Bab 20
Yuka mendobrak pintu ruangan. Bernapas lega saat kepala sekolah ada di sana. Sepertinya Yuka datang di waktu tidak tepat. Beberapa guru langsung meletakkan atensinya pada cewek itu.
"Apa begini etika yang diajarkan kami selama ini," tegur Miss Raflyn lalu geleng-geleng kepala.
Yuka menunduk beberapa kali untuk meminta maaf. "Saya pikir tidak ada orang di sini," jelasnya gugup.
Mr. Onjy berdehem. "Jika tidak ada orang, lantas mendobrak pintu itu termasuk perbuatan buruk," sindirnya tajam. "Seharusnya MAC yang diberi keistimewaan mencerminkan perlukah yang baik."
Aduh! Yuka kebiasaan kalau lagi kesel main dobrak-dobrak aja. Makanya, jadi gini, kan.
"Sudah! Rapat hari ini selesai. Kalian bisa kembali," tutur kepala sekolah melerai perdebatan kecil itu.
Mrs. Raflyn dan beberapa guru level dua ke atas undur diri. Ketika Mr. Onjy berjalan melewati Yuka, cewek itu merasakan suasana yang berbeda. Yuka menunduk untuk menghindari tatapan tajam guru elemen air itu.
Kepala Sekolah melayang ke arah Yuka.
"Bukankah emosimu harus disembunyikan dengan baik?" tanyanya menegur.
Yuka meminta maaf sekali lagi. "Saya hanya ingin tahu kenapa anda merahasiakan identitas ayah, saya," jelas Yuka. Semenjak kenal kepala sekolah, dia bisa berbicara santai seperti ini.
Kepala sekolah mendesah. "Sebenarnya aku tidak ingin menyembunyikannya," jelasnya pelan. Dia tidak menyangka kalau Yuka bisa tahu secepat ini. "Jika semua orang tahu kamu anak buronan, terlepas kutukan itu atau tidak, bukankah nyawamu akan terancam dua kali lipat?"
Yuka mau tidak mau mengangguk juga.
"Siapa saja yang tahu?" tanya Yuka penasaran.
"Hanya aku, Mrs. Selly, beberapa tetua generasi pertama. Dan, mungkin penyihir yang memiliki kekuatan tingkat tinggi."
Pantas saja Vandish bisa mengenalinya dengan mudah. Bahkan, orang tua itu sepertinya lebih banyak tahu tentang ayahnya.
"Apa kamu masih meragukanku?" tanya Kepala Sekolah spontan.
Yuka gelagapan. "Maaf, bukannya saya meragukan anda—"
"Aku tahu. Tapi, kuharap kamu jangan mempercayai Klan Scamael. Mereka musuh ayahmu sejak dulu."
Yuka mengangguk. "Apakah penyihir agung sekarang berasal dari Klan Scamael?" tanya Yuka was-was. Dulu, berita tentang pergantian Penyihir Agung sempat berdengung. Waktunya tepat sekali saat usianya baru beberapa bulan. Lambat laun berita itu tenggelam oleh pemberontakan di mana-mana. Hanya sejarah pemerintahan dunia penyihir yang bisa dijadikan pengingat.
Kepala sekolah menggeleng. "Kurasa kekuasaan itu dipegang oleh saudara jauhmu."
"Saudara jauh ayahku?"
"Ya. Dia adik ayahmu sendiri."
Yuka mendesah lega. Setidaknya, dia bukan seseorang yang jahat. Rupanya ayah sudah menyusun rencana hingga dia bersembunyi. Diam-diam Yuka bangga punya ayah yang punya pemikiran sedetail itu.
"Ah, aku punya informasi. Tetua desa yang kudatangi berbicara kalau Klan Scamael mencari ayahmu dan pengikutnya. Pengejaran terus terjadi. Desa-desa akan hancur setiap tempat yang mereka datangi."
Yuka paham. Lalu dia mengingat kalau desa kemarin dihancurkan juga. Tidak mungkin ayahnya berada di sana. Atau, karena ada Vandish.
Aku mengenal ayahmu dengan baik, ucapan Vandist terngiang kembali.
"Jangan pernah keluar sendiri seperti kemarin!" perintah Kepala Sekolah lalu duduk di kursi kebesarannya.
"Anda tahu?" tanya Yuka meringis.
"Jika tidak ada Ryu, mungkin penjaga gerbang sudah menangkap kalian," jelasnya. Dia fokus menatap kertas cokelat di genggamannya.
Mulut Yuka terkatup sebelum bertanya. Rasanya tidak etis kalau tanya alasannya. Memangnya ada Ryu atau tidak itu berpengalaman, ya?
Kertas-kertas yang dipegang kepala sekolah melayang ke arah Yuka. Yuka menangkapnya. Ditemukannya peta-peta rumit dan beberapa data. "Aku mengumpulkan tempat terakhir yang didatangi ayahmu. Barangkali kamu ingin tahu."
Yuka melipat kertas-kertas itu rapi dan menyelipkannya di antara saku sweaternya. Setelah berpamitan dengan kepala sekolah, Yuka berniat mencari Ryu. Melihat gelagatnya selama ini, dia seperti tahu segalanya.
Yuka keluar dari pintu sampai melihat sebuah panah api mengarah padanya. Refleks dia menghindar. Jantungnya hampir copot melihat pintu terbakar oleh api. Kalau kena, dia yang jadi abu sekarang. Yuka bergerak waspada melihat sekitar. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali.
Yuka memutuskan abai karena ada yang lebih penting dari itu. Ck, sepertinya orang-orang sangat ingin membunuhnya. Dan, apa-apaan segel sihir yang tidak berfungsi ini.
***
"Wow!" Aiko berbinar-binar. Menatap Yuka seolah dewa yang turun dari langit. "Kamu luar biasa!" Dia mengacungkan dua jempolnya ke arah Yuka.
Sewaktu Shino cerita tentang pertarungannya dengan Yuka, cewek itu kaget setengah mati. Lalu, Ryu juga cerita ketika berada di desa saat melawan pasukan bertudung. Kekuatan Yuka muncul satu per satu. Bukan hanya dua elemen. Sekarang tiga elemen! Sayangnya, Yuka tidak merasakan hal itu. Dia tidak sadarkan diri, ya?
Yuka menggaruk teluknya seraya tersenyum lebar. "Aku cuma ngerasa bisa air dan api doang." Kata kepala sekolah dia harus banyak berlatih lagi. Menggunakan dua elemen saja belum mampu, sekarang harus tiga elemen. Entah harus bangga atau sedih sekarang. "Aku harus cari tahu lagi."
"Kamu mau apa?" tanya Aiko curiga. Dia mendadak jadi ngeri sendiri melihat mata Yuka berkilat-kilat. Kalian tahu ide Yuka itu aneh-aneh. Nggak ada yang normal sedikit pun.
"Gimana kalau kita jebak Rafelia," ujarnya seraya menjentikkan jari.
Ryu menutup bukunya. "Kamu tidak mau bicara sama kepala sekolah dulu?" tanyanya menyarankan. Mereka sedang di perpustakaan. Bagian pohon yang tidak pernah didatangi orang. Pembicaraan mereka tidak akan terdengar oleh penjaga perpus sekali pun.
Yuka menggeleng. "Aku tidak mau dia ikut campur," jawabnya mantap. "Kecuali, kalau seseorang membocorkan ini," sindirnya lagi.
Ryu menatapnya polos. "Siapa?"
Aiko tertawa ngakak melihat Yuka merah padam. Senjata makan tuan. Niatnya bikin Ryu naik pitam, malah dia sendiri yang emosi duluan.
"Lupain, deh," ujar Yuka sinis. Aiko menepuk bahunya beberapa kali sambil tetap tertawa. Dia mengatupkan bibirnya saat keduanya perang lewat mata lagi.
"Emm. Kamu yakin dia nggak bakalan nyakitin kamu?" tanya Aiko khawatir. Dia takut kalau Yuka malah terluka.
Yuka meringis. Mendadak ragu. Ditepisnya perasaan itu. "Aku nggak punya apa pun selain kutukan ini."
Ryu mengangguk setuju. "Yah, kamu memang nggak dibutuhin saat ini. Setidaknya sampai bulan purnama terjadi."
Yuka menatapnya judes. Kalau ngejelasin kira-kira dong. Emang Yuka nggak punya perasaan apa.
"Tapi, dia bisa lukain kamu," ucap Ryu misterius.
"Iya. Kamu yakin?"
Yuka mengangguk. "Aku bisa kok sendiri"
"Aku temenin," putus Aiko menggandeng Yuka. Seolah menguatkannya lewat rangkulan itu.
"Aku ikut," putus Ryu tanpa bisa dibantah. Mukanya udah kayak mau beken orang aja.
Yuka keberatan kalau Ryu merasa terbebani. "Kalau kamu nggak ikut, nggak papa kok."
Ryu meletakkan buku yang dipegangnya ke rak. Yuka dan Aiko senam jantung karena itu. "Aku tahu kelemahan mereka kalau macam-macam."
Yuka setuju tanpa banyak perlawanan lagi. Bahaya kalau Ryu menghujami tatapannya pada Yuka lagi. Bisa-bisa jantungnya ikut bertarung juga. Untung saja Ryu pamit pergi dari sini. Suasana kembali tenang sepeninggalannya.
"Elemen api itu negatif terus, ya," gumam Aiko bergidik. Yuka mengangguk sebagai jawaban. Kalau dipikir-pikir memang iya. Coba lihat Ryu dan Shysi. Mereka serasi banget kalau disatuin. Mendadak, Yuka kesal sendiri.
Aiko meninggalkan Yuka saat penjaga perpus berteriak minta bantuan. Dia berniat menyusul kala sesuatu Mahan pergerakannya.
"Lubang itu! Ah, portal itu lagi!" teriak Yuka setelah mencari info tentang lubang yang mirip black hole. Kali ini, hanya seperkian detik sampai Yuka berkedip tiga kali. Lubang itu menghilang. Lalu, ada surat yang muncul dari sana.
Yuka berniat memasukannya ke kantong. Lengannya ditahan seseorang. Shysi memang panjang umur. Baru diomongin bentar udah nongol aja. "Kalau kamu cari Ryu, dia nggak di sini,", ujar Yuka tidak berniat mengobrol lebih jauh. Cengkraman di lengannya belum juga melonggar. Ia langsung menyembunyikan suratnya.
"Aku mau buat perhitungan sama kamu!" peringat Shysi dengan bibir merapat.
Kening Yuka berkerut.
"Aku tunggu selesai jam makan malam lusa." Itu berarti dua hari lagi.
"Aku nggak akan dateng," jawab Yuka mantap. Tidak ingin menambah masalah lagi.
"Atau semua orang bakal tahu kamu ternyata anak kutukan."
Mata Yuka melebar. "Kamu sebenarnya bicara apa!" teriaknya menahan rasa penasaran. Dari mana Shysi tahu hal itu.
"Datang, atau Semua MAC, guru akan membuat kamu pergi dari Academy ini."
Yuka tidak ingin mempedulikan itu. Shysi selalu mengancam. Lagian, tidak mungkin dia dikeluarkan dari sini. Ya, tidak mungkin efeknya sampai separah itu.
Shysi pergi sebelum Yuka mengeluarkan kata-katanya. Cewek berambut merah itu tersenyum sinis. Ternyata mudah sekali membuat Yuka menurut. Bukan dengan tindakan atau adu kekuatan. Hanya dengan aibnya saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro