Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PANJI BIMANTARA

Mereka baikan, Prish juga tidak bisa marah lama-lama pada Bunda, apalagi ketika Bunda membuatkan bubur jagung ayam dan mereka menonton serial di Netflix. Selesai, Prish pamit pada Bunda masuk ke kamar.

Ini hampir tengah malam, Prish sudah tidur dan terbangun lagi. Tidur lagi dan terbangun. Padahal lilin aroma terapi sudah dinyalakan sejak tadi, itu memang membantu, tidak banyak, sayangnya.

Prish tidak berminat membaca karena itu akan percuma, alih-alih mengantuk, dia akan keterusan hingga subuh. Dia memilih alternatif lain, bermain ponsel, lalu malah mendapati ada nama Panji. Satu chat terkirim ketika melihat cowok itu masih aktif.

Tak disangka Prish, cowok itu meneleponnya. "Nanyain tugas kita ya?"

"Heh, aku nggak serajin itu, ya, Ta. Kamu nge-chat aku nanya ada apa, ya aku telepon balik aja." Prish tidak memberikan tanggapan selain dengkusan. Di ujung sana, suara tawa Panji terdengar. "Aku iseng sih tadi."

"Memang kamu sering sekurang kerjaan begini?"

"Hampir tengah malam begini kamu pasti masih sibuk kerja tugas."

Diubah posisinya sekarang, Prish menyandar di kepala ranjang. Matanya sudah mulai berat, tetapi saat dipejamkan malah kesadarannya tetap ada. "Aku kesulitan tidur. Ada solusi nggak nih?"

"Menghitung domba?"

"Hah?"

"Kok, hah? Nggak pernah dengar sebelumnya?"

"Aku nggak percaya saja kamu nyaranin itu ke aku."

"Jawabannya kemungkinan besar berubah kalau kamu nanya ke profesor, tapi aku melakukan hal ini saat insomnia. Kadang, sampai domba yang ke-seratus, domba ketiga ratus─"

"Dan pernah sampai seribu?"

"Pernah malah hanya sampai hitungan kesepuluh, aku sudah nggak ingat apa-apa lagi. Satu domba, dua domba...,"

"Panji." Mendadak Pris tersenyum kecil. "Kok jadi kamu yang mulai menghitung."

"Tiga domba." Suara cowok itu masih mendominasi. "Dengerin saja, kalau aku lebih dulu tertidur, kamu boleh mencobanya."

Mulanya, dijawab Prish dengan dengkusan. Dia senantiasa mendengar, tanpa sedikit pun meralat Panji. Entah pada kehitungan ke berapa, suara Panji hanya menjadi sebentuk sayup yang kemudian menghilang.

Satu yang diingatnya yakni janji bertemu di kantin. Maka dipaksanya Restu agar ke kantin sesekali. Kabur sekali lagi dari Restu tentu akan kepastian, setelah kejadian kemarin, tentu Restu akan lebih berhati-hati.

Niken memesan beberapa porsi siomay, sesekali Prish mencomot dan dimakan bersamaan dengan sandwich isi tuna buatan Bunda. Ketika tersedak karena mulutnya penuh, serta-merta sekotak teh muncul di hadapannya.

"Diminum dulu."

"Hai, Ji!"

Panji menyapa Niken, yang kemudian dipelototi Restu. "Kalian kenal di mana?"

"Di supermarket." Prish menahan gelengan mendengar penuturan asal Niken. "Panjang deh ceritanya, habis itu kami ngobrol sebentar. Siomaynya masih banyak nih, Ji, kali kamu pengin, tapi sungkan."

"Astaga." Ditolehkan kepala pada Panji. "Ini bukan bekas kamu?"

"Salah paham terus."

"Habisnya, baru ngeh aku kalau sedotannya sudah terpasang, aku jadi mikir yang nggak-nggak."

Dehaman agak kencang dari Restu di sebelah. Diam-diam Prish mengembuskan napas. Dia janji ya, bakal menjitak Restu kalau sampai mengusir Panji. "Kamu kakak kelas yang mengulang dua mata kuliah di kelas Prish? Janjian ketemu di sini karena pengin bahas tugas, kan?"

"Panji Bimatara." Cowok itu berujar kalem pada Restu. Boleh nggak aku nyamperin kamu tanpa bawa-bawa masalah tugas? Ah, semalam nyenyak tidurmu?"

"Kamu sendiri, berhenti di hitungan berapa?"

"Kalian sedang membicarakan apa?"

"Wah, ketahuan kalian sering saling telepon-teleponan nih?" Niken menyahut, Prish mengamati betul Niken memelototi Restu agar tidak ikut campur. Senang rasanya Niken memahami keadaannya. "Eh, Ji, pengin ke mana?"

Otomatis Prish menggerakkan tubuh mengamati cowok berkucir itu bangkir dari duduknya. "Harus pergi. Aku ke sini cuman kasih itu Prish. Sampai ketemu lagi semuanya."

Baru dua langkah, Restu sepertinya akan menyahut, tetapi kali ini Prish lebih sigap mendahuluinya dengan menyumpalkan siomay ke mulut Restu, "Ini kamu habisin ya, Res."

***

"Kamu nggak ada mobil, Ji?"

Panji menggeleng. Meringis seraya berkata. "Aku dari kalangan rakyat jelata, Prish. Motor aja cuman belas kasih pinjaman dari teman."

"Eh, bener begitu?" kemudian, cowok itu lantas terbahak. Setelahnya mengacak-acak rambut Prish. "Nggak Restu, nggak kamu, sama-sama suka berantakin rambut aku, bikin gondok, tahu!"

"Karena kamu menolak diajak naik motor, kita pilih angkot ke tempat tujuan."

"Di angkot desak-desakan juga kayak waktu di bus itu nggak?" pertanyaannya mendapatkan liukan alis tebal cowok itu. "Naik grab aja, ya."

"Lama lagi kalau nunggu grab, nah itu angkotnya muncul." Panji menaikkan tangan dan seketika itu juga menarik tangan Prish. "Lagian, kalau naik ini, sulit kedeteksi sama bodyguardmu."

Niken membantunya kabur. Cukup sejam katanya, itu janji Prish pada Niken setelah itu diterima ajakan Panji untuk makan di luar asalkan tidak menggunakan motor. Sekali, dia jatuh dari motor Restu. Prish kapok dan Bunda marah besar pada Restu saat itu. Ingat Bunda, Prish berharap kali ini Bunda jangan sampai menelepon.

Menit pertama, Prish masih menerima hawa di sekitar mereka. Akan tetapi, itu berbeda saat angkot berhenti dan menaikkan tiga penumpang sehingga tubuhnya seolah terjepit di pojok. Detik itu juga Prish sudah mengibaskan tangan, mengusir gerah yang tidak hanya membuat kening berkeringat, tetapi juga tubuhnya.

"Kita maunya ke mana sih? Masih jauh?"

"Sebentar lagi."

"Lima apa sepuluh menit? Jangan-jangan sejam lebih?"

"Itu sih ngantar kamu pulang, Prish."

Turun dari angkot, Prish mengambil napas sebanyak-banyaknya. Di dekatnya, Panji tidak berkata apa-apa, sepertinya berusaha menahan senyum. "Kamu kayak lagi ngerjain aku."

"Kita makan di sana."

Telunjuk Panji mengarah ke arah seberang jalanan. Tak jauh dari taman, ada tenda yang tidak cukup besar di sana dengan beberapa pengunjung berkumpul di sana. Prish buru-buru menatap Panji, sungguh berharap dugaannya keliru.

"Ji, itu di pinggir jalan, loh. Nggak ah."

"Jangan-jangan kamu anak sultan, ya."

"Salah, aku tuh masih keturunan Raja Sunda."

"Gemblong di sana enak, Prish. Nggak kemanisan, lagian makan sekali di pinggir jalan nggak langsung bikin kamu sakit perut, percaya deh."

Dia pasrah akhirnya mengekori Panji. Prish memesan es teh tawar dan masih memandangi panganan ketan yang dibalur seperti gula aren. Selain gemblong, ada bakwan dan cimol yang dipesan Panji.

"Cobain, pasti kamu suka. Aku nggak bilang gemblongnya enak banget bikin bla bla bla, tapi sejauh yang aku tahu, gemblong ini yang paling cocok lidah aku. Coba aja, ini bukan pertama kalinya kamu makan ini, kan?"

Dua gemblong yang dihabiskan Prish, setelah itu mencomot bakwan Panji. Agak sedikit berminyak, tetapi Prish masih bisa menikmatinya. Walau jujur, gorengan buatan Bunda hampir tidak pernah menyisakan minyak di tangan.

"Ji, kamu suka makanan manis, ya? Itu sudah gemblong kelima yang kamu habiskan."

"Mama sering buatkan ini dulu. Hampir tiap hari karena permintaan aku dan May, Papa yang mengeluh karena bosan, tapi tetap dihabiskan."

"May itu saudaramu?"

"Kakak. Kamu?"

"Anak tunggal. Bunda nggak niat lagi punya anak karena nggak pengin aku cemburu katanya. Menurutmu itu masuk akal?"

"Bisa jadi. Prish, kamu bisa-bisa habisin tisu, tahu."

Dibungkukkan tubuhnya, menengok kanan-kiri kemudian. "Bakwannya berminyak."

"Tapi enak. Nggak pengin kamu cobain ini cimolnya, kupesan dua macam kuah loh, atau mau kuah yang lainnya?"

"Ya ampun, kamu banyak makan. Nggak takut gemuk apa?"

"Cowok mana mikir kayak gitu sih, Prish." Dering ponsel agak mengejutkan Prish. Ketika Panji memasukkan tangan ke saku jin, diam-diam dia mengusap dada. Cowok itu tampak kebingungan saat menjawab telepon. Panji tidak berkata apa-apa sampai meletakkan lagi ponselnya. "Kamu suka bakwan di sini, tapi minus minyaknya?"

"Cimolnya juga ah. Sausnya juga enak, gurih dan dipakain keju. Bukan berarti aku mau diajak ke sini lagi untuk kedua kalinya."

"Prish, aku juga nggak mau ngajakin kamu ke sini lagi, ya."

Cowok itu seraya tergelak, juga menghindar dari lemparan tisunya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro