✧・゚:*First Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Kenangan tidak akan berubah meski kita memaksa.
。☆✼★━━━━━★✼☆。
"Aku pergi," ucapku sembari mengambil tas hitam di atas sofa, belum saja aku membuka pintu, Bibi menghampiriku, "Tara, sarapan dulu!"
Pintu kubuka dan sebelum menutupnya, aku memberikan dia isyarat bahwa aku akan makan di luar saja.
Seketika pintu itu tertutup, aku membalikkan badan ke belakang, melihat apa bibi akan mengejarku atau tidak, dan ternyata tidak ada tanda-tanda ia akan datang.
Hari ini adalah hari minggu dan besok aku harus memulai perjalanan baru di sekolah baru, semoga saja malam ini aku bisa tidur tanpa bantuan obat apapun.
Ya, semoga penyakit insomnia ku tidak kambuh separah tahun lalu.
"Ke taman aja." Aku berbicara pada diriku sendiri sambil menatap persimpangan, melihat apa ada kendaraan bermotor yang lewat. Lagipula aku berbohong soal sarapan diluar, aku tidak akan mati hanya karena tidak sarapan.
Kakiku berjalan dengan pelan menuju taman, selagi berjalan, aku memutar kembali memori lama yang kurasakan.
"Andai Ibu dan Ayah masih ada disini, pasti mereka akan mengajakku ke taman itu, bermain ayunan ...." Kata-kata itu terlintas dalam benakku, aku memang sedang sial waktu itu.
Sepatuku bersentuhan dengan rumput hijau di taman, aku berniat melepaskan sepatu tapi mengingat banyak semut disana, kuurungkan niatku.
Aku mengeluarkan jepit rambut dari sakuku, menjepit poniku yang panjangnya sudah melebihi dagu, aku tidak ingin rambutku mengganggu kegiatan membacaku.
Aku duduk diatas bangku besi yang catnya sudah mulai terkelupas, kukeluarkan sebuah buku dari tasku, mungkin aku akan menghabiskan waktuku dengan membaca.
Taman sedang sepi, ralat, tidak ada yang datang selain aku, mungkin taman itu sudah mulai terlihat kumuh apalagi banyak rumput liar yang memenuhi tanah.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Jarum pendek jam tanganku telah menunjuk angka dua belas, berarti aku sudah berada di taman selama tiga jam lebih, aku benar-benar tenggelam dalam dunia membacaku.
Aku meletakkan pembatas buku diantara halaman 123 dan 124, lalu menyimpan buku itu kembali ke dalam tas.
"Selanjutnya ke mana ya?" Aku merasa seperti baru saja kabur dari rumah, bukannya senang berkeliaran, aku hanya tidak betah di rumah.
Aku memutuskan untuk pergi ke toko alat tulis, aku pernah melihat satu, kurasa tidak terlalu jauh dari taman, mungkin hanya satu kilometer.
Mataku memang tidak salah lihat, aku ingat betul kalau ada sebuah toko alat tulis di jalan ini, hanya saja kini aku tak menemukannya lagi.
Mungkin aku harus bertanya pada orang sekitar-- ah tidak, aku punya GPS. Tapi kurasa untuk saat ini lebih baik bertanya kepada orang sekitar daripada nanti aku benar-benar tersesat.
Saat ini aku berada tepat di samping lampu lalu lintas, mataku berusaha menemukan orang yang cukup meyakinkan untuk ditanyai jalan.
Netraku menangkap sosok seorang laki-laki yang tingginya hampir sama denganku, mungkin seusiaku.
Ia terus saja memamerkan giginya tanpa henti, aku jadi ragu jika ingin bertanya kepadanya. Namun lebih baik aku bertanya kepada laki-laki itu daripada orang lain yang terlihat lebih mencurigakan lagi.
"Permisi, Bang, mau nanya, boleh?" Aku berjalan mendekatinya dan mulai buka mulut, aku tak tahu panggilan lain yang harus aku pakai selain 'Bang'.
Ia tertawa terkekeh-kekeh, menatapku sejenak sebelum akhirnya ia mulai berbicara. "Aku masih muda."
Tanpa memperdulikan jawabannya, aku melanjutkan pertanyaanku. "Di sekitar sini ada toko alat tulis, kan? Anda tahu jalannya?"
"Ah, kebetulan aku juga ingin kesana,"
Tidak ada yang bertanya apakah dia ingin ke sana atau tidak.
"Nanti dari sini, ke seberang sana, lurus terus lalu belok kiri," jelas laki-laki itu sambil menunjuk jalan.
"Terima kasih, Kak," ucapku kepadanya seraya melihat kiri-kanan dan ketika aku hendak menyeberang, pergelangan tanganku ditahan oleh seseorang.
Dan laki-laki itulah yang menahannya.
"Hei, aku bilang tadi kalau aku juga mau kesana, ayo pergi bersama-sama," ujar laki-laki itu, aku benar-benar merinding saat ini, mungkin ini adalah modus penculikan.
"Um, aku tidak mendengar anda tadi, maaf." Baiklah, jalan raya kembali ramai dan aku harus menunggu waktu yang tepat untuk menyebrang.
"Aku tidak bisa menyeberang jika kendaraannya sebanyak ini," kata laki-laki itu, ayolah, tadi jalan raya sudah sepi. "Jadi, ayo menyeberang sama-sama."
Aku sempat merasa heran dengannya, apa daritadi dia memang tidak pergi ke toko itu, karena takut menyeberang jalan?
Pikiranku sempat mengira laki-laki yang memakai hoodie hitam itu adalah pemuda dingin, lupakan pemikiranku yang tadi, dia terdengar sangat konyol.
"Terserah." Aku tak punya kata lain untuk menjawabnya, dan ketika aku mulai berjalan, dia memegang pergelangan tanganku makin erat
Jujur, aku sangat risih jika ada yang memegangku, kalau saja bajuku bukan baju berlengan panjang, aku pasti akan langsung melepaskan genggamannya.
Aku memang tidak melihat wajahnya terlalu jelas, tapi ketika menyeberang jalan, wajahnya terlihat sangat wa-was padahal aku lah yang berada di sisi datangnya kendaraan.
"Sudah boleh lepaskan genggaman Anda, Kak?" Kataku seraya menatap maniknya tajam, dan untuk apa dia terus menerus menggenggam tanganku ketika kita sudah sampai di seberang.
"Maaf," ujarnya setelah melepaskan genggamannya.
Aku tidak menghiraukan pernyataannya dan langsung berlari ke arah yang ditunjuknya tadi.
Mungkin saja dia itu sebenarnya penculik anak remaja, lebih baik aku berjaga jarak dengannya, siapapun tidak akan percaya dengan orang asing secepat ini.
Sialnya, dia juga mempercepat langkah kakinya. "Kamu sedang buru-buru ya?" tanya laki-laki itu yang kini sudah ada disampingku.
Sial, orang asing ini banyak bicaranya.
"Tidak," jawabku seraya memakai topi yang selalu kubawa kemana-mana, sinar matahari sangat menusuk mataku, wajar karena hari sedang siang.
Atmosfir keheningan memenuhi kami, ya, untung saja, aku benar-benar merasa tidak nyaman jika harus berbicara dengan laki-laki itu.
Ketika aku- maksudku kami sampai di toko itu, aku memilih untuk masuk ke dalam terlebih dahulu tanpa memperdulikan orang asing itu.
Aku yakin kami berada di area yang sama, area buku tulis, karena aku bisa merasakan auranya dari samping kiri.
Aku kembali fokus mencari buku tulis yang tebal, siapa tahu akan ada guru yang berbicara terlalu cepat, aku harus mencatat apa yang dibicarakan dalam buku itu baru memindahkannya ke catatan.
Kepalaku refleks menoleh ke kiri ketika aku mendapati ada beberapa buku yang jatuh, ya, tak salah lagi, laki-laki itu yang menjatuhkannya.
"Ah, maaf sudah membuat keributan," ujarnya seraya merapikan kembali buku-buku tulis itu. Ayolah, kita bahkan tidak saling kenal dan berhenti bicara padaku.
Setelah selesai memilah barang belajaanku, aku menuju ke kasir, membayar, dan selesai, dengan sigap aku keluar dari toko itu dan berjalan agak menjauh.
Belanjaan tadi kusimpan dalam tas hitam yang kubawa, daripada aku bawa dalam plastik dan tiba-tiba terjatuh ke aspal, itu tidak akan lucu.
Kulirik jam tanganku, sudah pukul 2 siang, dan perutku sudah bernyanyi sejak tadi, kurasa melewati makan siang akan menjadi ide yang benar-benar buruk.
Kurasa setelah makan siang, aku akan pulang ke rumah. Semakin lama aku di luar, semakin panjang omelannya.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Daun pintu itu berteriak ketika aku membuka pintu, kurasa aku harus memberinya oil lain waktu.
Dan karena suara itu, Bibi jadi mengetahui kepulanganku, bukannya tidak suka, hanya saja bibi akan banyak tanya.
"Kamu kemana saja? Ini sudah jam enam sore," Matanya menatapku begitu tajam, "Bibi khawatir daritadi."
"Aku hanya keliling-keliling, sekalian beli alat tulis," ucapku malas sembari berjalan menuju kamarku, "aku mau baca buku."
Aku menutup pintu kamar, langsung membanting tubuhku ke atas kasur kecil, kurasa untuk pertama kalinya aku merasa cukup lelah.
Ponselku baru saja ku aktifkan, aku memang jarang menggunakan ponsel, jikapun aku menyalakannya, aku akan mengaktifkan mode pesawat agar tidak ada yang terus menghubungiku.
Liburan terasa membosankan, hampa, kosong, diselimuti kenangan buruk.
Baru saja aku hendak menyalakan musik klasik, Bibi mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Dengan lemas, aku melawan gravitasi dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu.
Ketika aku membuka pintu sedikit, aku melihat ada cahaya dari lilin, aku juga merasakan kalor yang dihasilkan cahaya itu.
Aku tersentak, kukira ada api yang sedang melahap rumahku ternyata hanya setangkai lilin. Sejuurnya aku takut, api dari lilin itu ... ah, aku terus teringat kejadian lama, api kecil seperti ini tidak akan membuatku terkena serangan, aku hanya perlu meniupnya.
"Selamat ulang tahun, Tara." Tangan Bibi memegang sepotong roti dengan lilin yang tertancap di tengah krim. Ia menatapku dengan bahagia, wajahnya seakan-akan memberitahuku untuk cepat meniup lilinnya.
Aku menutup mataku, ini adalah kebiasaan setiap orang yang akan mengucapkan keinginannya sebelum meniup lilin bukan?
Bibi tersenyum ketika aku meniup lilin itu. "Keponakanku sekarang sudah dewasa," ucapnya disertai senyuman, "tumben kamu lupa hari ulamg tahunmu sendiri."
Alih-alih mengingat tanggal ulang tahunku, aku lebih mengingat tanggal kejadian tragedi itu.
"Terima kasih, bibi," balasku. Kurasa aku harus berhenti bersikap cuek kepada Bibi, dia juga sama sepertiku, kehilangan dua orang yang dia sayangi.
Bibi memang mengingatkanku pada sosok ibu, wajahnya mirip sekali dengan wajah ibu, tapi, tetap saja rasanya berbeda.
"Ayo, Bibi sudah siapkan makan malam," ujarnya masih menggenggam kue itu. "Turuti permohonan bibi kali ini."
Aku hanya men-iyakan ajakannya, melewati makan malam memang kebiasaanku, tapi kurasa aku akan makan hari ini.
Makan malam kami hanya biasa saja, tidak ada yang bersuara selagi makan, setelah itu aku makan kue yang dibeli bibi.
Entah apa yang terjadi padaku hari ini, tapi aku merasakan kantuk yang berat, kurasa insomniaku sudah sembuh, kuharap.
Lagipula ini sudah jam sepuluh malam.
Tubuhku sudah terbaring diatas tempat tidur, mataku sesekali melirik kiri-kanan dan aku merasa cukup senang karena hari ini jiwaku sangat damai.
Aku menyalakan lampu tidurku, dan tak lama kemudian, kelopak mataku terasa berat, hingga akhirnya terbenam dengan sendirinya.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kakiku kini berada di suatu taman, lebih tepatnya taman yang biasa aku kunjungi, dan anehnya aku menyadari bahwa ini adalah mimpi, karena aku hanya melihat taman itu saja, tidak dengan bangunan yang biasa berada disampingnya.
Aku bisa berjalan sesuai kemauanku, dan dari jauh, netraku menangkap ada seseorang yang duduk diatas bangku besi. Kepala orang itu tertunduk, entah apa yang menarik di bawah sana.
Kakiku melangkah, mendekati orang itu, dan aku menarik kesimpulannya bahwa orang itu adalah seorang laki-laki.
Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, karena ia terus menatap ke bawah, belum lagi hoodie yang menutupi wajah bagian sampingnya.
Karena kurasa ini hanya mimpi, kuputuskan untuk duduk disamping orang itu, menunggu ia mengeluarkan suara.
Nyatanya, ia terus diam dan diam sampai akhirnya aku menepuk bahunya, "Hei, kamu kenapa?"
Ia tetap tidak menyahut, bahkan memandangku saja tidak.
Aku mungkin tidak seberani ini di dunia nyata, dan aku melakukannya karena aku sadar ini hanya mimpi. Tanpa pikir panjang, tanganku melepaskan penutup kepalanya, mataku membulat sempurna ketika aku melihat wajahnya.
D-Dia laki-laki kemarin, orang asing yang mengajakku menyeberang jalan bersama-sama. Wajah mereka sangat mirip- bukan, wajah mereka sama.
Hanya saja yang satu ini terlihat sangat murung, seperti tidak ada tujuan hidup.
Aku kira dia akan bereaksi ketika aku membuka penutup kepalanya, tapi nyatanya tidak, matanya masih melihat ke bawah.
"Namamu siapa?" Aku akui keberanianku sangat besar saat ini, tidak sekecil saat aku di dunia nyata.
Matanya mulai menatapku, manik coklatnya begitu hampa, seakan-akan aku ini tidak terlihat. "Alvin," jawabnya singkat, aku senang dia mau menjawabku meski kini kepalanya kembali menunduk.
Aku dan laki-laki aneh tadi siang memang belum sempat berkenalan, mungkin saja namanya memang Alvin. Dan aku masih heran kenapa dialah yang muncul dalam mimpiku.
Namun itu bukan hal yang aneh, sebab memimpikan orang asing adalah hal yang lazim dan sering terjadi.
Kami hanya duduk, dikelilingi atmosfir kecanggungan, meskipun ini mimpi, tapi ini benar-benar terasa nyata, aku bisa merasakan hasil kerja indraku.
Di alam mimpi, semuanya dapat terjadi bukan?
Sebenarnya aku ingin menanyakan beberapa hal kepadanya, tapi karena ia begitu diam aku jadi tidak enak.
"Aku tidak tahu lagi," ucapnya dengan nada terisak, "aku tidak mengerti lagi."
Sel-sel otakku berusaha mencerna apa yang barusan Alvin katakan, apa yang tidak ia mengerti? Kurasa aku memang harus mengajaknya bercerita.
"Ada apa?" Aku berusaha melakukan kontak mata dengannya, namun nihil, dia tak lagi mau menatapku.
Kami kembali duduk dalam diam, setelah sekian lama aku mengalami Lucid dream dan hanya ini yang terjadi.
Aku sudah bersikap peduli kepadanya, namun ia terus menguras kesabaranku, aku memang bukan tipe penyabar, walaupun begitu, Alvin yang satu ini lebih baik dari laki-laki kemarin.
Ia terlihat lebih tenang, dan tidak banyak bicara, dia bertingkah normal dan juga tidak heboh, mungkin Alvin ini hanya imajinasiku yang telah tertimbun lama dalam otak dan akhirnya muncul di mimpiku.
Namun, mimpi hanyalah bunga tidur, begitulah yang kutahu.
TBC~
13 April 2020
Lemony's Note
Gimana chapter satunya? Semoga masih oke oke :V
Btw, setiap chapter bakal ada quotenya gitu :3 dan juga maaf jika judulnya norak pakai bintang-bintang dan sparkle sparkle 😂😂
Ya, aku harap bisa bawain ini cerita, soalnya udh kepikiran sama endingnya :V semoga saya ngk stop ditengah jalan ya ampun :V
Selain cerita ini, nanti bakal dipublish juga cerita collab, tapi belum ada waktu pasti :3 semoga kalian mau membacanya.
With Love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro