Bab 32
Skandiv.
Penyihir generasi pertama yang menjabat sebagai penyihir Agung. Satu-satunya yang memiliki empat elemen sihir. Beberapa orang menyebutnya sebagai 'penjaga pertama'. Bahwa, Skandiv adalah penemu dunia sihir yang sekarang kita tinggali.
Yuka menutup mulutnya setelah membaca catatan itu. Setiap kejadian pasti dicatat oleh sejarawan kota. Entah itu detail waktu sampai perinciannya. Tetapi, ayahnya tidak memiliki itu semua. Seolah-olah tidak ada yang tahu tentang Skandiv.
"Apa kita punya kitab lain?" tanya Aiko bergumam sendiri. Dia menyebar semua buku catatan sejarah yang berasal dari perpustakaan. Membuka daftar isinya untuk mencari data selain dari kitab yang diberikan Ryu. "Kamu yakin itu sebuah nama?" tanya Aiko lagi. Tenggelam dalam tumpukan kitab di depannya.
Yuka sepertinya tersadar. "Benar. Itu bisa jadi tempat juga," ujarnya menjentikkan jari. Berniat mencari tempat-tempat di seluruh dunia ini. Yuka menyusuri buku-buku dengan cermat. Membaca judulnya lalu memilih beberapa di antaranya. Dia bergabung lagi dengan Aiko.
"Ck, merepotkan. Bagaimana kalau kita minat bantuan Ryu dan Shino," usulnya bangga dengan ide briliant itu.
"Jangan!" tolak Yuka cepat dan keras. Sukses membuatnya dipelototi seseorang uang berada di balik meja bertuliskan 'pinjam di sini'. Dia meminta maaf seraya tersenyum.
"Lho kenapa? Bukankah lebih baik sama-sama biar cepat ketemu."
Bukannya seperti itu. Jika saja Yuka tidak merasa bersalah sekarang, mungkin bertemu Ryu tidak akan semalu ini. Meski bersikeras berpikir dia tidak menemukan kesalahan dalam dirinya. Tetapi, jika merasakan tatapan terluka Ryu, Yuka merasa bersalah. Dia jadi bingung memikirkan itu.
"Kamu nggak mau ketemu, Ryu, ya?" tanya Aiko dengan senyum menggoda.
Bibir Yuka mengerucut. "Bukannya gitu," ujarnya terbata-bata. "Aku cuma ..."
"Cuma apa?" tanya Aiko menyenggol bahu Yuka pelan.
"Cuma jujur, ya," jawaban yang menohok hati Yuka. Suara serak itu seolah membangunkan semua Indranya. Ryu datang dengan wajah lelah. Jantung matanya terlihat jelas. Rambutnya acak-acakan.
Yuka mengikuti gerakan Ryu. Cowok itu menarik bangku di sebelahnya. Bukan, tepatnya dua bangku darinya. Seolah-olah ada pembatas panjang yang memisahkan mereka saat ini.
"Aku menemukan beberapa kecocokan dengan kata itu," ujar Ryu mengawali pembicaraan. Berfokus ke tumpukan buku di depan matanya. Sama seperti Yuka yang berfokus pada Aiko yang duduk di depannya.
Aiko mendongak, menatap keduanya dengan pandangan aneh. Kenapa jadi jauh-jauhan, sih? Mereka punya ikatan batin mungkin.
"Oh, ya. Apa?" tanya Aiko penasaran.
Ryu menyodorkan buku kecil yang bisa dimasukkan ke saku. Ketika Aiko membukanya, tulisan tangan seseorang membuatnya mengernyit.
"Ini kamu yang nulis?" tanya Aiko.
Ryu mengangguk. "Yah, aku cuma ingin bantu. Nggak ada maksud apa-apa."
Eh, eh. Yuka menoleh ke samping. Maksud perkataan itu apa, ya? Dia meringis saat Ryu tidak balik menatapnya. Dia terlihat marah pada Yuka.
"Kalian kalau marahan baikan sekarang, deh," saran Aiko sudah tenggelam dalam tulisan tangan Ryu. Sempat melirik keduanya yang tampak canggung.
"Kami nggak marahan," tandas Yuka cepat. Memalingkan wajahnya ke arah Aiko yang tertawa mengejek.
Ryu diam-diam tersenyum. "Aku pergi," ujarnya tanpa menoleh ke belakang lagi. Meninggalkan pembicaraan mereka yang baru saja di mulai.
Yuka ingin memangilnya. Tapi, sebagian dirinya menolak untuk melakukan itu. Yang dilakukannya hanya menatap punggung Ryu yang semakin menjauh. Dia merasakan sesuatu seperti ditinggalkan. Yuka kehilangan minat untuk makan atau sekadar membaca buku.
Sebelum pikiran Yuka berlari ke mana-mana, dia meraih buku yang dipegang Aiko. Berusaha fokus pada tulisan rapi milik Ryu.
Halaman pertama mengatakan kalau Skandiv sering berkunjung ke hutan mati. Bahkan dalam seminggu bisa lima kali. Ada sebuah tempat mempunyai nama sama. Terletak di perbatasan hutan mati yang tidak berujung.
Tunggu dulu. Yuka menghitung halaman buku. Ryu menulis berlembar-lembar informasi ini. Yuka yakin tidak akan selesai hanya dengan semalam saja. Dia menggigit bibir.
"Kenapa dia ngelakuin ini?" tanyanya dalam benak. Dia tidak mengerti. Yang dirasakannya adalah rasa menyenangkan dan membuat matanya basah oleh air mata.
***
Aiko masuk ruang latihan dengan wajah pucat. Semua orang memandangnya penuh tanda tanya. Ada jejak air mata di pipi. Matanya memerah. Yuka langsung menghampirinya. "Kenapa?" tanyanya membimbing Aiko duduk di tempat terkedekat.
"Ayah hilang, Yuka," ujarnya lalu menangis kembali. Dia terisak di bahu Yuka. Mereka kehilangan kata-kata karena tercengang.
Shian hilang? Yuka merasakan tubuhnya ikut gemetar.
"Bagaimana bisa?" tanya Yuka tidak percaya. Ingatannya melayang saat mereka berkunjung tempo hari. Shian mengusir mereka dengan paksa. Apa karena Shian memecah kode itu untuk Yuka?
Aiko menggeleng. "Aku tidak tahu. Kepala sekolah yang memberitahu padaku."
"Kamu sudah memastikan?" tanya Yuka lagi. Berencana memastikannya sama kepala sekolah.
Aiko mengangguk. "Aku dibawa ke sana tadi." Dan menemukan rumahnya hancur. Porak-poranda tanpa jejak darah. Tidak ada ayahnya di sana.
Semua MAC menghampiri Aiko, memintanya untuk bersabar. Beberapa di antaranya membicarakan tentang pasukan bertudung yang kerap memberontak dan menghancurkan desa. Mereka mengaitkan itu dengan hilangnya Ayah Aiko. Lalu, seseorang berujar dengan nada sinis, "apa ini kaitannya dengan kutukanmu," ujarnya lalu menatap Yuka. Seperti di komando, semua mata memandang Yuka seolah menyalahkan.
"Semenjak kamu di sini. Academy ini tidak aman lagi!"
"Semua orang ketakutan dan ingin jauh-jauh dari sini."
"Kamu tidak kasihan dengan temanmu—"
"Diam!" Aiko berteriak keras. "Kalian jangan menambah masalah lagi!" teriaknya lebih lanjut dengan mata nyalang. Meski masih terisak, Aiko menyeret Yuka keluar dari sana.
Mereka sampai di lorong pojok. Di sini sepi, hampir tidak pernah dilewati. Yuka bertanya-tanya kenapa Aiko tidak menyalahkannya juga. Malahan, sikapnya berbanding terbalik dengan MAC lainnya.
Yuka memeluknya lebih erat. Sahabatnya itu menangis kembali. "Kamu bisa menemukan ayahku, Yuka?" pintanya dengan suara parau.
Yuka menyebabkan banyak masalah belakang ini. Dia sadar kalau pembawa sial. Sahabat sebaik Aiko harus terkena imbasnya juga. Aiko selalu baik padanya.Yuka merasakan emosi yang disalurkan Aiko lewat genggaman tangan mereka. Tekadnya sudah bulat. "Aku akan menemukan Shian."
Itu janji Yuka. Dia akan melakukan segala cara. Apa pun yang terjadi nanti. Dia tidak peduli lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro