Bab 34
Yuka dan berjanji keesokan harinya akan datang ke sini lagi. Waktu berlalu cepat. Mereka berdiri di pojok ruang perpustakaan. Menatap dinding yang bisanya terdapat portal itu.
"Kamu punya ide?" tanya Yuka meraba-raba bagian itu. Tetapi, tidak ada tanda-tanda akan keluar portal atau sejenisnya.
Ryu mengepalkan tangannya. Meninju bagian dinding itu hingga genggaman tangannya memerah. Ryu meringis sedikit. Tersenyum puas saat retakan dinding itu tercipta. "Coba kamu gali ingatan mereka," suruhnya.
Ryu ternyata menghancurkan segel yang berlapis di dinding. Tindakan cerdas karena jika menggunakan kekuatan elemen mereka, seseorang pasti bisa mengetahuinya dengan mudah.
Yuka mengeluarkan ingatan ketika portal itu muncul. Dia menarik portal itu agar muncul kembali. Dalam beberapa menit, Yuka tersenyum puas melihat dinding mengeluarkan cahaya putih. "Kita masuk."
Ryu mengangguk. Mereka saling menggenggam. Bertekad akan kembali dengan selamat. Tidak seperti Balck hole yang menyedot mereka ketika masuk, garvitasi portal itu jauh lebih kuat. Mereka tersedot sebelum sempat memasukkan tangan ke dalamnya.
Jatuh. Keduanya berbenturan pada sesuatu yang dingin. Tanah yang lebih gembur daripada biasanya. Yuka yang menyadari kalau mereka berada di hutan mati lagi. Pepohonan yang sama, suasana yang sama. Kecuali rumah yang tadinya tidak ada. Kini berdiri jelas di depan matanya.
Rumah itu berwarna cokelat. Terbuat dari kayu-kayuan yang selalu mengeluarkan aroma vanilla. Atapnya terbuat dari dedaunan berwarna hijau terang. Kontras dengan tempat ini yang didominasi oleh warna hitam.
"Apa kita kembali ke masa lalu?" tanya Ryu memikirkan kemungkinan yang terjadi.
Yuka menggeleng. "Langit masih mendung dan hutan tetap saja mati."
Ryu menahan napas. Tidak ada yang berubah. Mereka seperti berada di dunia lain saja. Ryu bergerak waspada saat sesuatu melompat-lompat ke arah mereka. Setelah ditelusuri, ternyata hanya sebuah kelinci yang memetik rerumputan di teras depan.
"Ada sesuatu di rumah itu," gumam Yuka mengajak Ryu masuk ke saja.
"Aku berpikir sama," balasnya menyetujui. Dia memimpin jalan. Berjalan mengendap-endap seolah tempat ini dijaga pasukan berbahaya. Yuka memegang bagian belakang jubah Ryu sebagai pegangan. Dia merasa diawasi di sini. Padahal, hutan masih sama sunyinya.
"Kamu mau masuk?" tanya Ryu setelah berhasil mencapai pintu kayu seukuran tubuh mereka. Ketika Yuka mengangguk, Ryu membuang pintunya dengan siaga penuh. Siap menyerang jika ada yang mencurigakan.
Pintu terbuka dan menimbulkan bunyi nyaring. Masih tidak ada suara lain yang terdengar. Apakah rumah ini kosong atau khayalan mereka saja?
Yuka berjalan di samping Ryu. Matanya membeliak saat merasakan aura yang asing tetapi terasa dekat. "Kita harus ke sana," ujar Yuka menunjuk pintu berwarna putih yang paling mencolok.
Mereka berjalan ke pintu itu. Membukanya meski lebih sulit daripada sebelumnya. Yuka mengeluarkan elemen kabutnya. Membuat kabut itu merayapi celah dan membuka membuka pintu lewat dalam. Berhasil! Mereka berpandangan dengan senyum sumringah.
Di sana tidak ada kamar seperti bayangan Yuka. Hanya ruangan kosong tanpa perabotan apa pun. Ryu menelitinya dan menggeleng pada Yuka. Ketika pintu mau ditutup, Yuka mencegahnya. "Kamu merasakannya, Ryu?" tanyanya semakin masuk ke dalam.
Ryu mencoba memfokuskan pikiran. Merasakan aura kuat yang berada di ruangan ini selain mereka berdua.
"Ada orang lain?" tanya Ryu membuat Yuka mengangguk setuju.
Yuka memutar otaknya. Dia bisa melihat dekat tipis sebening kaca di depan sana. Memerintahkan Ryu untuk menjaga jarak sejauh lima meter. Yuka melakukan serangan membabi-buta dengan elemen airnya. Bukan! Air yang dibekukan dengan api! Bayangkan itu di pikiran kalian!
Suara retakan terdengar. Hanya sedikit tetapi cukup membuat mereka tercengang. Sebuah suara muncul. "Kalian bisa dengar aku?"
Pertanyaan itu membuat keduanya mencari-cari sosok yang berbicara. Tetapi ruang kosong di depannya seolah menghalangi itu.
"Pusatkan perhatian kalian di titik ini."
Mereka memfokuskan perhatian pada titik yang baru saja muncul di tengah ruangan. Panca Indra mereka jadi lebih hidup. Sesuatu terbentuk pelan-pelan dari titik itu di mulai dari rambut putih yang cenderung keperakan, mata putih, terus kebawah menggunakan seragam khas pemerintah dengan jubah putih yang terlihat mewah.
Tenggorokan Yuka tercekat. Dia tidak mempercayai penglihatannya.
"Yuka," sapaan pertama itu menyadarkan Yuka. Tetapi, cewek itu masih tidak percaya. Menepuk pipinya berulang kali. Hingga panas menyebar dari sana.
"Ini tidak mungkin," gumam Yuka lalu merapatkan tubuhnya pada Ryu. Dia jelas merasa takut untuk mempercayai itu.
"Kamu tidak ingin bertemu, Ayah?" Pertanyaan itu membuat bahu Yuka bergetar hebat.
Yuka mengintip dari balik punggung Ryu. Ryu menggenggam jemarinya. Pasti sulit mempercayai kemustahilan ini. Dia hanya bisa memberikan dukungan moril padanya.
"Ayah merindukan Yuka," suara itu terdengar lagi. Sarat akan kesedihan dan kerinduan. Aura di sekitar mereka berubah buram.
"Ayah," gumam Yuka pada dirinya sendiri. Dia menatap sosok yang jelas-jelas tersenyum padanya. Pria paruh baya yang dulunya menjabat sebagai penyihir Agung! Itu ayahnya! Dia tidak bisa menggambarkan sosok itu dengan kata-kata.
Skandiv merentangkan tangannya. Meminta Yuka berhamburan ke arahnya untuk mengobati kerinduan mereka. Sayangnya, sekat itu menjadi penghalang mereka.
Skandiv mendesah. Dia menempelkan tubuhnya pada sekat-sekat. Sama halnya dengan Yuka. Cukup melihat satu sama lain, mereka meluapkan rindu yang memuncak.
"Pasti perjalanan kalian sulit," ujarnya menatap Ryu.
Cowok itu gelagapan mendapati aura mengintimidasi dari sosok legendaris itu. Mata beningnya luar biasa. Bisa menjerat lawannya dengan sekali tatapan. "Tidak terlalu buruk," jawab Ryu menundukkan kepalanya. Seperti memberi salam secara tersirat.
Skandiv tersenyum. Lantas mengalihkan perhatiannya pada gadis cantik yang sesenggukan di depannya. "Apa kamu akan menangis saat bertemu dengan ayah untuk pertama kalinya."
Tentu saja Skandiv tidak marah. Dia hanya ingin menimbulkan senyum di bibir Yuka. Tetapi, Yuka bereaksi sebaliknya. Dia menjadi kaku dan terburu-buru menghapus air matanya. "Maaf, Ayah."
Skandiv tertawa. Terdengar merdu mengalahkan suara burung paling indah di sini. Ryu menyadari kalau tawa itu mirip dengan Yuka. "Apakah kami bisa membatu anda keluar?" tanya Ryu.
Skandiv menggeleng. "Aku tidak akan bisa keluar. Kecuali malam bulan purnama datang."
"Kenapa? Siapa yang mengurung, Ayah?" tanya Yuka dengan nada menggebu-gebu.
"Tenang, Yuka. Kalian duduklah."
Dua buah bangku tersedia di belakang mereka. Keduanya duduk dengan rasa penasaran tinggi. Entah fakta apalagi yang bakalan mereka dapatkan sekarang.
"Aku menyegel diriku sendiri," terang Skandiv membuat keduanya terkejut. "Kutukan itu menewaskan istriku, membuat kita berdua tidak bisa bertemu. Hanya setiap bulan purnama saja aku muncul untuk menyegel kekuatan Yuka. Cerita yang kalian dengar benar adanya. Ibumu seorang manusia bumi. Kami menikah dan ditentang seluruh penyihir. Ayahmu seorang buronan, Yuka."
Yuka menggeleng. "Jangan berkata seperti itu, Ayah!" ujarnya tidak suka.
Skandiv tersenyum melihat kepolosan putrinya. Duplikat dari sang istri, sama persis. "Portal antar dimensi tertutup karena aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali."
"Kenapa kita tidak boleh bertemu?" tanya Yuka tidak terima. "Kita sekarang sudah bertemu, Ayah."
"Ini akan menjadi mimpi. Jika kita bertemu, kutukan itu akan berlaku. Dunia bisa binasa karena kekuatan kita tidak terkendali."
"Bagaimana dengan langit yang selalu mendung," tanya Ryu menyadari ada yang terlewat.
Skandiv menatap langit-langit. "Itu bukan bagian dari kutukan. Ada seseorang yang menggerakkannya."
"Siapa?" tanya Yuka melebarkan matanya.
Skandiv menggeleng. "Aku tidak bisa mengakses dunia luar secara bebas. Bahkan, rumah ini tidak akan bisa ditemukan jika aku tidak menghendakinya."
"Apakah aku boleh di sini terus?" tanya Yuka polos.
Skandiv tertawa lebar. Mata beningnya bersinar-sinar. "Mereka mengkhawatirkan kalian, sayang. Kalian harus pulang."
Ryu mengerti. Ditariknya Yuka yang meronta-ronta. Cewek itu menutup wajahnya karena menangis sekali lagi.
"Mereka ingin mengambil kekuatanmu, Yuka. Berhati-hatilah."
"Aku percayakan putriku padamu, Putra Vernon." Ryu mengangguk. Dia memegang janji itu dalam hatinya. Akan terus memegangnya apa pun yang terjadi.
Portal mucul tiba-tiba dan menyedot mereka sebelum sempat mengucapkan selamat tinggal. Ketika mereka bangun, mimpi itu berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro