✧・゚:*Fortieth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kata orang, akulah yang paling mengerti diriku sendiri. Namun, kenapa aku tidak mengerti diriku?
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Alyssa absen, dia tidak datang ke sekolah hari ini. Aku mengembuskan napas lega, setidaknya aku tidak perlu takut dengan keselamatanku saat berada di dalam kelas.
Alvian datang di waktu yang sama denganku, kami berjalan masuk ke kelas bersama-sama. Dia terlihat semakin senang sejak mencoba kegiatan menjahit, dia terlihat menyukainya.
Aku hanya perlu menunggu untuk pengumuman nilai terbaik. Aku tidak masalah jika tidak mendapatkannya nilai tertinggi, sifat pesimisku tidak akan mengekspetasikan hal seperti itu. Mungkin saja Caroline yang mendapatkannya kali ini.
"Alyssa tidak hadir hari ini." Caroline yang memberitahuku soal ini, mungkin dia tahu kalau aku akan merasa lebih tenang bila Alyssa benar-benar tidak datang.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Masih ada Sonia, dan aku tetap harus berada di perpustakaan selama jam istirahat.
Bersama Alvian.
"Tara masih diganggu Sonia?" Pertanyaan itu lagi. Sebenarnya aku heran melihat Alvian yang terus bertanya hal itu. Dia khawatir padaku?
Semakin dia bertanya, semakin aku takut. Tidak, aku tidak ingin ada yang ikut campur dalam urusanku. "Tidak terlalu."
"Lega mendengarnya," ujarnya sambil tersenyum.
Aku berbohong, tentu saja. Sonia tidak pernah berhenti, bahkan untuk sekedar mendorongku saat berjalan melewatiku, entah apa modusnya.
Alyssa, aku tidak melihatnya selama ujian dan sampai saat ini, hari ketiga sejak ujian berakhir. Aku tidak tahu dia ke mana dan aku tidak terlalu peduli. Terdengar jahat, tapi aku senang dia tidak datang.
"Tara."
Aku langsung mengangkat kepalaku yang tadinya sedang menunduk untuk membaca buku. "Ya?"
"Aku punya sesuatu untuk Tara." Alvian terlihat seperti sedang merogoh-rogoh sakunya.
Kami duduk berseberangan. Tangan Alvian menjulur, memberikan 'sesuatu' itu padaku, menungguku mengambilnya.
Itu gantungan kunci. Aku meraihnya dan mengamatinya dari dekat. Bunga merah dengan lingkaran kuning sebagai tengahnya terbuat dari kain fanel yang disatukan dan diisi dengan kapas.
"Kamu membuatnya?"
Alvian mengangguk. "Maaf kalau kurang rapi."
Mataku masih menilik gantungan kunci itu. Ini cukup rapi untuk Alvian yang baru belajar menjahit lima hari, kuharap jarinya tidak tertusuk seperti saat dia pertama kali belajar.
"Terima kasih," ucapku tanpa memamerkan senyum lebar, hanya senyum kecil selama sepersekian detik.
"Sama-sama, semoga Tara menyukainya."
Aku menyukainya. Dia membuatnya sendiri dan memberikannya padaku, kurasa tidak akan ada yang melakukannya untukku. Dan Alvian membuatnya untukku, mungkin ingin berterima kasih padaku yang sudah mengajarinya.
"Aku menyukainya." Aku akan mengantungnya pada tasku. Entah kenapa rasanya ada letupan kecil dalam hati yang memunculkan rasa senang. Alvian membalasku dengan senyuman lalu kembali fokus pada bacaannya. Aku tidak tahu dia suka membaca.
Beberapa bulan yang lalu, aku sama sekali tidak ingin dekat dengannya. Dan hari ini aku memakai jepit rambut pemberiannya dan barusan menerima gantungan kunci buatannya.
Apakah aku banyak berubah? Kurasa tidak, kenangan buruk itu masih mengerubungiku, dan aku masih merepotkan banyak orang.
Jarak di antara kami berdua semakin berkurang, apalagi kami sering bertemu dan Alvian sering mengajakku bicara. Anak laki-laki itu selalu tersenyum tanpa beban.
Apakah dia benar-benar baik-baik saja? Aku tidak tahu kenapa pemikiran seperti itu terus melintas saat aku melihatnya. Mungkin saja senyuman yang dia berikan selama ini adalah palsu. Tidak, mereka terlihat tulus.
Dia mengkhawatirkanku, kurasa. Apakah wajar kalau aku mengkhawatirkannya tanpa alasan jelas? Dia terlihat seperti tidak punya masalah, tapi entah kenapa salag satu sisi diriku mengatakan kalau dia tengah mendekap dalam masalah.
Pikiran yang berlebihan ini membuat kepalaku agak sakit, aku jadi tidak fokus membaca. Mungkin aku hanya membuat asumsi yang terlalu mengada-ada, aku selalu berpikir terlalu jauh, termasuk tentang Caroline yang membenciku.
Aku tidak seharusnya membuat asumsi seperti ini terus menerus. Mungkin saja dia memang tersenyum tanpa beban, benar-benar tanpa beban.
"Bagaimana dengan kegiatan klub Tara?" tanya Alvian dengan pelan, tidak ingin menimbulkan kebisingan dalam perpustakaan.
"Baik-baik saja."
Kegiatan klub berjalan seperti semestinya, aku dan caroline tetap duduk berdampingan dan Sonia duduk di belakangku. Kadang kala aku takut dia akan menarik rambutku dari belakang, tapi untung saja tidak ia lakukan.
Aku berbohong lagi, untuk kesekian kalinya, tidak mungkin aku baik-baik saja bila ada Sonia atau pun Alyssa di sekelilingku. Tapi yang kali ini hanya sekedar senggolan, tidak separah yang sebelum ujian tengah semester.
"Tara tidak berbohong 'kan?" Sejak kapan anak ini mencoba untuk membaca kebohongan.
Aku menggelengkan kepala. Kurasa aku lumayan ahli dalam menyembunyikan semua emosiku. Sudah hampir setahun dan aku mulai terbiasa, aku tidak tahu itu hal yang bagus atau tidak.
Alvian tersenyum, senyum tanpa beban itu lagi. Aku tidak pernah melihat orang yang serajin dia dalam hal tersenyum. Itu bukan hal yang buruk.
Aku sering bergelut dalam batinku, apakah aku juga harus bertanya keadaan klubnya? Aku bahkan tidak tahu klub apa yang ia masuk, Alvian tidak pernah bercerita Lucu, aku tahu bunga favoritnya, tapi aku tidak tahu klubnya, padahal kami satu sekolah, satu kelas, dan sering bertemu.
Ada dua kemungkinan, dia masuk klub seni atau klub paduan suara. Aku tidak tahu yang mana
"Kalau klubmu?" Kenapa aku selabil ini? Aku bahkan enggan bertanya klub apa yang dia masuki. Alvian biasanya bercerita sendiri, tapi tidak dengan hal itu, entah kenapa alasannya.
"Oh, klubku baik-baik juga." Dia mengacungkan jempolnya.
Kukira dia akan memberitahuku soal klubnya. Kami sudah saling mengenal hampir setahun dan aku bahkan tidak tahu klubnya. Aku tidak pernah memperhatikan keadaan sekeliling, hanya terfokus pada kerunyaman pikiranku.
Tidak ada percakapan yang berlanjut lagi setelah itu. Alvian mulai membaca bukunya kembali. jangan-jangan dia masuk klub sastra, mungkin saja. Entah kenapa aku menerka-nerka hal yang tidak penting seperti itu.
Tadi aku melihat buku yang Alvian ambil, tentang pengembangan diri. Apakah dia semakin diam dan kalem setelah membaca itu? Aku kembali menerka hal-hal tak penting yang tidak pasti lagi.
Apa yang dia pikirkan sampai dia bisa merasakan sakit kepala yang luar biasa tempo hari itu? Sampai saat ini tidak ada jawaban.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Terhitung sudah enam hari sejak Alyssa tidak hadir. Biasanya sekolah tidak mentolerir siswa yang absen berturut-turut selama lebih dari enam hari, tapi karena Alyssa adalah anak Yayasan sekolah ini, dia bisa melakukan apa saja bukan?
Itu tidak menjadi masalahku. Masalahku saat ini adalah Caroline yang semakin aktif mengolok-olokku karena dia mengetahui kalau gantungan kunci itu diberikan dan dibuat oleh Alvian.
Bukannya biasa saja kalau memberi hadiah kepada teman? Caroline kadang juga memberiku cokelat atau pun permen.
"Beda, tahu." Caroline menyenggolku dengan bahunya.
Dia sedang menyembunyikan perasaannya, kurasa, nada bicaranya sedikit dipaksa. Aku mungkin senang dengan ketidakhadiran Alyssa, tapi tidak dengan Caroline.
Caroline mungkin khawatir pada Alyssa seperti aku khawatir pada saat dia terlalu keras dalam belajar. Alyssa itu teman Caroline sejak kecil, mereka dekat.
Seperti biasa, Caroline tidak suka mengangkat topik yang berkaitan dengan Alyssa atau pun Sonia. Aku senang punya teman pengertian sepertinya.
"Senin nanti bakal diumumin siapa yang dapat nilau tertinggi, jadi gugup," ujar Caroline.
Jika saja tidak ada percakapan antara kamj, mungkin aku akan menanyakan soal Alvian padanya. Keputusan yang bodoh, untung saja tidak jadi kulakukan.
Aku tidak tahu respon apa yang harus aku berikan. Aku sebenarnya khawatir juga terhadap nilaiku, tapi aku tidak ingin menunjukkannya. Aku tidak ingin Caroline melihatku sebagai saingan meski dia memang ingin melangkahiku.
Caroline belajar sekeras ini karena terinspirasi dari kakak laki-lakinya. Kakak laki-laki sering membawa pulang penghargaan yang mengharumkan nama sekolah, terutama dalam olimpiade sains, Caroline yang menceritakannya.
"Semoga kamu dapat hasil terbaik." Itu balasan paling netral yang bisa aku lempar.
"Ah, pasti kamu lagi." Caroline tertawa kecil. Dia sedang bercanda?
"Mungkin saja kamu."
Aku tidak tahu kenapa topik ini terus menerus dibahas olehnya, aku merasa tidak enak. Caroline juga tidak terlalu bersemangat seperti dulu, semakin lama semakin lesu, aku menyadarinya, tapi masih belum berani bertanya.
Haruskah aku bertanya kalau dia baik-baik saja? Selama ini aku selalu diam, mereka berdua selalu terlihat baik-baik saja, tidak seperti aku yang selalu terlihat tidak baik-baik saja.
Caroline menatap buku dengan tatapan kosong, seperti sedang melamun, matanya hanya terpaku pada satu bagian. Aku tidak tahu mana yang tengah dia lamunkan; tentang nilai ujian tengah semester ini atau Alyssa yang masih absen hingga detik ini.
Hari Senin, Bu Fya sudah mengumumkan pemilik nilai tertinggi untuk ujian tengah semester dan lagi-lagi aku yang mendapatkan. Caroline memberi selamat meski aku melihat senyum kecewa yang tersematkan.
Hari ketujuh dan Alyssa belum hadir. Bukannya ingin mencari tahu, tapi rasanya aneh melihatnya tidak hadir selama ini meski aku sama sekali tidak merindukan penindasannya.
"Kalian sudah tahu belum kalau Alyssa tidak lagi bersekolah di sini?" Bu Fya memecah keheningan kelas yang tercipta setelah pengumuman nilai.
Bisikan langsung memenuhi kelas. Bukan hanya aku yang tersentak. Mereka semua menjadi ricuh, mempertanyakan alasan kepindahan Alyssa. Semuanya terlihat kaget, kecuali Caroline.
Ah, dia pasti sudah tahu sebelumnya. Wajahnya tidak berubah dari sejak ujian semester ganjil lalu, seperti tertekan. Sepertinya Caroline sudah tahu keadaan Alyssa sejak lama, dia hanya melempar tatapan kosong pada bukunya.
Aku juga terkejut, bukankah terlalu tanggung untuk pindah sekolah? Ini sudah mendekati ujian semester genap. Tidak ada satu pun alasan masuk akal yang melintasi benakku.
Bu Fya bertepuk tangan untuk merebut atensi kelas. "Sudah, sudah, kita sambung pelajaran."
Aku langsung membuka buku sesuai dengan halaman yang diinstruksikan Bu Fya. Caroline melakukan hal yang sama, tapi raut wajahnya kian mengkhawatirkan. Apakah ini ada kaitannya dengan Alyssa? Atau yang dia khawatirkan adalah nilai?
Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkan Caroline. Mungkin aku harus bertanya apakah dia baik-baik saja atau tidak? Pertanyaan basa-basi, dia memang terlihat sedang tidak baik-baik saja, apakah dia akan tersinggung jika aku bertanya begitu?
Jam istirahat tiba, terasa agak lama karena pelajaran hari ini cukup sulit. Seharusnya aku berada di perpustakaan, tapi karena melihat Sonia yang keluar dari kelas (mungkin saja ke kantin), aku akan menetap di kelas sebentar.
"Kamu ... baik-baik saja?" Pertanyaan itu meluncur langsung dari mulutku.
"Eh?" Caroline menatapku sembari mengernyitkan dahinya. "Apakah aku terlihat tidak baik-baik?"
Caroline menyunggingkan senyuman, kaku, dia sedang memalsukannya, terlalu ketara kurasa. Aku menatap kedua tanganku yang tengah aku mainkan, gugup untuk membalasnya. "Kamu terlihat lesu, seperti sedang banyak pikiran."
"Ah, perasaan kamu doang." Caroline mengibaskan tangannya lalu kembali menulis sesuatu di atas stick note-nya.
Aku terdiam. Caroline sepertinya tidak mau bercerita padaku, entah kenapa dia sangat terbuka, namun sangat tertutup pada saat yang bersamaan. Dia sering bercerita soal lagu favoritnya, atau pun hobinya mendengarkan lagu china, tapi tidak dengan penyebab kemurungannya.
Kuharap Alvian tidak seperti itu. Kepalaku sakit selali bila terus menerus membentuk asumsi yang tak pasti.
"Apa ini karena Alyssa?" Aku memberanikan diri untuk menerka penyebab wajah Caroline yang semakin lesu.
Caroline menatapku tanpa suara. Hening menguasai selama beberapa detik sebelum Caroline berbicara. "Dia hanya pindah sekolah, bukan menghilang."
Aku terdiam. Masuk akal. Kurasa aku hanya berpikir yang berlebihan, sifat burukku sedari dulu yang tidak bisa aku hilang. Mataku kembali berfokus pada buku cetak di depanku.
"Lagipula kamu senang 'kan? Orang yang menganggumu sudah berkurang."
TBC~
11 Maret 2021
Lemony's note
Hai, Lemon kembali lagi setelah menghilang dari work ini selama sebulan lebih. Senang rasanya bisa kembali menulis Memoriam.
Konfliknya sudah mulai aku lepas, baru aku lepas saat chapter 40. Aku sadar terlalu banyak basa-basi di Memoriam, tapi mari kita gaskan sampai tamat dulu /ditabok masal/
Oh iya, Cerita Si Pengembara sudah tamat, tepatnya pada tanggal 7 Maret 2021. Kukira Memoriam bakal jadi cerita pertamaku yang tamat, ternyata tidak.
Mungkin setelah revisi, jumlah babnya akan jadi 30an saja, ya semoga begitu. Aku pengen Memoriam cepat tamat, tapi apa daya aku yang sering terdistraksi.
Aku punya ide baru (lagi), mungkin hanya akan jadi novelet, tapi belum berani aku eksekusi. Ayolah, Children of Lir saja belum kelar, aku tidak mau bunuh diri dengan bikin cerita baru 😭✨
Terima kasih buat yang sudah baca, sampai jumpa~
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro