CHAT
Video itu baru diputar belum ada 10 menitan, Panji sudah bosan. Konser terakhir May sebelum kembali ke Bandung beberapa waktu lalu. Setahunan ini dia jarang menoonton May. Malas saja, itu yang sempat dikatakannya pada kakaknya. Panji akan menuju aplikasi lain ketika orang yang hendak dihindarinya itu menelepon.
"Hm." Tatapannya sejenak pada Prish, yang sepertinya semakin tersiksa berada di sini.
"Lama-lama aku tuh malas telepon kamu, Ji. Pura-pura senang jawab telepon aku kan kamu bisa."
"Hai, May. Jetlag ya? Aku tunggu telepon kamu dari kemarin-kemarin loh padahal."
"Sengaja aku tunggu sehari, kamu pernah protes sampai ngatain ak rentenir segala gara-gara suka telepon kamu. Itu berisik banget di sana, lagi di mana?"
"Menuju ke rumah, naik bus. Nggak ada motor ya aku kelimpungan sendiri karena lagi nggak bawa dompet."
"Kunci motor itu aku simpan di lemari pakaianmu, Ji."
"Lemari yang ada di kamar? Sialan!"
Panji mencoba peruntungannya semalam dengan mencari kunci tersebut. Di bawah lemari pendingin. Di tumpukan gelas. Biasanya memang May meletakkannya di sana. Rupanya malah ada di kamar.
"Eh, mulut kamu ya, Ji. Kukasih tahu, aku masih sakit hati sama apa yang kamu bilang sewaktu aku dan Rekza ke Yogya. Sekarang malah mengumpatiku."
"Aku─Mau salah paham terus ya terserahlah."
Dia meniatkan mematikan saja ponsel ini, percakapannya bersama May, lama-lama mereka seolah melupakan percakapan normal yang biasanya dilakukan. Sampai suara napas berat menarik perhatian Panji ke samping. Prish terkulai dengan napas putus-putus.
Riuh di dalam bus saat Panji berulang kali memanggil Prish, sesaat menyadari kesalahannya karena memancing kerumunan orang-orang. Hanya saja, Panji benar-benar panik saat ini.
Salah seorang di antara mereka menyuruh Prish melakukan terapi pernapan. Mulanya, Prish seolah tidak mendengar, lama-kelamaan bisa juga dia melakukannya. Kini Panji berseru pada kenek, agar membawa mereka terlebih dahulu ke rumah sakit. Sempat terjadi perdebatan sebab keduanya diturunkan saja. Nyaris Panji memelesat demi menyekik leher kenek dungu itu. Si sopir setuju membawa mereka ke rumah sakit.
Begitu diturunkan di depan rumah sakit, seseorang memekik memanggil Prish. Memberondong Panji dengan banyak pertanyaan akan kondisi Prish. Mereka masih di IGD. Keadaan Prish sudah mendingin. Tidak ada titik-titik peluh di kening, meski tetap saja, dia masih pucat.
Dokter mengatakan Prish tidak apa-apa, kesehatannya bagus. Niken, teman Prish yang muncul begitu saja tadi, meminta agar dilakukan pemeriksaan EKG. Jantung Prish memang dalam kondisi baik.
"Oh, ini sudah dua kalinya Adek seperti ini? Sesak napas seperti yang Adek alami ini biasanya dipicu stress atau kelelahan."
Setelah istirahat sejenak, Prish meminta Niken membawanya pulang sekarang. Panji membantu Prish sedangkan Niken menyelesaikan administrasi.
"Butuh minum?" Panji menyerahkan sebotol minum dari ranselnya. "Nggak, kamu sebaiknya minum dulu, nih!"
Niken sudah muncul. Melirik Panji sebentar lantas duduk di samping Prish bersamaan dengan ponsel yang mendering. Dilihatnya Prish mengembuskan napas, mengirim wajah memelas saat menyerahkan ponselnya ke Niken.
"Bukannya di saat kayak gini, ibumu perlu tahu─" Panji terkesiap saat Prish menekap mulut disertai mata yang menanap.
"Tenang, Bun. Aku anterin Prish sekarang, kok." Niken kembali menyerahkan ponsel tersebut pada pemiliknya, yang menjawab pendek-pendek lantas memasukkan ponsel ke dalam tas. "Untung Bunda nggak telepon pas kamu diperiksa atau lebih parahnya saat kamu sesak napas di bus."
"Itulah, sebelum lupa, jangan bilang dulu Restu tentang apa yang aku alami tadi."
"Prish, kamu nggak pengin mengikuti saran dari dokter tadi, menemui ahli jantung?" Panji ingin bertanya sebenarnya, tetapi hal ini yang harus diutarakan terlebih dahulu. Niken memandanginya kemudian mengangguk meminta jawaban Prish.
"Mungkin aku memang nggak apa-apa."
Panji berdeham. "Baru kemungkinan. Kamu toh nggak rugi seandainya benar jantungnya memang sehat. Baik, pikirkan saja dulu. Dan saranku, kasih tahu orang tuamu. Bye, guys!"
"Eh, bareng sama kami aja, Ji." Niken bersuara. Panji menggeleng. "Atau karena nggak mau disopiri cewek ya makanya nolak?"
Saat Panji berdengkus, Prish malah tertawa. "Omong-omong, aku belum bilang makasih, Ji. Sudah dibikin panik, diantar ke rumah sakit pula."
"Sisanya kalian ngobrol di mobil, ya. Nanti Bunda telepon kamu lagi loh, Prish. Berabe kalau kita masih di sini."
Tak disangka Panji, Niken langsung menariknya, tak peduli meski Panji setengah menyeret langkahnya mengikuti cewek-cewek itu.
***
Ada Bunda sedang berjongkok di depan bonsai Lantana kesayangannya. Dia tidak habis pikir, bunga seperti semak yang hidup liar di luar pagar rumah kini terlihat cantik setelah diurus Bunda. Prish tidak mendekat, setelah menutup pagar, dia agak menjingkat menuju ke dalam.
"Eh, Prish sini dulu." Bunda menghentikan langkahnya. "Kabur karena kamu ngira bakal disuruh bantu-bantu di sini, ya?"
Prish cengengesa. Lebih tepatnya, dia enggan diintrogasi saat melihat isi barang yang dibawanya sekarang. "Aku malas mendekat karena baunya itu, Bun. Kita berjarak kayak gini nggak masalah, kan?"
"Lantana ini pengin Bunda bawa masuk, bagusnya disimpan di mana, Prish?"
"Yang bener saja, Bunda. Jadi bau dong di dalam."
"Baunya nggak semenyengat itu, ya. Bunda mau naruh di teras belakang, enak gitu ngumpul-ngumpul di sana terus lihat view cantik gini."
"Di situ oke juga sih. Bunda keringatan begitu cuman gara-gara berkebun, ibu-ibu di sebelah kalah dong."
"Kamu ini. Tadi jogging di luar, habis itu nyabut daun-daun kering di sini. Itu apa yang kamu bawa?"
Lihat, pasti masuk dalam radar bundanya. Prish menaikkan plastik putih di tangan. "Lilin aromaterapi, aku butuh kalau lagi di kamar, enak banget hirup aromanya pas lagi konsen ngerjain tugas. Dan dikasih Niken. Oh iya, Restu pengin makan malam ke sini nanti."
"Ngapain makan malam di sini sementara Papa mamanya masih di sana? Anak itu mulai cari gara-gara."
Prish duduk di pinggiran lantai saat ampu indikator ponsel menyala, sebuah chat masuk dari Panji. Menanyakan kabarnya mengenai pemeriksaan yang dilakukan kemarin.
Hasil rotgen kemarin, semuanya oke. Seperti yang dibilang dokter waktu itu, aku kelelahan, makanya sampai sesak napas kayak kemarin itu. Makasih sudah nanyain kondisi aku, Ji.
Panji Bimantara
Untung deh, aku tuh masih parno. Mikirin aku bakalan diapain kalau terjadi sesuatu sama kamu.
Niken ada ngomong sesuatu sama kamu ya?
Panji Bimantara
Dia bilang, lecet sedikit saja, aku bakal digoreng orang tua kamu. Masa mereka sesadis itu, Prish. Nggak, kan?
Niken ya bisa-bisanya seember itu. "Lagi chat sama siapa, Ta? Itu temanmu kayak nama cowok, atau memang cowok ya?" tak disangka, Bunda sudah berdiri tak jauh darinya. Dibalik ponselnya. "Beneran cowok, Ta?"
"Ini teman sekelas aku. Kami sekelompok selama semester ini, kan diskusinya ribet mesti tatap muka. Eh, Ayah pulang cepat, nggak biasanya."
Bunda berbalik, kesempatan itu segera digunakan Prish untuk kabur.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro