
Makasih yang sudah baca, juga yang udah tekan bintang maupun komen. Love y'll 🦕💖
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro