Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TERLUKA


Sekonyong-konyong, saat membuka matanya, Panji merasakan kamar ini memiliki aura berbeda. Untuk itu, dia ingin tetap di atas ranjangnya. Tentu saja dia tidak bisa, aura menyeramkan itu semakin menggelitiknya. Pelan, satu dehaman terdengar dari arah lain. Kan, firasatnya tidak pernah salah. Balik tidur lagi deh.

"Bangun nggak atau perlu aku guyur air?"

Lihat, ada monster di kamarnya. Apakah ada mantra yang bisa dirapalnya agal menghilang segera?

"Panji!"

Lalu, erangannya terlontar. Dia membuang selimut. "Pikirmu pas buka mata, aku langsung─aduh! May, hentikan nggak?" katanya serak, di antara sisa tenaga yang tersisa. Kepalanya menjadi lebih berat sekarang. Diterima saja amukan si monster perempuan yang sedang menimpuknya bantal berulang-ulang. Asal bukan benda yang lebih keras, Panji ikhlas dianiaya.

Mungkin nyaris semenit, tidak ada lagi serbuan bantal yang mengenai tubuhnya. Kini Panji menangkap bunyi napas kelelahan. Bagus, rasakan itu!

"Beresin kekacauan di luar. Terutama kaleng dan asbak rokok menjijikkan itu." Untuk pertama kalinya, Panji melirik sosok mungil yang tenaganya mirip Hulk itu. May melirik sadis ke arahnya sebelum membanting pintu kamar dan menghilang.

Sepasang mata Panji membesar begitu berada di ruang tengah. Kayak habis perang ini, tidak heran May mencak-mencak tadi. Haruskan dia bersyukur pada keberadaan luka di keningnya hingga kakaknya itu tidak membantingnya ke tembok? Sampah plastik terserak, belum lagi sisa kerupuk di lantai. Itu belum apa-apa dibanding mangkuk yang berisi beberapa puntung rokok dan dua kaleng Carlsberg kosong teronggok di bawah meja, mati dia! Si tengik Anjar itu, benar-benar membuatnya dalam bahaya.

"Hari ini nggak usah kamu bawa motor, aku yang antar." Panji hendak mengelak, tetapi May sudah menaikkan telunjuknya. "Semalam kamu habis minum, Ji. Astaga, kamu mandi nggak, sih, masih bau rokok gini?"

"Hidungmu lagi ada masalah. Nggak, aku tuh sudah ganti baju yang ketiga kalinya."

Dia kelelahan disuruh membereskan ini-itu, juga merasa kesal sebab May tidak mau memercayainya terkait masalah rokok dan bir sialan tadi. Dalam perjalanan menuju kampus, keduanya saling diam. May baru membuka suara ketika Panji hendak membuka pintu, menyuruhnya pulang lebih cepat agar mereka bisa bicara baik-baik.

"Aku nggak dijadiin pelampiasan karena kamu habis berantem sama Rekza, kan?"

Mulanya, May mendesah kecil. Tanpa disangka-sangka Panji, May sudah menarik rambut hingga kucirnya terlepas. Bodoh amat, Panji kemudian berteriak, baru kemudian May menarik tangannya.

"Jangan suka asal, makanya. Habis ini, kamu masuk kelas. Kemarin-kemarin kamu bisa membolos saat aku nggak di rumah, hari ini jangan harap kamu bisa mengulanginya."

"Tiga bulan, May, dan sesekalinya muncul di rumah, yang selalu kamu lakukan cuman marah-marah nggak jelas." Panji menunjuk kening. "Setidaknya tunjukkan sedikit perhatianmu."

Panji turun, setelah menyaksikan tatapan terluka kakaknya.

***

"Gara-gara ini aku dalam masalah." Panji melempar plastik besar yang isinya semua sampah yang dibereskannya di rumah. "Hampir aku babak belur dipukuli May."

Cowok itu mendekap plastik lemparan Panji, kemudian berseru jengkel dan membuangnya ke tempat sampah, yang rupanya malah meleset jauh. "Kamu yang nggak bilang May bakal datang. Gila, subuh-subuh aku dipaksa pulang sama kakakmu."

Anjar mendatanginya semalam. Menenteng banyak camilan, menyodorinya sekaleng bir, tetapi Panji menolak. Saat Anjar mulai meracau, Panji memilih masuk ke kamar. Paginya, dia malah dituduh yang bukan-bukan.

Cowok kurus itu menguap, mengeluarkan aroma tidak sedap. "Aku masih ngantuk, kamu..."

"Selama May di sini, aku mesti jadi anak baik dengan masuk ke kelas. Tujuanku datang ke sini cuman mulangin barang yang nggak sempat kamu tinggalin sampai aku yang harus kena risikonya." Panji kemudian balik badan.

Bersamaan dengan bunyi bip dari ponselnya.

Bellatrix Lestrange: Heh, kamu beneran pengin membolos?

Panji menggaruk rambutnya, kesal. Siapa sih mata-mata May di sini? Nyebelin banget!

Akhirnya dia menemukan kelasnya usai sejam mondar-mandir. Sebulan di awal semester genap ini kerjaannya memang membolos. Tidak ada apa pun dalam ranselnya sebagai petunjuk. Tidak ada teman sekelas yang bisa dihubungi, kecuali Anjar yang tidak bisa diandalkan.

Bu Zulfa tampak begitu serius menerangkan sesuatu ketika Panji menyela dengan mengucap salam. Dosen itu membalas lantas mengangguk. Berada di kelas beliau, Panji tersadar ini tahun keduanya mengulang mata kuliah Biologi Dasar.

Kayaknya dia memang sedang sial. Hanya satu kursi kosong tersisa di depan sudut, mau tak mau Panji ke sana. Memangku tangan dengan memandang Bu Zulfa, tetapi kepalanya sibuk mengutuki keberadaannya di kelas ini. Begitu Bu Zulfa balik badan, Panji menengok ke sebelah kanannya. Cewek berambut hitam legam begitu serius mencatat.

"Hei, tetangga!" Panji mengetukkan jari-jari di ujung meja cewek itu, untungnya berhasil menarik perhatian cewek itu. "Kita bubaran sampai pukul berapa?"

"Masih 30 menitan lagi."

"Lama juga, ya."

Si tetangga mengamatinya tanpa berkedip, detik berikutnya kembali mencatat begitu Bu Zulfa bersuara. Tadinya, Panji juga ingin fokus pada ceramah dosen itu, sesuatu yang menyeruak sekilas di kepalanya membuat Panji menjengit. Lagi, dia mengetuk jari-jari di meja si tetangga.

"Ya?"

"Mukamu familer deh." Panji melirik Bu Zulfa. "Ah, pasti kalian saudaraan."

Cewek itu mengernyit dan menggeleng.

Panji enggan membuat orang di sampingnya kesal karena gangguan kecilnya, maka dia berusaha menajamkan telinga agar bisa fokus. Sia-sia saja, sebab pantatnya terasa panas dan tubuhnya agak kaku. 30 menit yang panjang itu akhirnya akan berakhir, setelah Bu Zulfa mengumumkan pembagian kelompok kecil beranggotan dua orang.

Bu Zulfa memilihnya sebagai ketua di kelompok terakhir, patnernya adalah cewek yang duduk di sebelahnnya. Panji menaikkan tangan ketika cewek itu menoleh. "Oh, jangan tanya apa pun sekarang, aku mendadak pusing didaulat jadi ketua kelompok. Atau kita tukeran aja, gimana?"

"Kan sudah dicatat Bu Zulfa, kecuali kamu mau menghadap beliau langsung."

"Ribet sih itu." Panji mengeluarkan ponsel dan menjulurkannya pada cewek itu. "Nah, tolong dong nama lengkap dan nomormu."

Baru saja cewek itu hendak meraihnya, Panji menariknya lagi gara-gara layarnya mengedip. Tertera nama Bellatrix Lestrange di sana. Ogah-ogahan, Panji menjawab seraya meninggalkan kelas.

"Apa?"

"Setengah jam lagi aku sampai di sana."

"Aku pulang dengan bus."

"Ini aku sudah di jalan. Tunggu aku pokoknya." Panji mendengkus. "Kalau ada yang paling kesal di antara kita, seharusnya itu aku. Pulang-pulang dibikin shock. Kukira, kesalahanmu cuman sering membolos dan masalah kecil yang masih bisa ditolerir. Kamu minum alkohol, seolah aku nggak pernah mendidikmu dengan benar."

"Saat aku melakukan kesalahan, kamu meradang. Seolah nggak bisa memberikan maaf. Tapi, aku selalu memaklumimu yang pergi dan pulang sesukamu."

Panji memutuskan telepon secara sepihak dan memasukkannya ke dalam ransel. Bukan perkara May yang marah-marah padanya, melainkan tidak ada lagi rasa percaya kakaknya itu padanya. Itu membuat Panji terluka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro