Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KESAL

"Bunda ngapain ngecek hape aku?"

Segera, Bunda meletakkan ponsel. Melangkah diiringi senyum ketika mendekati Prish. "Tadi Bunda pengin angkat sewaktu ada yang telepon, keburu dimatikan."

Berusaha keras Prish menghilangkan ekspresi kesalnya. Bunda tidak hanya akan mengangkat teleponnya, beliau juga sedang ingin memeriksa chatnya, Prish yakin terlihat dari gerak-gerik Bunda tadi.

Tidak, Prish yakin sekali ketika melihat gerak-gerik Bunda tadi. Ini pasti gara-gara Bunda melihat chatnya dengan Panji, untung sudah dihapus setelah percakapannya dengan cowok itu selesai.

"Restu beneran fit ngantar kamu ke kampus, Ta? Bunda bisa mengantarmu dulu sebelum ke Sumedang."

Midi plaid skirt yang tadi dibentangkan kini disampirkan Prish. "Semalam Bunda lihat sendiri Restu sesehat apa. Lagian, Restu nggak akan tahan di rumah kalau mama papanya masih menginap. Bunda menginap di Sumedang?"

"Siapa yang mengurus kalian kalau Bunda nggak pulang, nanti sehabis Magrib, Bunda pulang. Kamu siap-siap, Bunda ke depan dulu."

Lalu Prish mengambil ponse, memang ada panggilan tak terjawab dari Fania. Abaikan dulu itu, Prish mengecek chat, untung isi chatnya dengan Panji sudah dihapus kemarin. Sebelum menunggu Restu di luar, lebih dulu Prish menghabiskan klappertart.

Restu lebih banyak menutup mulut sepanjang mereka menuju ke kampus. Tebaknya, cowok itu pasti habis berdebat saat di rumah. Kadang, Prish masih bersyukur karena Bunda dan Ayah selalu ada di rumah untuknya, beda dengan Restu, seringkali berbulan-bulan tidak bersama keluarganya. Sekalinya bersama, mereka lebih banyak bertengkarnya.

Panggilan telepon menghambat mereka, Restu sedikit gusar saat mengecek ponsel, tetapi tetap menjawabnya. Prish mengambil sengaja berjarak dari Restu, bergeming seraya memperhatikan mahasiswa lalu lalang di sektiarnya. Serta-merta, sebuah benda diletakkan di kepalanya, bersamaan dengan kemunculan tubuh jangkung di depannya.

"Buku referensi yang kamu minta nih."

Senyum kecil Panji tampak, segera Prish mengambil buku tadi. "Sudah kamu baca?" cowok itu malah mengerang. "Kok?"

"Buku itu cuman sanggup aku baca sehalaman. Nggak ada gunanya lama-lama tinggal di aku. Habis kamu baca, beritahu aku intinya. Gimana?"

"Aku kepengin ya bagian ngetiknya kamu."

"Gampang sih itu, asal kamu bawa camilan banyak-banyak."

"Bukannya kebalik ya? Cokelat yang kamu kasih itu juga lumayan, bawa itu saja."

"Prish, jauh sebelum ini, kita pernah papasan apa gimana sih? Wajah kamu kok kayak familier gitu."

"Enak saja wajah aku dibilang pasaran."

Pembicaraan mereka tidak berlanjut sebab kemunculan Restu, dari dehaman kerasnya, Prish tahu itu isyarat baginya untuk menuju ke kelas. Yang tak disangka olehnya, Restu malah merangkul pundaknya begitu melewati Panji.

"Apa deh ini rangkul-rangkul, dilihat banyak orang ah, Restu!"

"Cowok itu siapa? Akrab banget."

"Teman di kelasnya Bu Zulfa, kami sekelompok sepanjang semester dua ini."

"Dia kamu kasih nebeng nama saja, Prish, aku yakin kamu bisa mengerjakannya sendirian."

Lekas dilepas rangkulan Restu. Lama-lama Restu jadi mirip Bunda deh. "Jangan ngelarang aku berteman sama siapa, Res, cukup Bunda yang kayak gitu."

"Lihat penampilannya. Rambut gondrong dikucir asal, celana robek-robek, sepatu kusam. Tandanya itu jenis cowok bermasalah, yang perlu banget kamu hindari."

"Belakangan ini kamu bolos juga sama Niken, apa bedanya kamu dengan Panji?'

***

Minuman yang baru diteguk ini begitu manis, Prish terbatuk karenanya, Sisil begitu tanggap mengulurkan tisu. Fania masih menggebu curhat soal cowok yang baru sebulanan ini pedekate dengannya, mendadak tidak lagi muncul kabarnya.

Isi pembicaraan mereka semenjak meninggalkan kampus hingga makan di food court belum juga beranjak soal cowok. Akan tetapi, Prish tidak keberatan sama sekali. Mungkin inilah jenis percakapan normal yang dilakukan teman-temannya.

"Restu lagi sama Niken, Prish?" tak disangka Ratih malah mengajukan pertanyaan padanya. "Seringnya dia ngantar kamu pulang dulu atau sekalian bareng bertiga, gitu. Aneh saja melihat kamu ditinggal."

Yang sebenarnya adalah Prish mematikan ponsel, lalu memilih bergabung dengan teman-temannya ke sini. "Itu sih yang bikin kami jarang nawarin kamu pergi bareng kayak gini. Aku pengin iseng nanya." Prish masih mengangguk. "Pacarnya Restu nggak cemburu? I mean, kamu dan Restu dekat banget, kalau nggak kenal kamu, aku malah mikir pacarnya Restu itu kamu, bukannya Niken."

"Niken tahu betul aku dan Restu nggak mungkin pacaran. Keliatannya saja mereka sering berdebat nggak jelas, aslinya Restu udah bucin banget sama Niken." Lucu juga menyaksikan wajah tak percaya Fania dan Sisil. Prish tergoda ingin menceritakan bagaimana dia sempat menyukai Restu. Fania malah kembali bersuara.

"Mereka tahu kalau kamu dideketin Panji?"

"Panji mah, tahu-tahu ngasih cokelat, tapi udah nggak ada kelanjutan. Udah bikin orang penasaran. Saran aku nih, nggak perlulah kamu baper kalau Panji sok-sok ngegombal, dia itu punya banyak teman cewek."

"Tahu dari mana, Sil?"

"Eh, aku lihat langsung, ya. Dia pulang boncengin cewek, dipeluk erat segala. Waktu ketemu di perpus juga kemarin, dia dikerumini empat cewek sekaligus. Memang suka tebar pesona kayaknya itu cowok. Ingat, Prish, hati-hati sama cowok itu."

"Katanya Sisil pengin shopping, sekarang aja, yuk!" Prish menyalakan ponsel. Sebelum dia dihubungi Bunda dan disuruh pulang secepatnya.

Fania sedang menimbang apakah akan berbelanja baju juga, saat ditarik oleh Sisil, dia menyerah begitu saja. Prish menggeleng takjub dan mengikuti dua langkah temannya itu menuju stand yang mereka lihat pertama kali.

Ponselnya berdering tidak lama kemudian, Bunda tampak di layar ponsel. Memberitahu Fania bahwa dia menerima telepon sebentar dengan mengambil beberapa langkah menjauh. "Aku di mal."

"Kamu sendirian ke sana? Dan kamu matiin hape, bikin Bunda senewen setengah mati."

"Nggak sendirian, aku bareng teman ke sini. Aku janji akan telepon Bunda nanti."

Prish mematikan ponsel. Sisil melangkah ke luar dari stand, menunjuk stand lain, dan Prish kembali mengikuti. Di sana, Fania berulangkali menanyakan pendapatnya apakah perlu membeli sesuatu sementara uang kirimannya nyaris habis. Sayang, Prish tidak sempat menjawab karena lagi-lagi Bunda menelepon.

Bisa saja, sekalian saja ponselnya kembali dimatikan, Prish hanya takut kalau Bunda akan heboh. Sekali waktu dia pernah melakukan hal serupa, Bunda tak tanggung-tanggung melapor ke polisi, disangkanya Prish diculik. Mengingat sudah dewasa begini, Bunda tidak akan berbuat hal yang sama bukan?

"Dari tadi hapemu bunyi terus, Prish? Siapa sih?"

"Bunda nih. Aku jawab sebentar." Ketika Fania dan Sisil bergerak lebih dulu, Prish di belakang seraya menjawab telepon dengan suara yang dipelankan. "Ada apa lagi, Bunda?"

"Bisa-bisanya kamu pergi nggak pakai pamit Bunda segala, sama orang yang nggak jelas lagi."

"Bunda, aku pergi dengan teman sekelas aku, bukan orang asing, mana berani aku."

"Kasih tahu kamu di mana sekarang, Bunda ke sana."

"Kalau Bunda khawatir, aku bisa minta tolong ke teman aku buat nganter aku pulang. Nggak usahlah Bunda sampai segala jemput di sini?"

"Tata, kasih tahu lokasimu sekarang juga! Bunda nggak terima penolakan atau apa pun itu. Lagian, kayak Bunda nggak bisa nemenin kamus segala."

"Bunda lama-lama bikin aku gondok deh!"

30 menit berikutnya, Prish sudah naik ke mobil. Terang-terangan menunjukkan raut kesal. Namun, Bunda malah celingukan, bertanya ke mana teman-teman yang dimaksud olehnya tadi. Bodoh kalau Prish memberikan kesempatan Fania dan Sisil kena omel Bunda.

Prish mengambil ponsel, tidak mengacuhkan pertanyaan Bunda. Kemudian, "Ada apa sih denganmu, Ta? Bekangan kamu banyak permintaan aneh, bikin Bunda bingung. Tolong, lain kali jangan begini. Kalau nggak menelepon Restu, sampai sekarang Bunda nggak tahu kamu menghilang."

"Astaga, aku cuman jalan-jalan doang. Ini Bandung, Bunda. Nggak bakal bikin aku tersesat!"

"Ini jadwal kamu menstruasi, Ta, sampai sama Bunda pun kamu ngomong ketus begitu?"

Saat ini, Prish benar-benar ingin menangis, untuk sesuatu hal sepele.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro