Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TROUBLE ON THE BUS

"Kalau kamu nggak cerita, bakal jadi bisul." Prish beralih ke arah Niken, sibuk memasukkan buah ke dalam mulutnya. "Dia tidur lelap." Tunjuknya pada Restu. Kondisi cowok itu sempat memburuk, tetapi keukeuh dirawat di rumah saja. "Tahu sendiri dia tidurnya kayak apa."

Dasar Niken, sudah mulai becanda sekarang. Jauh berbeda dengan semalam, betapa cewek itu tersedu-sedu sewaktu keadaan Restu sempat memburuk. Ayah menelepon dokter pribadi mereka dan merasa lega bahwa perawatan di rumah pun tidak masalah. Omong-omong, orangtua Restu belum juga sampai, hingga keduanya lebih banyak menghabiskan waktu menemani Restu.

"Prish, mau ngomong apa?"

"Bunda." Prish meneguk langsung segelas minumannya.

"Masalah sekarang ini ya memang nggak pernah lepas dari Bunda. Kamu dikekang kayak gimana lagi sampai seputus asa begini?"

Niken tetap menyantap salad yang dibuatkan Bi Arum, tak peduli dirinya baru mencoba sedikit. "Tahu sendiri dua minggu belakangan ini aku lagi banyak tugas. Kemarin aku mengeluh capek, sekadar meringankan bebas gitu, aku nggak menyangka Bunda malah menelepon salah satu dosen. Pak Deri."

"Sumpah?" Prish menjawab dengan meringis. "Biar aku perjelas, Bunda menelepon Pak Deri bermaksud komplain? Oh, my, god! Kalau itu terjadi sama aku, aku mending cuti kuliah deh."

Mendengar jawaban itu, Prish melempar bantal. Niken protes karena ulahnya. "Bikin aku senewen deh. Tanpa kamu bilang, aku sudah mikirin opsi itu."

"Maaf nih, Prish. Menurut aku, Bunda sudah kelewatan. Tugas-tugas itu nggak bikin kamu pingsan, kok bisa-bisanya, astaga."

Mau tak mau, Prish menyetujui ucapan Niken. Dia menutup matanya. "Aku nggak tahu pengin ngomong apa lagi ke Bunda saking jengkelnya. Rasanya aku pengin kabur dari rumah."

"Kamu mah kalau pengin kabur, jangan kelamaan mikir. Eksekusi aja langsung."

"Ngomong ya gampang."

"Kali ini, kamu perlu ngomong ke Bunda. Diam terus sambil berharap Bunda akan sadar dengan tindakannnya, aku pikir itu nggak berhasil. Kalian dekat banget, kok urusan sepenting ini malah kamu menghindarinya? Kecuali kamu punya kemampuan mengharapkan seseorang berubah seperti keinginannya, mungkin berhasil dalam sekedip mata. Ini baru menelepon dosen, besok-besok kemungkinan bisa jauh lebih buruk."

Bunda sudah melakukan lebih buruk. Prish bungkam, tidak ingin Niken tahu lebih lanjut. Prish bukannya tidak memiliki keberanian untuk membicarakan keberatannya, Bunda hanya selalu menggunakan kalimat andalan semisal tidak ingin membuatnya susah atau sejenis itu hingga Prish akhirnya luluh.

"Jadi, aku bicarakan ini sama Bunda?"

"Harus, jangan lagi kamu tunda-tunda."

Pukul sepuluh malam, orang tua Restu akhirnya datang, saat itu juga Prish dan Niken pamit pulang. Sebelum turun dari mobil, Niken setengah memaksa agar perkara ini harus diselesaikan juga malam ini. Begitu masuk, Ayah dan Bunda di ruang tengah sedang menikmati pizza. Prish sengaja menyapa singkat, mengabaikan tawaran menggiurkan itu, dan bergegas ke kamar.

Prish langsung naik ke ranjang bertepatan Bunda yang mengetuk pintu kamarnya. Membawakan potongan pizza. Prish sekadar mengamati makanan itu dan naik ke ranjang. Bunda pasti keheranan akan sikapnya yang seperti ini.

"Pulang dari rumah Restu malah ngeloyor ke kamar nggak singgah dulu tadi?" Prish menaikkan selimut, hendak menutup wajahnya sekalian. "Kamu merajuk, Prish? Sama Bunda?" biasanya Bunda melunak saat Prish bersikap seperti ini, tetapi kali ini, Prish sedang tidak berpura-pura. Dia tidak merajuk, dia kesal setengah mati.

"Jangan memaksakan tidur sebelum masalahnya kelar. Bunda merasa nggak punya kesalahan sama kamu."

Disibak selimut dari wajahnya. "Tentang yang tadi sore itu." Bunda malah mengernyit. "Bunda menelepon Pak Deri. Meminta keringanan agar aku nggak perlu dibebani banyak makalah atau apalah yang sejenisnya. Aku tuh malu dengarnya, Bun. Memang aku secerdas apa sih sampai perlu diistimewakan beliau?"

"Suatu waktu kamu akan berterima kasih Bunda menelepon Pak Deri, Prish. Kamu ada lima tahun homeschooling, terbiasa mengerjakan tugas dengan santai tanpa dikerja-kejar deadline, numpuk pula tugas-tugasnya. Bunda bilang seperti itu ke Pak Deri, bukan menyanjung kamu."

"Situasinya sekarang beda. Aku nggak homeschooling, Bunda yang pernah mewanti-wanti ini sebelum aku kuliah. Di semester-semester awal akan hectic karena tugas ini-itu. Aku menyanggupinya─

"Tapi kamu kecapekan."

"Yup, aku capek but I can handle them. Pak Deri bisa saja salah paham, menganggap aku mahasiswa kekanakan yang suka mengadu. Dan, Bunda seolah nggak percaya sama kemampuan aku."

"Bukan seperti itu."

"Trust me, you are giving it to me." Prish meneguk ludah. "Dulu, Bunda janji nggak akan lagi melewati batas. Cukup kejadian semester lalu itu, Bunda akan berunding padaku sebelum bertindak. Bunda sendiri yang ngomong ke Ayah."

Bunda melirik piring di nakas. Semburat di wajah beliau kentara. Ada kejadian yang tidak mengenakkan yang dialaminya. Dia dan Bunda sempat shock melihat salah satu mata kuliah mendapatkan nilai E. Bunda paling tanggap. Mengecek lagi salinan tugas Prish yang disimpannya. Karena itu keteledoran pihak dosen, ditambah lagi terus saja membantah, Bunda menemui pihak kampus. Prish tidak tahu bahwa Bunda juga melibatkan seorang polisi. Ayah turun tangan dan masalah itu akhirnya tidak meruncing.

"Anggaplah Bunda berlebihan, tapi tahu sendiri Bunda nggak bisa lihat kamu kesusahan. Memikirkannya saja sudah membuat Bunda sakit."

Segera diambil tangan Bunda untuk Prish genggam. "Ini memang merepotkan, sepanjang waktu cuman memikirkan kuliah, tapi aku enjoy, kok. Serius."

"Sudah sebesar ini kamu, Ta. Kadang Bunda takut kamu benar-benar bisa melakukan apa pun tanpa berharap lagi sama Bunda."

"Bunda akan selalu aku repotkan. Ayah mana bisa diandalkan soal skincare." Bunda mengulas senyum. "Belum lagi Ayah nggak bisa membuat makanan seenak Bunda."

Wanita itu menjulurkan piring yang tadi diletakkannya, Prish mencomot sepotong pizza. "Oh iya, aku tetap pengin liburan ke Pulau Bintan, gimana kalau bulan depan?"

"Piknik keluar itu tetap wajib, Ta. Nanti Bunda bilang ke Ayah untuk mengosongkan jadwalnya bulan depan. Dan kamu, cuci muka dulu sebelum tidur."

***

Tidak ada alasan lagi menolak. Kobaran semangat itu kini, sepertinya, mulai memudar ketika bus yang ditunggunya belum juga muncul. Jangan lupakan matahari yang menerik cukup panas. Tanpa sadar Prish menyeka keringat. Agak bergedik ketika dilihat tangannya basah oleh keringat.

Bus datang, lalu orang-orang saling mendahului untuk naik hingga Prish terdesak ke belakang. Bibir Prish mengerucut. Bus tidak akan pergi begitu saja, kan? Kenapa mereka perlu saling dorong begitu?

"Bisa-bisa kamu ketinggalan bus kalau melamun." Prish mendapati Panji tepat di sampingnya. Saat masih terbengong, cowok itu tahu-tahu menarik tangannya. Dia bergerak menyela orang-orang di depan. Sampai akhirnya duduk di kursi paling belakang.

"Untung masih kebagian kursi." Prish melirik Panji seraya menggosok tangannya yang ditarik itu. "Pengin bilang makasih? Nggak perlu, sepele kok ini."

"Kamu narik aku kencang banget tadi. Lihat, sampai merah."

Cowok itu malah tercengang. Akan mengatakan sesuatu, tetapi Prish lebih dulu menoleh. Memperhatikan keadaan ketika bus sudah melaju. Suara-suara berisik, suasana yang terlalu penuh hingga sebagian terpaksa berdiri. Dan, gerah banget ya di sini?

Dia mengibaskan panas. Cowok di sebelahnya ini sampai mengenakan jaket kulit, sepertinya tidak kepanasan. "Selalu seramai ini ya?"

Panji menjawabnya dengan gumaman. Iseng Prish melirik ponsel cowok itu, yang tengah menonton pertunjukan piano. "Ramai dan panas banget."

Kali ini, Prish kembali dikejutkan dengan tangan Panji yang menjulur, membuka jendela yang berada di sampingnya. "Mendingan? Di bus selalu kayak gini. Berisik dan bikin kamu kepanasan. Ini pertama kalinya kamu naik kendaraan umum?"

"Sok tahu."

"Nggak usahlah seketus itu."

Prish mengembuskan napas. Dia kesal. Bukan karena terkaan Panji melainkan suasana di dalam bus yang membuatnya merana. Prish berkeringat, kehausan, juga tiba-tiba merasa lapar. Dan, astaga, kenapa busnya bergerak lambat begini?

"Setiap hari aku nebeng sama teman. Hari ini dia nggak ke kampus. Karena itu aku di sini. Jangan samakan aku dengan kamu yang mungkin hampir tiap hari pulang dengan bus."

"Sok tahu," giliran Panji yang mengucapkan dua kata itu agak ketus. "Motor kesayanganku di sita. Kalau harus memilih, aku rela nggak dikasih uang jajan."

"Itu juga malapetaka. Kamu akan kesulitan ke mana-mana tanpa uang."

"Berarti kamu lagi kere? Bukannya lebih nyaman naik ojol atau grab? Seenggaknya kamu nggak perlu banjir keringat."

Prish merona. Mendadak mengelap wajah, lalu beralih mengelap tangan basah karena keringatnya di celananya. Di samping, Panji tergelak. "Kamu sengaja bikin aku malu."

"Coba kalau aku bukain jaket ini, kamu bakal tahu sekuyup apa T-shirt aku."

"I don't think it's important for me."

Udara yang berembus masuk hanya sedikit memberikan efek. Prish melirik ke arah luar jendela. Membayangkan kamar sejuknya. Prish berdeham saat merasakan sesuatu yang menghambat di dalam tenggerokan. Kemudian, semakin menjadi dengan sesak yang secara mendadak menghantamnya.

Refleks, Prish menyentuh dadanya yang berdebar tak keruan. Disusul keringat, terasa bergulir lebih cepat ke pipinya. Prish memejam seraya mengencangkan doa di dalam hati. Dia tidak ingin terjadi sesuatu padanya di saat tidak ada Bunda di sisinya.

Kesadarannya semakin meredup. Kepalanya bahkan sudah terkulai ke samping. Dalam ketidakberdayaan itu, Prish merasakan sentuhan di pundak. Mulanya pelan, lalu menjadi lebih keras.

Seseorang berkali-kali memanggilnya. Prish, tahu suara itu. Akan tetapi, sulit sekali meminta Panji untuk membantunya lepas dari rasa sakit ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro