Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

Yuka berdehem beberapa kali untuk menetralkan jantungnya. Dia mengintruksikan pada Ryu dan Aiko agar bersembunyi dari jarak sejauh tiga puluh meter.

"Aku ngerasa bakalan terjadi sesuatu," ujar Aiko tiba-tiba. Rambut halusnya berduri. Padahal, mereka baru berada di bibir hutan dan belum masuk ke dalam.

Yuka menggenggam tangan Aiko. "Nggak ada apa-apa," ujarnya menenangkan. "Ada kalian. Aku percaya sama kalian."

Ryu merapihkan tudung Yuka. Memastikan jubah yang dikenakannya terikat erat. Jangan ditanya bagaimana keadaan jantung Yuka. Dia menahan napas saat mata emas itu berada di bawah pandangannya langsung.

Aiko berdehem. Yuka baru sadar setelah terpana beberapa saat. Terpana? Yang benar saja! Sama siapa? Stop! Jangan lanjutin. Yuka nggak mau denger nama itu.

Ryu menegak. "Hati-hati."

Yuka melambaikan tangan lalu menunggangi sapunya. Meninggalkan mereka berdua di belakang yang langsung mencari tempat persembunyian.

Yuka mendarat. Memegang sapunya sebagai pegangan. "Rafelia!" teriak Yuka berusaha biasa saja.

Seperti sebelumnya, dalam panggilan ketiga wanita itu datang dengan angin yang berhembus dari arah barat. Yuka berbalik arah. Yang ditemukannya adalah tawa merdu darinya.

"Kamu membutuhkanku lagi?" tanyanya kontradiksi dengan tawa melengkingnya yang kembali terdengar.

Duh, lama-lama Yuka bisa budek kalau begini.
"Nggak! Aku cuma mau kasih peringatan aja. Aku tidak mau percaya kamu lagi!" teriaknya tegas.

Aiko dan Ryu yang berada jauh di belakang melotot. Tidak percaya kalau Yuka mengibarkan bendera perang secara terang-terangan. Aiko pikir Yuka bakalan ngorek informasi dulu atau menghasut Rafelia dulu.

Ryu tersenyum kecil. "Dia emang nggak mudah ditebak," gumamnya. Alih-alih mengejek seperti biasa atau terkejut seperti Aiko. Ada nada kagum dalam suaranya. Kadang, dua orang ini emang miring di mata Aiko.

"Rupanya kamu termakan rayuan kepala sekolahmu, ya?" tanya Rafelia terdengar manis di telinga Yuka.

Yuka menggeleng. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tapi, cewek itu mengangguk juga saat melihat wajah sedih Rafelia.

"Kamu pasti memandang kami sangat jahat. Padahal, kami cuma mencari buronan yang meresahkan pemerintah," jelas Rafelia seraya berputar-putar di sekeliling Yuka.

Jangan pernah terpengaruh ucapannya
Kata-kata Ryu terngiang kembali di telinga Yuka.

"Aku penasaran kenapa kamu mencari ayahku sampai seperti itu," gumam Yuka sukses membuat ekspresi Rafelia berubah. Yuka tertawa kesenangan. "Lihat. Sepertinya kamu menyimpan sesuatu yang lain."

Rafelia tersenyum. "Yah, aku hanya ingin kutukanmu bisa hilang dan ayahmu tertangkap. Itu saja."
Yuka mencebik. Sepertinya sulit bikin wajah Dewi di depannya mengeluarkan alasan mereka menyerang.

"Oh, gitu. Ayah pasti punya sesuatu yang besar, ya. Kalian pasti sangat menginginkannya," ujar Yuka memancing lagi.

Rafelia terkekeh. "Sepertinya kamu tahu itu. Dia menggoyangkan kekuasaan Penyihir Agung. Sepantasnya dia ditangkap, bukan?"

"Aku pikir kalian bakal nangkap aku," gumam Yuka lirih. Cukup terdengar untuk dirinya sendiri.

"Ayah harus tertangkap biar tidak ada yang mengganggu kalian, ya. Cih, rupanya kalian takut sama ayahku."

Rambut kemerahan milik Rafelia terbang. Meski mata emasnya tidak berubah warna atau mengeluarkan cahaya, jelas kalau dia marah. "Jaga ucapannya, sayang."

"Kenapa? Aku bakalan kasih tahu ayah, deh. Supaya jangan keluar dari persembunyiannya."

Rafelia marah besar. Guntur terdengar. Kilat menyambar-nyambar. Yuka menguatkan dirinya sendiri. Dia tidak mungkin kabur setelah membuat Rafelia marah besar.

"Jangan coba-coba memancingku!" teriak Rafelia.

Kena jebakan! Yuka tertawa sini. Yuka mempelajarinya dua hal; Jangan pernah mencari masalah dengan pemilik elemen api, mereka mudah marah dan jika mereka marah kalian korek aja semua info yang kalian inginkan. Mereka bakalan kasih clue.

"Maaf, ya. Ayah itu selalu kasih aku surat. Ini berita eksklusif, tau. Kepala sekolah aja belum tahu," ucapnya congkak. "Reaksi kepala sekolah pasti mencengangkan banget kalau tahu."

Tubuh Rafelia berlumuran api. Lidah merah menyala-nyala di sekitar tubuhnya. Dia seperti dibakar hidup-hidup dengan wajah murkanya itu.

"Dia tidak mungkin keluar setelah aku membunuh semua pengikutnya!"

Badan Yuka gemetar. Secara tidak langsung, Rafelia membocorkan perbuatannya selama ini. Dia ingat sekali bagaimana Vandish datang dengan tubuh berlumur darah. "Ayah tidak akan datang ke Ritual bulan purnama di hutan mati. Jika kamu mau datang, jangan kecewa."

Yuka berniat pergi dari sana. Sampai api menjilat-jilat ke arahnya. Sebelum Yuka sadar, dia sudah bergeser duluan. Ah, sapu terbangnya memang sahabat yang baik. Yuka terbang ke atas dan berniat keluar dari hutan. Dia memberi kode pada Ryu dan Aiko agar pergi dari sana.

"Hahaha. Kamu tidak sebodoh ibumu ternyata, kamu cuma makhluk rendahan. Titisan manusia huh?" Rafelia seolah mendapatkan energi lebih saat Yuka berhenti di antara pepohonan yang kering.

Yuka merasakan tubuhnya berontak. Jiwanya meronta-ronta. Kesadarannya gubuk tenggelam. Gejala yang dikatakan Shino dan Ryu kalau dia hilang kesadaran. "Apa kekuatanku mau muncul?" tanyanya seraya memegang dada. Yuka menggeleng. Akan lebih baik jika mereka di Academy saat ini. Yuka melempar bola-bola apinya secara terus menerus ke bawah. Sembari mengontrol emosinya sendiri.

Aiko dan Ryu bergabung dengannya. Ryu juga melakukan yang sama. Aiko pun mengeluarkan elemen airnya berupa badai kecil yang membuat pandangan Rafelia terganggu.

"Ayo pergi!" ajak Ryu setelah rombongan dari pasukan bertudung dari berbagai arah terlihat. Mereka cepat-cepat terbang dari sana.

"Jangan berharap Klan kalian bisa bangkit kembali," ujar Yuka menantang langit. Entah dari mana kekuatan itu muncul, dia merasakan dendam menyelimuti hatinya.

***

Baru saja Yuka mendarat di depan gedung pertama, digunakan MAC level pertama untuk belajar. Ryu berjalan di belakangnya dengan Aiko yang masih gemetaran. Pengalaman tadi pasti membekas di kepala mereka. Ketiganya tidak tahu kalau beberapa orang sudah menunggu mereka sejak tadi.

Aiko yang pertama kali menyadari ada pergerakan yang menuju ke sini. "Bentar, kayaknya ada yang datang!" ujarnya menahan langkah Ryu dan Yuka.

Ryu bergerak cepat, menarik keduanya ke tembok yang dijadikan pembatas antara gedung dan kamar kecil. Ada Mr. Onjy, Mrs. Raflyn, Mrs. Wenny dan Mr. Lion. Penjaga asrama mereka celingukan dengan lampu gantung di tangan kanannya.

"Kamu yakin mereka tidak terlihat keluar?" tanya Mrs. Raflyn memastikan.

Mrs. Wenny mengangguk. "Aku yakin sekali. Tetapi, saat mau menemui Aiko, mereka tidak ada."

Mr. Onjy tiba-tiba berujar, "aku pernah mendapat informasi dari seseorang. Bahwa, beberapa MAC berani keluar malam meski sudah ada aturannya."

Semuanya bingung siapa yang dimaksud Mr. Onjy. Mr. Lion yang sedari tadi berpencar sendirian langsung mendekat untuk bertanya, "penjaga gerbang harusnya tahu jika ada yang keluar Academy."

Kepala sekolah mendesah. "Kalian sebaiknya berada di kamar masing-masing. Aku akan mencari mereka."

Sontak saja protes tegas dari guru-guru MAC terdengar. Mereka tetap kukuh untuk mencari bersama. Serangan yang terjadi di luar Academy membuat semua penyihir resah. Tidak menutup kemungkinan kalau Academy juga jadi target selanjutnya.

"Bagaimana ini?" tanya Aiko cemas. Dia hampir menangis saat membayangkan kalau mereka bakalan tertangkap.

Ryu bergumam, "kita tidak mungkin terbang atau bersembunyi terus. Kecuali—" cowok itu menggantungkan kata-katanya. Matanya beradu pandang dengan Yuka. Yang ditatap langsung gelagapan. Dia tahu maksud tatapan mata emas itu.

"Aku nggak bisa buat black hole," tolaknya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aiko langsung menolehkan kepalanya. "Kamu bisa buat black hole?" tanyanya menuduh.

Waduh, Yuka belum kasih tahu soal itu. Cewek itu menggaruk teluknya. Merangkai kata-kata untuk menjelaskannya pada Aiko. "Emmm."

"Aku nggak bilang gitu," ujar Ryu menatap Yuka aneh. Dia berdehem untuk membuat keduanya fokus. "Maksudku, kita sebaiknya keluar dari sini saja."

"Mengaku maksudmu?" tanya Yuka dengan mulut ternganga. Yang benar saja! Mereka bakalan kena surat peringatan. Padahal mereka lagi liburan lho! Nggak enaknya di Academy itu segala peraturan tetap berlaku meski ada tidaknya pembelajaran.

Aiko menggeleng, tidak setuju. "Kita bakalan dihukum," ujarnya dengan wajah memucat.

Yuka menelengkan kepalanya. Mengusap bahu Aiko beberapa kali. Dia menoleh pada Ryu yang menunggu jawabannya. "Ryu benar. Kita tetap salah, Aiko."

"Tapi—"

"Kita hadapi bersama. Oke," ujar Yuka menenangkan. "Mereka bakalan ngerti alasan kita."

Ryu berjalan duluan, diikuti Yuka yang dirangkul Aiko erat. Persis seperti dugaan mereka kalau ekspresi terkejutlah yang didapatkan. Pasti mereka lagi mikirin hukuman apa yang pantas oleh MAC yang membangkang. Tiga MAC sekaligus melanggar itu suatu prestasi.

Mr. Onjy sampai kehilangan kata-katanya.

"Kita bicarakan ini besok. Kalian kembali ke kamar masing-masing!" Untuk dua kalinya Kepala sekolah memerintahkan hal yang sama. Tidak ada yang berani membantah. Mereka saling memberi hormat dan mengucapkan selamat malam.

Ryu tahu kalau ayah angkatnya kecewa. Dia juga kenapa ya ikut-ikutan acaranya dua MAC yang berjalan di depannya. Ck, suasana hatinya emang terkadang aneh.

"Kalian harusnya berhati-hati," ujar Kepala sekolah saat melewati mereka.

Apa maksudnya?

Yuka tidak mengerti sama sekali. Apesnya aja mereka ketahuan. Biasanya juga enggak kok. Dia menggendikkan bahunya. "Kita berpisah di sini," ujar Yuka lalu menoleh ke belakang.

Ryu mengedarkan matanya. Ah, ternyata sudah sampai di perbatasan asrama. "Selamat malam."

"Selamat malam," balas Aiko.

"Selamat malam, Ryu," ujar Yuka pelan. Menatap punggung tegap yang tertutupi mendung. Dia ditarik Aiko karena temperatur udara meningkat tajam. Hah, malam ini sepertinya tidak bisa tidur nyenyak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro