Bab 5
"Semua MAC akan dibentuk kelompok sesuai dengan elemennya. Harap kerja samanya," ujar kepala sekolah khidmat.
Seseorang mengacungkan cari, cowok dengan kaca mata berdiameter lima belas meter. "Kenapa? Apa akan ada peperangan?"
Seolah mewakili pikiran orang-orang yang berada di ruangan ini, kepala sekolah menghela napas panjang. Lantas, dia tersenyum menenangkan. "Hanya berjaga-jaga saja. Klan Scamael mungkin muncul kembali."
Semuanya terpekik. "Bukankah itu cuma legenda?" tanya Aiko yang membuat orang setuju. Siapa pun tahu, kalau para orangtua selalu menceritakan Klan Scamael. Tentang kehebatan mereka yang tiada duanya di masa lalu. Jika ada dua golongan penyihir, Scamael termasuk golongan hitam. Meski begitu, tidak pernah pertengkaran di dunia sihir karena perbedaan itu. Bahkan, penyihir berhologram emas itu sering berinteraksi dengan sesama manusia. Kabarnya, Klan itu sudah punah bahkan sebelum Yuka lahir.
"Mereka bukan musuh kita!"
"Yang benar saja!"
Kepala sekolah membuat lantai bergetar karena keributan yang terjadi.
"Cuaca akan bertambah buruk sampai Lusa. Berada di Academy lebih baik daripada di luar sana."
Tanpa menjawab pertanyaan lebih lanjut, kepala sekolah menghilang. Ditelan black hole dan meninggalkan gerutuan tentang keputusan Academy. Membosankan sekali pasti. Para MAC membubarkan diri setelah pengumuman mendadak itu. Masing-masing memilih kembali ke kamar. Sebagian kecil memilih tinggal, seperti Yuka, Aiko dan beberapa teman selevel 1.
"Apa rencanamu, Aiko?" tanya Shisy. Dia punya bakat elemen api. Bahkan, style dari ujung rambut sampai kaki berwarna merah menyala. Tentu saja dilengkapi dengan kepribadiannya yang selalu membanggakan semuanya.
"Aiko akan kuajak meracik ramuan," ujar Yuka berinisiatif memasuki pembicaraan. Desahannya terdengar ketika Sishy hanya menatapnya sekilas. Seolah tidak pernah menganggapnya ada.
"Yah," ujar Sishy tiba-tiba. "Kamu memang harus selalu meracik ramuan," lanjutnya dengan senyum mencemooh.
Kepalan tangan Yuka menandakan emosinya berada di puncak. Bahunya tertahan ketika berniat mengejar Sishy yang sudah menjauhi mereka. Bagaimana pun, apa yang dikatakannya benar.
"Tenang, Yuka. Dia hanya iri sama kamu," timpal Aiko menepuk pundak Yuka lembut. Setidaknya, ada yang menghargai Yuka selayaknya teman.
"Ah. Bagaimana kalau kita buat banyak daging asap!" seru Yuka memikirkan ide konyol yang bakalan mereka jalankan. Tentu saja bermalam tanpa makan apa-apa pasti tidak seru.
Aiko mengangguk. "Aku akan mencari bahannya di dapur. Dah!"
Yuka mengangguk paham. Sepeninggalan Aiko, dia berniat menuju perpustakaan utama untuk mencari buku ramuan yang belum dibacanya. Eh tunggu, tunggu! Kenapa kaki Yuka tidak bisa bergerak?
Yuka menatap kedua kakinya, memerintahnya untuk berjalan. Melirik kanan kiri, "tolong! Kakiku nggak bisa digerakin," ujarnya memelas.
Yang ada, para MAC cewek kebanyak hanya berlalu atau sekadar memberinya lirikan. Hatinya kembali diremas.
Yuka mencoba berulang-ulang. Kegagalan terus saja menyertai usahanya. Lalu, tepukan pada bahunya membuat Yuka tersentak.
"Berhati-hatilah," ujar cowok bermata emas yang membuat Yuka memekik. Tanpa sadar, dia mundur dengan jantung meloncat-loncat.
Sebentar, kakinya bisa digerakkan lagi?
"Kamu yang ngelakuin, ya?" tuding Yuka yang menimbulkan keributan kecil di sekitar mereka.
Yuka tidak bakalan terpengaruh dengan ekspresi sok polos itu. Kendati semua orang malah menatapnya sinis. Bagaimana mungkin tadi kakinya tidak bisa digerakkan, dan hanya satu tepukan bisa bergerak lagi? Jika Yuka bercerita seperti itu pun, toh, tidak ada yang peduli. Makanya, dia memilih abai pada sekitar.
"Apa?" tanya cowok itu mempertahankan tampang datarnya.
Dasar, nggak merasa bersalah banget!
"Kamu yang ngerjain aku, ya?" tanya Yuka sudah siap mengeluarkan mantera pengunci lawan. Biar nanti kalau dihajar langsung babak belur tanpa perlawanan.
"Aku bukan mereka."
Tangan Yuka yang siap menonjok terurai kembali. Entah kenapa, kalimat itu menyentil hatinya. Bibirnya bergetar tanpa tahu kenapa.
"Lagian, ngerjain kamu nggak ada untungnya," lanjut si mata emas. Terdengar mengejek di telinga Yuka.
Eh?
Yuka langsung menarik simpatinya sama cowok ini. Dia pandai banget, ya, ngubah suasana.
"Apa? Heh ... mata kucing," ujar Yuka. Bibirnya langsung terjatuh karena si cowok mengucapkan mantera pengunci juga.
"Ryu. Ryuji. Itu kalau kamu punya etika manggil orang."
Dua kali Yuka dihina. Wah! Keterlaluan! "Oke. Ryu. Kamu, kan nggak tahu siapa aku. Jangan seenaknya ngomong dong!"
Yah, kalimat itu tidak sepenuhnya untuk Ryu.
Ryu menggendikkan bahu. "Salam kenal, Yuka," ujarnya dingin.
Yuka sampai tidak bisa berkata-kata mendengar namanya disebut. Sampai punggung Ryu tidak terlihat di pintu Kafetaria, dan Aiko yang melambaikan tangan dari Utara, Yuka masih syok. Apa itu tadi? Ada, ya, orang kayak gitu.
***
"Ah, akhirnya selesai juga merapikan semua ini!" seru Aiko seraya meregangkan otot tangannya. Dia menutup loker dengan tenaga ekstra, hingga beberapa MAC yang lewat langsung memberi antensi.
Peralatan yang tadinya mau dibawa pulang terpaksa dirapikan kembali. Meski sebagian besar merasa keputusan itu tidak masuk akal sama sekali. Ayolah, mendung di Kota bukan hal mengejutkan sejak Yuka lahir. Makanya kota ini dikenal dengan Kota Kutayami. Entah bahasa apa itu, Kepala sekolah biasanya mengucapkannya di beberapa kesempatan.
"Aku harus meminjam beberapa buku dulu. Mau ikut?" tanya Yuka seraya mengeluarkan kertas ajaib yang melayang-layang memutari mereka. Terlihat Nama Yuka di bagian depan, dan ketika dibuka bakalan ada daftar panjang buku-buku yang dipinjamnya hampir sepanjang berada di Academy ini. Bisa dibilang, dia penghuni perpustakaan kedua setelah Miss. Kanny, penjaga perpus yang berupa wanita tiga puluhan. Kacamatanya melebihi milik kepala sekolah.
"Kamu tidak ingin bermain di taman saja?" tanya Aiko setelah mengucapkan penolakan secara halus.
Bermain dengan sapu terbang, biasanya berlomba siapa yang paling cepat sampai di garis final. Yah, meski dia bisa menggunakan sapu terbang, ada buku yang belum dibacanya.
"Nggak, deh. Kamu aja duluan. Dah!" tolak Yuka lantas melambaikan tangannya.
"Tapi aku nggak ada yang ngajarin lho!" seru Aiko yang langsung mendapat lambaian tangan dari Yuka.
Yuka menuju bawah tangga yang menghubungkan dengan lantai kedua. Mencari tempat tersembunyi yang tidak dilihat siapa pun. Pada dinding berwarna cokelat tua itu, Yuka menempelkan tangannya. Lalu dari sana, muncullah black hole yang bakalan membawanya ke perpustakaan dalam satu kedipan mata. Yuka masuk ke sana setelah memastikan sekitarnya terkendali.
Jangan bicara sama orang lain, ya?
Yuka tidak mau dicap bertambah aneh karena bisa menciptakan black hole yang umumnya terlihat mengerikan. Cukup bahwa dia-tidak-berbakat-elemen-apa pun, jangan tambah titel lagi.
Bukan apa-apa, Yuka ingin melatih kemampuannya yang lain sesering mungkin. Kekurangan seseorang harus ditutupi dengan kerja keras, kan?
Black hole itu membawanya ke sisi perpustakaan bagian Utara, tempat yang jarang dikunjungi siapa pun. Ah, memang jarang sekali yang mengunjungi perpustakaan kalau tidak ada tugas meminjam buku ramuan atau sejarawan.
"Astaga!" Yuka berdecak sebal ketika menemukan seseorang membelakanginya dengan pakaian serba hitam dari ujung kepala sampai kaki.
Seseorang itu memutar kepalanya tiga puluh sentimeter, melirik Yuka sebagai jawaban siapa yang menjerit sore hari begini.
"Ah!" Yuka tiba-tiba berteriak jengkel melihat mata emas itu. Lagi-lagi dia. Setelah memastikan black holenya lenyap, dia memutuskan abai pada cowok itu.
"Kamu baru saja datang," gumam cowok itu setelah menutup bukunya dengan keras.
Langkah Yuka terhenti seketika. Melirik cowok itu bingung. "Kamu bicara sama aku?" tanya Yuka melirik sekitar. Sebenarnya tidak perlu karena tidak ada siapa pun yang melihat mereka, tepatnya tidak ada siapa-siapa. Bahkan, suara dengkuran yang berada di dekat pintu masuk sampai ke ujung ruangan tempat mereka berdiri.
"Padahal, aku di sini satu jam yang lalu," lanjut Ryu seolah menganalisis kejadian yang barusan dialami.
Yuka gelagapan. Dia melotot. "Kamu aja yang nggak tau. Aku ketiduran di sana," elaknya lalu menunjuk rak buku yang berada paling ujung. Memang ada kursi rusak di sana. Dan, tidak akan terlihat orang luar.
Ryu terdiam cukup lama. "Oh," jawabnya yang Yuka anggap sebagai akhir pembicaraan mereka.
"Aku lapar," ujar Ryu tiba-tiba.
Yuka sih cuek aja. Dia tidak punya urusan lagi dengan mata kucing itu. Menatap rak tinggi berisi informasi tumbuhan-tumbuhan yang berada di hutan belakang Academy membuat minat Yuka meningkat tajam. Dia berencana mengajak Aiko berburu malam nanti. Tentu saja tidak boleh ketahuan kepala asrama. Bisa-bisa mereka dihukum karena melanggar aturan asrama yang melarang keluar malam setelah jam sembilan. Salahkan saja kegiatan asrama yang memang baru berhenti tepat tiga jam sebelum tengah malam.
Tidak disangka, Ryu mengikutinya. "Apa?" tanya Yuka tak acuh. Memilah-milah buku di depannya.
Ryu bersandar di sebelahnya dengan tangan masuk ke saku. Cih, posenya itu lho.
"Kafetaria sepertinya tutup."
Ngomong apa, sih? Yuka sampai melipat dahi memikirkan arah pembicaraan Ryu ke mana. Diliriknya cowok itu supaya jauh-jauh darinya.
"Maaf. Tapi, aku nggak bisa nyihir kursi jadi makanan," balas Yuka ngawur. Dia telah membawa dua buku yang rencananya akan di bawa ke asrama. Oh, mungkin sedikit membaca awalnya di sini. Mengingat Aiko pasti belum selesai 'bermain' dengan yang lainnya.
"Kamu bisa membuatnya," ujar Ryu tanpa berdosa.
Yuka bengong sesaat. "Aku? Maaf, aku tidak sebaik itu tau," ujarnya jengkel.
Ryu masih mengikutinya saat berjalan menuju meja Miss Kannya. Apa maunya dia?
"Ya. Aku juga tidak akan menjaga rahasiamu tadi."
Dia melihat? Yuka buru-buru berhenti. Menimang-nimang sejenak ternyata Ryu tidak sebodoh dugaannya. Menggigit bibir dan berseru kencang saat Ryu mengeluarkan ancaman itu sekali lagi. Apalagi ketika ekor matanya melirik kepala sekolah yang kebetulan baru masuk ke perpustakaan. Merepotkan sekali!
"Oke. Aku tunggu di Kafetaria."
Ryu mengangguk. Tanpa senyum, dia berjalan menuju kepala sekolah yang tadi memanggilnya lewat tatapan mata.
Yuka menggerutu meski Miss Kanny menggodanya habis-habisan dengan murid baru itu. Oh, jadi dia murid baru. Pantas saja gaya sombong itu tidak pernah Yuka temui pada diri siapa pun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro