Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

"Kalian memberitahukannya ke orang lain juga?" tanya Shino setelah mendengar cerita Yuka soal surat misterius yang ditemukannya waktu itu.

Yah, seperti prediksinya, Shino mau jika alasannya penting. Untung saja Yuka memiliki otak cemerlang. Kalian tahu, Yuka meninggalkan bagian cerita tentang sapu yang menjadi kesayangannya ini. Hanya ingin saja.

Aiko menggeleng sebagai bentuk jawaban.
"Boleh kulihat suratnya?" tanya Shino pada cewek manis di depannya.

Yuka menggeleng. "Maaf, Senior. Aku hanya akan memberikannya pada Kepala sekolah."

Shino mendesah panjang. "Baiklah. Akan kucoba. Tapi nggak janji," ujarnya lantas memposisikan diri setenang mungkin. Matanya terpejam untuk terhubung dengan kepala Sekolah. Jika saja dua juniornya tau kalau Kepala sekolah tidak segampang itu dihubungi. Meski mereka memiliki hubungan darah sekalipun.

Yuka menanti dengan gelisah. Untuk beberapa kali meremas ujung roknya sebagai pelampiasan. Hening menyelimuti mereka. Aiko menepuk bahu Yuka untuk menyalurkan energi. Kenapa lama sekali?

Beberapa menit berlalu, Shino membuka matanya. "Maaf, sepertinya dia sibuk."

Kecewa tentu saja. Mungkin saja kepala sekolah sibuk berdiskusi dengan pemerintah untuk meredam langit yang makin murka. Ya, keadaan dua hari ini lebih baik daripada waktu itu. Tidak terlalu menakutkan.

"Baiklah. Kami akan pergi," ucap Yuka pamit undur diri. Dia tidak ingin Shino menanyainya lebih jauh lagi. Yuka tidak ingin berbohong lebih banyak dari biasanya.

Aiko berpikir sambil berjalan. "Yah, padahal dia datang tiba-tiba malam itu."

"Mungkin memang sibuk."

Aiko mengangguk setuju. Tidak akan ada yang menyangkal hal itu. Sepanjang jalan, mereka berdiskusi panjang lebar tentang kepala sekolah. Baru Yuka ketahui bahwa beliau menguasai tiga elemen sekaligus. Julukan hantunya baru Yuka sadari sekarang. Dia memang sering datang tiba-tiba.

"Ah, ada yang menarik!" ujar Aiko tiba-tiba. Di sela-sela buku-buku yang menjulang di depanku. Ya, Yuka menarik Aiko ke perpustakaan. Meski cewek yang selalu antusias itu malah membawa cemilan ke sini walaupun itu dilarang. Dia memang berani sekali.
Yuka mendekatkan wajahnya sesuai kode dari Aiko.

"Ada yang bilang kepala sekolah menutupi rahasia itu."

Yuka menelengkan kepalanya. "Rahasia apa?" tanyanya mencoba menggali informasi yang mungkin saja terlupakan. Sayangnya, Yuka memang tidak pernah tertarik dengan gosip. Jika bukan Aiko, mungkin Yuka juga tidak tahu kalau Kepala sekolah memiliki kebiasaan pergi ke perpustakaan. Pantas saja, waktu itu mereka bertemu.

"Kamu tidak tahu?" tanya Aiko seolah memastikan kepayahan Yuka dalam mendapatkan informasi. Gelengan Yuka membuat Aiko mendesah, mendramatisir keadaan.

"Legenda di Academy ini."

Yuka sukses melebarkan matanya. Terpengaruh dengan suasana tegang yang diciptakan Aiko.

Aiko berubah antusias ketika Yuka tertarik dengan ceritanya. "Pernah ada penyihir yang menikahi manusia. Dan, kutukan terjadi. Lalu—"

"Siapa yang berisik? Diam atau jangan ke sini selamanya!" Suara penjaga perpustakaan terdengar lantang. Keduanya meringis. Aiko meraih satu buku, pura-pura membacanya. Yuka baru bisa bernapas lega saat Miss Kanny kembali duduk di kursi kebesarannya. Jika saja ketahuan tadi, Yuka bisa mati kebosanan kalau ditaruh pada daftar blacklist.

"Ryu!" sapa Aiko keras. Lantas, tangannya yang tadi melambai turun kembali. Yuka lihat Miss Kanny memberikan sinar lasernya pada mereka. Sebenarnya bukan hal penting, sih, Yuka heran kenapa Ryu dan Aiko bisa kenal. Suasana jadi tidak nyaman ketika Aiko mengajaknya duduk bersama, dan sialnya cowok itu menerimanya tanpa ekspresi.

"Kalian di sini," tanya Ryu lalu menatap ke samping kirinya, tempat di mana Yuka duduk. Tidak ada raut terkejut di wajahnya.

Yuka geleng-geleng kepala.

"Sapunya bagus."

Yuka langsung menengok. Dia bicara sama buku? Sebentar, deh. Kalau diingat-ingat lagi, tidak ada yang bawa sapu sampai ke perpus. Apalagi jumlah pengunjung bisa dihitung jadi. Tempat Yuka meletakkan sapu di dekat rak sepatu hanya dia seorang. Tunggu, berarti ...

"Mmm. Dia menemukannya di halaman belakang. Ck ck, padahal sudah kusuruh buang aja," gerutu Aiko seolah menguatkan dugaannya.

"Makasih, deh."

"Jarang ada sapu memiliki hologram," timpal Ryu pelan. Sepertinya Aiko tidak dengar. Hologram? Halaman di buku Ryu memang menampilkan gambar sapu-sapu terbang yang menjadi legenda. Jadi, dia tidak ngomong sama Yuka, ya.

"Eh, Ryu. Biasanya kepala sekolah di mana?" tanya Aiko tiba-tiba. Nah, tambah aneh. Kenapa juga tanya sama Ryu coba?
Ryu menatap mereka berdua curiga.

"Kita cuma mau tanya doang, kok!" ujar Yuka tiba-tiba.

"Kalian datang aja ke sini, tengah malam."
Ryu beranjak dari duduknya, meninggalkan mereka berdua yang tengah terbengong-bengong. Demi apa murid baru malah bisa tahu segalanya. Eh, atau dia cuma bohongin aja?

Yuka menatap Aiko. "Dia anak angkat kepala sekolah."

"Hah?" Kali ini Yuka yang menjatuhkan mulutnya. Kok dia baru tahu, ya?

***

Maka, malam-malam mereka pergi ke perpustakaan. Tentu saja menggunakan kunci duplikat yang didapatkan dari mengelabuhi penjaga gudang-gudang ternyata mayat hidup. Bukan mayat hidup juga, sih. Hanya saja, dia tidak akan beranjak dari kursi goyangnya sedikit pun. Pantas saja Yuka tidak pernah melihatnya.

Aiko menggoyangkan kunci itu. Dia memang berbakat dalam berbicara.

"Pelan-pelan," Tegur Yuka sambil berbisik.
Bisa bahasa kalau ada yang melihat. Melarikan diri dari pengawasan penjaga asrama saja sudah termasuk hebat.

Aiko mengangguk. Beberapa detik terlewati, suara pintu berdecit membuat keduanya memekik senang.

"Kamu tunggu di sini," perintah Yuka ketika Aiko mengikutinya masuk.

Aiko menggeleng. "Kalau ada apa-apa?" tanyanya tidak yakin.

Yuka menggeleng. "Aku bakal teriak."

Aiko menyerah. Membiarkan Yuka masuk tanpa dirinya. Dia bersandar di dinding dekat pintu. Membiarkan pintunya terbuka sedikit untuk melihat keadaan di luar sana.

Baiklah. Yuka mendesah panjang. Dia sudah rela ke sini mati-matian. Jika yang dikatakan Ryu bohong, tamatlah riwayat cowok itu.

Yuka menyisir ke dalam dengan hati-hati. Ruangan gelap sekali. Kedua tangannya digunakan sebagai petunjuk arah. Beberapa kali dia menabrak pinggiran meja atau rak buku.
Yuka mulai ragu. Ditepisnya  perasaan itu. "Selamat malam, kepala sekolah!" sapa Yuka ditengah keheningan yang tercipta. Dia menoleh ke belakang, Aiko masih terlihat walau gelap menyelimuti mereka.

"Saya ingin bicara," ujar Yuka lagi.

Tidak ada sautan apa pun meski dia menunggu. Usahanya seperti sia-sia. Mungkin saja kepala sekolah tidak datang malam ini. Atau mereka memang benar dikerjai. Jawabannya pasti yang terakhir. Yuka jadi geram sendiri.

Awas aja dia!

Yuka berbalik setelah sepuluh menit dalam kesabaran. Rencana ini gagal total. Berjalan pelan seperti rute yang dihapalnya tadi. Sampai sebuah cahaya terang membuatnya berhenti. Tepat di rak paling ujung dari tempatnya berdiri. Seperti penerang dalam kegelapan. Berniar dengan warna perak. Sekilas, ada kabut yang berbaur dengannya. Apa itu kepala sekolah?

Yuka mengendap-endap. "Permisi!" ujar Yuka sesopan mungkin.

Yuka berdiri sejajar dengan rak, sehingga belum melihat sumber dari sinar itu berasal. Dia melongok sedikit ke sumber cahaya itu. Eh, tidak ada siapa pun.

Yuka mendesah. Dahinya mengernyit saat sebuah lubang mirip black hole. Tapi cahaya yang keluar warna putih, padahal kan harusnya hitam. Seolah menonton film, ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Yuka mengira suara yang terdengar berasal dari ranting yang bergesekan. Persis seperti pohon-pohon berwarna hijau kegelapan yang bergoyang diterpa angin.

"Tempat apa itu?" tanya Yuka tidak mengerti.
Lubang itu berlutar-putar. Gambar di dalamnya bergerak lebih cepat. Yuka memutuskan untuk menepis jarak. Sesuatu yang magis seolah menariknya ke dalam.

Seperti anggur yang memabukkan, menjeratnya dalam sekali lihat. Yuka sampai tidak berkedip saking kuatnya energi yang dipancarkan lubang itu. Telunjuknya terjulur untuk menyentuh sehelai daun yang baru saja gugur.

"Akhh!"

Yuka tersentak. Jemarinya tersedot. Keringat dingin bercucuran. Berjalan mundur dengan teratur hingga menabrak kursi. Suara berisik yang langsung disauti Aiko dari jauh.
Yuka berjalan menuju Aiko tanpa berpikir panjang. Terlihat, ada seseorang yang mereka cari di sini.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Pertanyaan menusuk itu membuat mereka takut. Tanpa sadar, keduanya bergerak gelisah di tempat.

"Ma-Maaf. kami mencari Anda," jawab Yuka gugup.

Kepala sekolah, paruh baya itu terdiam cukup lama. "Aku berada di ruangan besok setelah makan siang."

Yuka mengangguk. Aiko mengucapkan selamat malam setelah memohon maaf atas kelancangan mereka. Tentu saja agar tidak mendapat hukuman karena menyalahi aturan. Beruntung Kepala sekolah menyetujuinya tanpa bertanya kenapa.

"Kenapa wajahmu pucat sekali?" tanya Aiko lalu menyentuh dahi Yuka.

"Ada sesuatu yang aneh."

Aiko mengernyit.

Yuka memandang ke langit. Gelap bertambah gelap. Tanpa bintang atau bulan. Kepalanya berpikir keras. Lubang itu? Ryu? Apa Ryu tahu sesuatu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro