Bab 23
Aiko masih ternganga melihat portal Hitam, black hole yang dibuat Yuka. Berputar-putar seperti milik penyihir tingkat tinggi. Luar biasa! "Kamu tidak apa-apa kita berdua masuk?" tanyanya meringis. Pasti butuh menguras energi juga jika mereka bersama. Gelombang black hole harus kuat agar mereka sampai di tempat yang dituju.
"Ayo lakukan saja!" ajak Yuka yakin setengah mati. Dia menatap ke depan dengan pasti. Tidak ada yang tahu kalau tidak mencoba, kan?
Mereka bergandengan tangan. Masuk ke dalamnya secepat mungkin. Tersedot ke sana lalu melayang-layang. Ketika kaki mereka merasakan tekstur tanah, Aiko langsung terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan. Dia terbatuk-batuk dalam perjalanan pertama menggunakan black hole. Semua isi perutnya rasanya naik ke kerongkongan.
Yuka menepuk bahu Aiko lembut. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Aiko mengangguk. Dia merasa baikan setelah memuntahkan sebagian isi perutnya. Berdiri lalu terkejut saat rumahnya berada di depan mata. Mereka berada di pekarangan depan rumah Aiko. Tepatnya, di samping ayunan yang sudah rusak.
"Ayo masuk lewat pintu belakang," ajak Aiko. Yuka mengikuti langkahnya ke memutari rumah. Membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci. "Ayah!" teriaknya keras.
Setelah melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak, mereka berjalan menaiki tangga kayu. Yuka mengedarkan pandang. Foto-foto masa kecil Aiko dan Shian terpanjang berurut naik mengikuti tangga. Lalu mereka berhenti di tangga pertama. Aiko mengetuk pintunya beberapa kali. "Ayah, Aiko pulang!" teriaknya bersemangat.
"Oh, ya? Aiko siapa?" Pertanyaan dari dalam timbil tenggelam.
Pintu macet ketika Aiko memaksanya. "Kapan ayah berhenti memenuhi ruangan dengan benda-benda rusak itu!" Wajahnya memerah. Dengan kekuatan penuh pintu terbuka.
Yuka menggaruk pelipisnya. Kamar Shian memang dipenuhi banyak barang bekas. Bahkan, yang sepertinya tidak bisa digunakan lagi juga ada. Dia tas kasurnya ada bongkahan logam-logam berwarna emas yang mirip peralataan rumah tangga. Meja di sudut ruangan ada tumpukan kertas dan berita-berita dari kota. Sudut lain ada seorang pria tua yang sedang berjongkok di depan mesin pencetak pot bunga. "Aiko? Kamu pulang? Ayah lagi cari uang logam di dalam cetakan ini," jawabnya tanpa menoleh.
Aiko berkacak pinggang. Lantas, menghampiri ayahnya. Menjewer telinganya yang membuat Yuka menutup mulutnya. "Apa Ayah makan dengan baik? Kenapa terus menerus melakukan sesuatu yang konyol!"
Shian melepaskan tangan Aiko lalu berdiri dan mengusap kepala putrinya hingga rambutnya berantakan. "Anak nakal! Pulang tidak bilang-bilang. Pasti kabur dari Academy," ujarnya menjewer telinganya Aiko. Tangannya turun kembali saat menyadari ada seseorang menonton perdebatan mereka. "Lho, Yuka ikutan?"
Yuka menundukkan kepalanya. "Selamat siang, Shian."
Kening Shian berlipat. "Aku tidak lihat sapu terbang kalian," ujarnya yang membuat keduanya melotot.
"Kami letakkan di pekarangan belakang," jawab Aiko cepat. "Aiko meninggalkan sesuatu di sini."
Shian mengangguk paham. "Nah, apa kalian terburu-buru?" tanyanya memikirkan rencana selanjutnya.
Yuka menggeleng. "Kami bisa kembali menjelang malam," jawabnya mengingat jadwal di Academy. Tidak ada jadwal berarti sampai jam malam di mulai.
"Ayo kita makan sup tanduk rusa," ajaknya lalu menyeret Aiko yang berusaha membuang barang-barang tidak berguna ya di kamar menggunakan sihir.
"Masakan ayah tidak enak! Jangan membuat kami keracunan," ejek Aiko tanpa henti. Sukses membuat Shian mencubit chubby miliknya.
"Kebetulan kami belum makan," jawab Yuka berterima kasih.
Lantas, mereka menuruni tangga dengan ocehan tiada henti antara Aiko dan ayahnya. Suasana rumah yang tadinya sepi langsung ramai kembali.
Yuka tersenyum melihat interaksi keduanya. Mereka terlihat bahagia meski selalu bertengkar hebat. Saling melindungi, saling menghibur satu sama lain. Perasaan itu menyeruak kembali. Ditepisnya keras-keras agar tidak larut dalam emosi.
Ayah. Ayah, di mana?, batin Yuka berontak. Matanya memburam tanpa bisa dicegah. Setetes air meluncur dari situ matanya. Ternyata, ini rasanya merindukan. Semakin kalian mengingat, hati kalian akan semakin sakit.
***
Aroma sup menguar memenuhi ruang makan. Shian meletakkan mangkuk kaca berisi sup di depan Yuka. Berjalan menuju pantry dan mengambil sisanya, lalu meletakkannya di meja tempat Aiko duduk.
Yuka berdiri ketika Shian terlihat kepayahan membawa sekeranjang gandum. Mengambilalih gelas kaca dan tempat air dari tanah liat.
"Wah, terima kasih," ujar Shian tersenyum.
Yuka mengangguk.
Aiko baru turun setelah berdalih mengambil barang yang ketinggalan. Langsung bergabung di meja makan. Matanya berbinar saat asap yang mengepul dari panci menguarkan aroma gurih. "Aiko bisa menciumnya dari jarak sepuluh kilo meter," ujarnya asal ceplos.
Shian tertawa. "Nah, ayo makan semuanya."
"Selamat makan, Ayah!"
"Selamat makan, Shian!"
Mereka makan dalam beberapa menit saja. Semua gandum dan sup sudah tandas tanpa sisa. Aiko mengerling ke arah Yuka. Dibalas dengan kode mata seolah berbicara kalau drama bakalan di mulai. Aiko membawa mangkuk kotor ke belakang. "Ayah. Yuka mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Ayah tahu, seperti surat cinta."
Yuka melotot. Kok jadi surat cinta?
Shian tertawa. "Lalu?" tanyanya seraya mencuci peralatan makan tadi.
"Emmm, Yuka ingin Shian membantu. Yuka tidak tahu maksud surat cinta itu apa," ujar Yuka menambahi. Menekan kata 'surat cinta' sembari memelototi Aiko.
Aiko mengangguk semangat. "Maklum. Yang suka Yuka orangnya serem. Takut kalau tanya langsung." Aiko terkikik melihat Yuka menahan malu.
"Baiklah. Ke ruang depan saja. Ayah akan membuat teh mint untuk kalian."
Aiko menggandeng Yuka menuju ruang depan. Sempat beradu mulut kenapa ada alasan tidak logis itu. Aiko cuma memberikan senyum dua jarinya lalu berkata, "Loh, Ryu kan emang serem." Nah, kenapa sampai Ryu segala. Yuka memberi satu polesan lembut di kepala Aiko sebagai balasan.
Shian duduk dengan Yuka dan Sikap di sisi kanan kirinya. "Bisa tunjukkan suratnya?" tanyanya.
Yuka menggigit bibir. Suratnya, kan, udah hancur kalau udah dibuka. Ah, iya. Dia mengeluarkan sesuatu dari satu sweaternya. Buku tipis yang diberikan ayahnya. "Ada di sini. Yuka mencatatnya di sini."
Shian membuka buku itu. Tetapi sepertinya disegel sihir. Yuka membantunya dengan mudah. Lalu, muncul tulisan di setiap halamannya. Seingatnya, dia menulis pada lembar pertama saja. Yuka mengerjakan matanya. Dia tidak menulis seperti itu. Tulisannya kok berubah.
Shian memijit pelipisnya. "Aiko, bisa tutup semua tirai."
Aiko mengangguk. Lantas, berdiri untuk menutup jendela dan tirai ruang depan. Yuka bergerak gelisah di tempatnya. Sepertinya ada sesuatu yang serius.
"Ini dibuat dengan kode Qantji. Ini bukan tulisan biasa," jelas Shian. "Qantji hanya dipahami oleh pejabat pemerintah atau orang penting saja."
Yuka mendengarkannya dengan saksama. "Apa Shian bisa memecahkannya?" tanya Yuka berharap lebih.
Shian menggeleng. "Aku hanya bisa sedikit."
Kemudian, Shian meletakkan buku itu di atas meja. Dia memusatkan pikirannya pada baris-baris huruf yang membentuk kalimat biasa. Jika orang tidak tahu, ada semacam kode sihir dalam kalimat itu. Pengalamannya sebagai detektif kota tentu pernah menjumpainya meski jarang.
Halaman pertama terbuka. Kalimat itu terbang di udara. Yuka mengingat jelas bahwa itu kalimat yang sama. Huruf-huruf beterbangan, menari-nari, membentuk sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lantas sebuah pola rumit membentuk satu huruf, ah, semacam huruf dengan pola rumit.
"Ini adalah kode pertama," ujar Shian. Lantas, kode itu menggantikan kalimat di halaman pertama. "Kalian melihatnya?"
Yuka mengangguk.
Aiko sepertinya tidak bisa lihat dari ekspresi yang diberikannya. "Aku tidak melihat apa-apa."
Shian mengangguk. "Hanya orang tertentu yang bisa," ujarnya menyetujui ucapan putrinya sendiri.
"Bisakah anda menerjemahkan semuanya?" tanya Yuka tersenyum malu.
"Aku ingin. Tapi, sepertinya kamu yang harus melakukannya Yuka," ujar Shian memberi saran.
"Aku tidak bisa Shian." Yuka berkata jujur dengan rasa malu yang menjalar hingga pipinya.
Shian menggeleng. "Kamu bisa!" Shian menajamkan pendengarannya."Dan, sebaiknya kalian cepat pergi dari sini," ujarnya pura-pura mengusir.
Aiko mengangkat bahunya. Jika ayahnya berkata seperti itu, maka tidak ada jalan lain. Mereka harus memecahkannya sendiri.
"Kami pergi, Ayah," ujar Aiko berdiri. Memeluk ayahnya erat setalah sekuat bukan tidak bertemu.
Shian menepuk bahu keduanya. "Sebaiknya kalian di Academy saja. Di sana aman. Berita tentang Klan Scamael itu sudah menyebar luas."
"Ayah tidak apa-apa sendiri?" tanya Aiko lalu memeluk ayahnya lagi.
"Ayah kuat tau. Ayah tahu kalian kabur dari Academy, kan?" Keduanya saling beradu pandang. Bagaimana bisa tahu? "Tidak ada yang boleh keluar Academy tanpa surat ijin."
Ah, iya. Mereka lupa membuat surat ijin palsu. Aiko meringis lebar. Mengalihkan topik agar Shian tidaknya membahasnya lebih lanjut. "Kami pamit," ujarnya berpamitan.
Shian mengangguk. "Hati-hati, ya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro