Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Fifthteenth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Untuk menghilangkan lukamu, kamu harus berhenti menyentuhnya. Biarkan ia sembuh dengan sendirinya.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Hari ini, tanggal 15 September, ulang tahun bibi.

Aku memutuskan untuk pulang lebih cepat--tidak berlama-lama di taman, pergi untuk membeli kue dan juga hadiah dari sisa tabunganku.

Semoga Bibi bisa mengambil cuti shift kerjanya pada siang hari ini, sesuai permintaanku.

Bunyi bel tanda istirahat tampak membuat seisi kelas ricuh, di tengah-tengah kericuhan, aku memulai percakapan dengan Caroline. "Besok ke perpustakaan pada jam biasa, 'kan?" 

"Ah, aku tidak bisa." Alisnya menurun, ia mengepalkan jemarinya. "Maaf ya."

"Kenapa?" Aku bertanya padanya perihal hal itu, kuharap aku tidak terdengar lancang.

Caroline mengangguk pelan. "Ayahku sudah menyiapkan les privat untukku sepulang sekolah."

"Oh, begitu."

Menurutku Caroline bisa belajar sendiri, kemampuan belajar sungguh cepat--mungkin sama cepatnya denganku. Apa karena nilai ulangan kemarin? Apa dia merasa sedih akan hal itu?

Aku sampai melupakan batasan itu, batasan antara saingan dan teman, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan akan terus menjalar pada pertemanan.

"Kalau begitu, semangat les, ya." Aku memberinya semangat, Caroline membalasku dengan senyum kecil lalu kembali menikmati sarapannya.

Bulan September tidak se-menegangkan bulan lalu. Sejak kejadian jepit rambut itu, Alyssa dan Sonia belum beraksi. Apakah mereka sudah sadar kalau yang mereka lakukan selama ini salah atau mereka merencanakan sesuatu yang buruk?

Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, kalau aku salah langkah, mereka bisa membuat pihak sekolah mencabut beasiswaku--satu-satunya hal yang bisa meringankan beban Bibi.

"Caroline," panggil diriku yang membuatnya berhenti makan sejenak.

"Ya? Ada apa?" 

"Kamu dekat dengan Alyssa dan Sonia 'kan?" Pertanyaan yang baru saja aku ajukan membuat Caroline merubah ekspresi wajahnya--dari yang biasa menjadi terkejut.

"T-tidak juga," balasnya terbata-bata. "Kenapa memangnya?"

"Aku ... merasa terganggu dengan tindakan mereka." Aku mengelus tengkukku, aku tidak tahu apakah keputusan yang aku ambil itu tepat atau tidak.

"Bukannya mereka sudah tidak menganggumu beberapa minggu ini, saat kegiatan klub juga Sonia biasa-biasa saja," celoteh Caroline sembari menatapku hangat.

"Iya, tapi ... bagaimana jika mereka akan mengangguku lagi?" Aku tak percaya ini, aku mencurahkan isi hatiku pada Caroline yang juga teman mereka.

Caroline tersenyum kecil, jemari kanannya terangkat dan memegang pundakku dengan lembut. "Kamu jangan overthinking terus, mungkin saja mereka berniat berubah."

Bagaimana bisa aku berpikiran positif seperti itu, mereka sudah membuatku masuk ruangan BK sebanyak dua kali, menindasku, hal positif apa yang bisa aku tarik dari semua itu?

"Bisakah kamu berbicara pada mereka? Mungkin mereka mau mendengarkanmu." Permintaanku mendapatkan gelengan kepala dari Caroline.

"Sudah pernah, pada dasarnya sifat mereka memang begitu," ucap Caroline sembari melepaskan genggamannya pada pundakku.

Aku mengembuskan napas berat. "Aku hanya ingin bersekolah dengan tenang."

"Aku juga." Tanpa sengaja aku mendengar gumaman dari bibir Caroline.

"Hah?"

"Lupakan," balasnya singkat, perasaan dia sempat mengucapkan sesuatu tetapi tidak jelas. "Intinya, mereka tidak akan mendengarku, maaf, aku tidak bisa membantumu."

"Apa dari dulu mereka sudah begini? Menindas murid lain?" Karena penasaran motif mereka terhadap diriku, aku menanyakan hal tersebut kepada Caroline.

"Tidak juga." Jawaban yang Caroline berikan membuat benakku berputar, jadi selama ini mereka menindas karena punya dendam atau karena mereka memang senang melakukan hal itu?

"Bisa ceritakan padaku sedikit tentang mereka? Aku benar-benar ingin masalah ini selesai." Aku bersikeras. 'Mungkin saja aku pernah melakukan kesalahan."

"Aku dan Alyssa berteman sejak kelas SD 1 sedangkan Sonia sejak kelas SD 5," jelas Caroline, "dibilang dekat juga tidak terlalu, hanya orang tua kami bertiga yang dekat."

Aku ber-oh ria menangkap perkataan Caroline.

Tidak ada hal apapun yang bisa aku dapatkan. Motif mereka untuk menindasku benar-benar abstrak, tidak jelas.

Pikiranku kini berpindah ke bibi. Aku ingin dia bahagia hari ini meski tidak bisa lagi merayakannya secara besar-besaran seperti tahun lalu, bersama suaminya, anaknya dan juga kedua orang tuaku.

Tahun ini hanya sisa kami berdua.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku keluar dari gerbang sekolah dengan cepat--takut nantinya akan ada semakin banyak orang yang hendak melewati pintu. aku benci keadaan dimana aku harus berdesakan dengan orang-orang.

Jarak toko roti dari sekolah tidak begitu jauh, begitu juga jaraknya dengan rumahku, aku yakin aku bisa sampai rumah sebelum pukul dua.

Batinku berharap bahwa kue black forest yang aku lihat tiga hari yang lalu masih tersimpan di dalam kulkas toko. Kue Black forest itu kesukaan bibi dan aku harus bisa mendapatkannya.

Netraku melirik kanan-kiri memastikan tidak akan ada kendaraan yang lewat tatkala aku menyebrangi jalan, lalu berjalan di atas trotoar sembari mengantungkan salah satu tali tas di pundakku, untungnya mata pelajaran hari ini tidak berat-berat.

Aku menelan ludah kasar tatkala merasa ada yang janggal, hatiku merasa tidak enak, rasanya ada yang aneh. Seperti sebuah firasat kalau sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal yang aneh-aneh, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk kami berdua. 

Ketika sudah sampai, telapak tanganku bersentuhan dengan pintu toko yang terbuat dari kaca, perlahan mendorongnya hingga terbuka cukup lebar untuk aku masuki.

"Selamat datang," sapa seorang wanita yang mungkin sudah berumur kepala dua ketika aku memasuki toko.

"Um, aku ingin membeli kue ulang tahun yang black forest." Telunjukku mengarah pada kue black forest yang diletakkan di dalam kulkas showcase.

"Fia, tolong ambil kue itu," perintah penjaga kasir pada gadis berambut ikal. "Kakak ikut kesana ya."

Setelah mengambil kue itu dengan hati-hati, gadis berambut ikal itu berjalan ke suatu meja berwarna hitam legam, aku mengikutinya sesuai yang diberitahukan penjaga kasir itu.

"Mau ditulis apa?" Gadis berambut ikal itu memegang pipa nozel yang biasa digunakan untuk menambahkan krim ataupun selai di atas kue.

"Selamat ulang tahun bibi," ucapku dengan pelan, mengikuti kecepatan menulisnya.

Setelah ia mengambil satu kotak besar yang pada bagian tengahnya terpampang jelas merek toko roti ini, memasukkan kue black forest itu ke dalam dengan hati-hati lalu membawanya ke meja kasir.

Ketika aku hendak mengikuti gadis berambut ikal itu, dadaku bertubrukan dengan orang di depanku.

"Maaf." Tanpa melihat siapa itu--aku menundukkan kepalaku, meminta maaf padanya.

"Wah." Suara familiarnya membuat netraku terbelalak, itu ....

Sonia.

"Kebetulan sekali kita bertemu lagi, aku juga lumayan rindu padamu." Ia tersenyum sinis sembari mengayun-ayunkan plastik kresek yang diisu roti. "Aku tidak tahu kamu suka roti."

"Permisi, aku hendak lewat." Aku melewati tubuh sembari menahan napas saking takutnya. Takut kalau dia akan menindasku lagi, tidak ada yang menjamin bahwa dia tidak akan macam-macam di depan umum.

Dia ... tidak menarikku atau menghentikanku.

Aku langsung membuang napas dengan lega, dengan cepat langsung membayar kue itu dan keluar dari toko. 

Bersandar di dinding samping toko, aku menarik-mengembuskan napasku, berusaha menjaga kenetralan detak jantungku.

Semua akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja, ini sedang di tempat umum, dia tidak akan berani berbuat macam-macam.

Aku menggenggam tali plastik--yang menampung kotak kue--dengan erat, setelah aku merasa agak tenang, kakiku mulai berjalan meninggalkan toko.

Saat itu juga, aku merasa ada yang sedang mengikutiku. Kepalaku menoleh ke belakang sesekali namun tidak ada siapa-siapa. Apa mungkin itu Sonia?

Aku berjalan dengan tenang sembari menyenandungkan salah satu nada lagu pop lama yang dulu sering kudengar bersama Ayah dan Ibu.

Siang terik memamerkan cahayanya dengan sombong, sialnya aku tidak membawa topi ataupun hoodie di dalam tas, dengan terpaksa aku harus merasakan kesilauan itu.

Kedua kakiku mulai mengarah pada sebuah lorong yang agak sempit--jalan pintas yang langsung tembus ke jalan utama tanpa harus berputar.

Buk!

Tubuhku terjatuh ke bawah tatkala ada yang memberikan gaya dari belakang--mendorongku. Lenganku--yang sedang memegang kue--kujulurkan sejauh mungkin

Aku terjatuh dalam posisi telentang, kedua tanganku memegang erat kue itu. Argh, sial, kakiku terasa sangat sakit.

Dengan sisa tenaga, aku mengangkat tubuhku dengan kekuatan bertumpu ada kedua telapak tangan. Aku berada dalam posisi terduduk karena kakiku benar-benar sakit--tidak kuat untuk berdiri tanpa bertopang tanpa apapun.

Sial, luka tercetak di atas lututku, siapa yang ....

Mataku terbelalak saat melihat gadis berkepang dua dengan mata biru lautnya yang ditutupi kacamata berlensa transparan.

Kenapa Alyssa ada disini? Kenapa dia mendorongku?

Dengan buru-buru, aku mengambil kotak kue yang terpantil tidak jauh dariku.

"Sakit tidak?" Alyssa tersenyum sinis memandangku, lalu ia menjulurkan tangannya. "Sini aku bantu."

Dia yang sudah mendorongku tapi dia mau menolongku, aneh sekali. Aku menatap tangannya dengan tak percaya--tidak menerima uluran tangannya.

"Kamu sekarang benar-benar sombong, ya." Tangannya yang mematung sesaat kini berpindah posisi, ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Memegang tanganku saja tidak mau."

Kakinya dengan kasar ia angkat lalu menginjak pahaku yang tertutupi oleh rok SMP-ku. "Aku tanya sekali lagi, sakit tidak?"

"S-sakit ...," ucapku sembari menahan rasa sakit bercampur perih ini, aku yang tadinya hendak berdiri di tahan oleh Alyssa.

Netraku menangkap seorang gadis berjalan menuju tempatku dan tempat Alyssa. "Wah, ada Tara disini."

Sonia menatapku dengan berseri-seri. "Sudah lama, ya, kita tidak ngobrol."

Aku berusaha menghindari kontak mata, memalingkan kepalaku ke samping.

Tanganku--yang tadi memegang plastik--kini menaruh kotak kue itu di sampingku, berharap bahwa dengan tangan yang bebas, aku bisa lari dari mereka.

"Benar ya, dia semakin sombong." Ketika aku hendak berdiri dengan bantuan tanganku, Sonia sontak menginjak tanganku. "Ups, tidak sengaja."

Sakit ... sekali.

"Um, kue ini ...," ia menatap kotak kue itu, "yang kamu beli tadi, 'kan?"

Tangan kiriku--yang masih bebas--hendak menarik kotak itu namun Sonia terlebih dahulu mengangkatnya.

Telapak tangan kirinya memegang bagian dasar kotak sedangkan tangan kanannya membuka kotak yang tidak terlalu besar itu dengan perlahan-lahan.

"Selamat ulang tahun, Bi." Ia membaca tulisan yang tertulis di atas kue. "Oh, selamat ulang tahun untuk bibimu, ya."

Aku merapatkan gigiku, meringis diam-diam menahan rasa sakit ini. "Tolong ... lepaskan tanganku."

Bukannya mengangkat kakinya, Alyssa malah menambah gaya injakannya menjadi semakin besar. Rasanya sakit sekali.

"Kuenya bagus juga, kalau dihias di atas wajahmu." Sonia tersenyum licik menatap wajahku--yang agak kotor karena sempat bersentuhan dengan aspal.

Kenapa tidak ada orang disini? Apa langit tidak ingin mengirim seseorang untuk menolongku?

Alyssa kini berpindah posisi, ia berjalan ke arah belakang dan langsung mengunci gerakan tanganku--mengenggamnya dengan sangat erat.

Sonia mulai merobek sedikit bagian dari kue itu, dan mulai mendekatkannya ke wajahku. "Kita hias dulu bagian pipinya."

Dengan tatapan bengis mulai mengoleskan krim pada wajahku. Aku terus menggelengkan kepalaku, tanganku berusaha keras untuk lepas dari genggaman Alyssa.

"Disini, disini, disini!" Sonia dengan wajah kejamnya mulai mengoleskan krim itu pada seluruh wajahku.

"Ah!" Aku berteriak sembari memberontak, tanpa sadar air mata jatuh dari pelupuk. Aku ingin lepas dari semua ini.

Sonia mengoles krim dan juga isian kue itu pada seragamku, meninggalkan noda yang begitu mencolok.

"Sentuhan terakhir!" Sonia mengangkat sisa kue itu tinggi-tinggi lalu mendaratkannya pada kepalaku. "Topi ulang tahun!"

Ia tertawa licik, begitu senang melihatku yang sudah menangis ini. Aku ... tidak kuat lagi.

"Oi, hati-hati dong, kena aku juga," omel Alyssa yang tidak sengaja terciprat sedikit bagian dari kue. "Kamu sudah puas?"

"Puas sekali! Tara terlihat sangat indah bukan?" Sonia tersenyum sinis sembari menunjukku dengan jarinya, menunjukku yang sudah berantakan dan kotor karena lumuran kue.

Alyssa melepaskan tanganku, lalu berjalan perlahan ke depan untuk melihat wajahku. "Bagus sekali."

Aku tersedu-sedu, menahan kemarahan yang bercampur sedih ini.

Sonia menatapku dengan hina. "Ini akibatnya karena telah menyerangku bulan lalu. Sok kuat, baru begini saja sudah menangis."

Seharusnya dari dulu aku diam saja, seharusnya dari dulu aku tidak melawannya, seharusnya dari dulu aku menghormati mereka, semua ini tidak akan terjadi.

Aku benar-benar lemah, bodoh, dan tidak berdaya.

"Ah, yasudah, aku tidak suka melihat orang berantakan." Sonia memalingkan badannya lalu menepuk bahu Alyssa. "Yuk pergi, thanks for helping me."

Sonia melempar kotak kue yang ada di tangannya di depanku, mereka berdua kemudian pergi meninggalkanku sendirian.

Aku terduduk dengan diam, aku ... tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.

Aku mengambil tas sekolahku, membuka isinya dan mencari-cari tisu, sisa sedikit. 

Dengan pelan aku mengelap rambutku yang sudah kotor dilumuri krim, lalu dilanjutkan dengan wajahku. Meski tidak sepenuhnya bersih tapi setidaknya aku tidak terlihat begitu kotor.

Kakiku akhirnya bisa menapak tanah meski gemetaran, luka yang ada di lutut belum berhenti mengucur.

Manikku menatap kue yang berserakan di atas lantai, kue yang seharusnya aku berikan kepada bibi kini hancur berantakan.

Sembari menahan rasa sakit, aku berjalan terseret-seret menuju rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Sepanjang perjalanan, air mata mengalir terus menerus, kenapa hidupku harus sekacau ini?

Aku membuka pintu rumahku dengan kunci, memutarnya perlahan-lahan, dan terlihat sesosok wanita paruh baya yang mata terbelalak saat melihatku.

Sudah jam berapa ini? Bibi sudah ada disini.

"Ya ampun, Tara, kamu kenapa?" Ia menatapku dengan penuh kekhawatiran.

"Maafkan aku, Bi. Aku tidak berhasil membawa kuenya sampai ke sini." Bersamaan dengan itu, tubuhku langsung ambruk, terjatuh di atas lantai.

Dan mataku menutup dengan sendirinya.

TBC~

16 September 2020

Lemony's note

Iyey, masuk mimpi lagi. Ini ke-enam kalinya Tara bakal ketemu sama Alvin.

Ini pertama kalinya aku menyiksa karakter ceritaku dan iya, aku rasanya kasihan banget sama Tara. 😭 (salahmu sendiri nulis begitu)

Semoga kali ini ceritanya ada feelnya meski dikit aja, I put alot of efforts on this chapter.

And uh oh, Tara mulai lemah, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?

Baiklah, aku yakin kalian sudah bisa menebak alurnya ಠ∀ಠ

Terima kasih atas semua dukungan kalian.

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro