Bab 2
Yuka belum bertemu Shino-Senpai kemarin. Sewaktu pulang sekolah, dia sudah mencarinya lagi ke ruangan khusus, perpustakaan, kafetaria hingga belakang sekolah yang tidak pernah terjamah manusia sekalipun. Meski senja kembali ke peraduannya, Shino-Senpai tidak ada di sekolah hari ini. Kemungkinan kalau Ryu bohong soal perkataannya kemarin. Atau Shino-Senpai sudah cuti seperti perkataan Aiko kemarin.
Ah, mungkin tidak karena orang yang dicari Yuka tengah berjalan sejajar dengannya di lorong kelas sebelas. Di sebelahnya ada Ryu dengan mantel hitamnya seperti biasa. Kontras sekali dengan kulit putihnya dan tatapan dingin itu. Mereka berdua terlalu sibuk berbincang-entah apa-sampai tidak sadar kalau Yuka sudah berdiri dengan kesal menunggu mereka sampai.
"Ah, Yuka-Chan! Kamu mencariku kemarin?" tanya Shino-Senpai seolah mengatakan cuaca hari ini sangat cerah, tanpa merasa bersalah. Cengirannya segera luntur kala lengannya panas akibat cubitan maut Yuka.
"Ah, apa yang aku lakukan?" protes Shino lalu menjaga jarak, tidak terima.
"Apa? Apa? Kenapa kalau tahu dicari tapi malah sembunyi?" semprot Yuka seraya berkacak pinggang. Sukses membuat dua cowok di depannya meringis, takut mendapat amukan lebih dari ini.
Shino menggaruk kepala sambil cengengesan. Tidak terlihat takut sama sekali. Makanya, Yuka kesal setengah mati kalau lagi memarahi Shino. Tidak bakalan dianggap ngamuk atau murka, katanya wajah Yuka tidak mendukung hal itu. Memangnya wajah Yuka kenapa? Masih cocok jadi pemeran antagonis, kok. "Urusan penting, Yuka-Chan."
"Sepenting apa?" tanya Yuka menyindir sinis. Ayolah, dia dan Shino sudah berteman sejak kecil. Meski teman di sekolah saja. Tetap saja dari semua orang di sekolah, cuma Shino yang tahu keadaan Yuka sebenarnya.
"Kamu kelihatan seperti cemburu padaku."
"Hahaha. Lucu!" sungut Yuka tidak mengindahkan ucapan Shino yang ngawur.
"Beneran lho. Eh, tapi jangan. Nanti aku babak belur lagi," ujar Shino lebih ngawur menanggapi ucapannya sendiri. "kami sedang melakukan mi ... Maksudku mengurus sesuatu."
Alis Yuka bertaut. Lalu pandangannya jatuh pada Ryu. Cowok dingin itu terlihat tidak tertarik dengan pembicaraan anjing dan kucing tadi. Tentu saja, dia mana mengerti. "Kami?" tanya Yuka mengikuti radar detektifnya.
"Eh, maksudku aku dan Ryu," sela Shini gelagapan. Kenapa juga dia takut dengan adik kelas yang dia tahu latar belakangnya ini. Yuka memang ajaib bisa membuatnya gugup.
"Kalian ... Apa yang kalian lakukan?" tanya Yuka dengan mata memincing.
"Tidak ada," jawab Ryu setelah menjaga keheningan di sekitarnya. "Kamu tidak perlu tahu," lanjutnya.
Yuka mendengarnya seperti merendahkan dirinya. Yuka bisa dipercaya menjaga rahasia. Mata bulan sabitnya melotot. "Kenapa aku tidak boleh tahu?"
Ryu menatap Yuka datar. Seolah tidak terpengaruh dengan aura kemarahan cewek itu. "Kamu malah merepotkan kalau tahu."
Kata-kata kejam itu sukses membuat Yuka bertambah panas. Shino sampai lupa mengantupkan mulut ketika dua adik kelasnya itu mengibarkan bendera peperangan. Padahal, ada hal yang lebih penting daripada ini.
"Ayolah, teman-teman!" seru Shino seraya merangkul bahu keduanya.
"DIAM!" Keduanya kompak sekali membentak senior mereka. Shino terlonjak dari tempatnya.
"Merepotkan, ya? Memang kamu tahu aku gimana? Jangan sok nge-judge kalau belum tahu," sarkas Yuka dengan emosi meletup-letup. "Kita baru kenal kalau kamu lupa." Ah, satu tahun tidak dianggap Yuka lama. Sebab, pertemuannya dengan Ryu beberapa kali tidak membuat mereka mengenal satu sama lain.
Ryu mendesah. "Aku tahu."
Di luar dugaan Yuka, Ryu menatapnya sendu. Seolah menyampaikan sesuatu lewat matanya. Berapa kali pun Yuka menerjemahkannya, mengira-ngira hingga kepalanya hampir pecah, setiap bertemu Ryu selalu saja dia gagal paham.
Yuka merapatkan bibir. "Kamu tidak tahu apa pun!" tegasnya lebih keras. Berharap Ryu tidak lagi memusingkan kepalanya seperti saat ini.
"Kamu tidak mengingatnya."
Shino menyadari situasi sudah berbahaya buru-buru menarik Ryu. Seperti tersadar, Ryu pamit duluan tanpa menatap Yuka lagi. Memang cowok aneh, begitu yang Yuka pikir.
"Yuka-Chan, bukannya kamu ingin berbicara sesuatu denganku?" Pertanyaan itu sukses membuat atensi Yuka teralih kepada Shino. Cewek itu lantas mengangguk. Melirik kanan kirinya waspada. Menarik tangan seniornya untuk berbicara di tempat aman.
***
Perpustakaan Elementary Magician
"Apa ini?" tanya Yuka ketika diseret Shino menuju perpustakaan sekolah. Langkah seniornya itu mengikuti rak-rak buku yang mengarah pada lorong panjang di bagian belakang. Yuka menganga takjub melihat pintu kayu yang tersamarkan oleh pigura besar seukuran manusia dewasa bergambar kabut-kabut hitam dan manusia abstrak yang saling berperang.
"Ruang khusus," ujar Shino seraya menutup pintu ketika Yuka sudah masuk.
Di dalamnya tidak ada apa-apa selain meja bundar dan empat kursi. Dinding-dinding yang dibalur kabut putih transparan seperti jaring pertahanan.
"Kamu sudah mendapatkannya."
Mata Yuka membeliak. Ingatannya terlempar pada kotak yang hilang setelah Yuka tersadar. "Shino-Senpai tahu?"
Shino mengangguk. Lantas, dia berucap sesuatu dalam bahasa yang tidak pernah Yuka dengar. Dari kedua tangannya Shino keluar kabut-kabut putih yang mulai menyebar, memakan dinding-dinding sekitar. Merayap bagai kumpulan hewan pemakan kayu. Persis seperti kejadian malam itu. Mendadak, tubuh Yuka gemetaran.
Kabut-kabut itu berkumpul menjadi satu di atap-atap. Mendongak demi melihat peperangan bagai film aksi. Shino mengaduh, lalu pertunjukkan itu selesai.
"Persis seperti itu!" teriak Yuka sembari menghampiri Shino untuk membantunya berdiri.
"Akh. Aku masih belum bisa menggunakannya dengan baik," gerutu Shino lalu menepuk lengannya akibat debu. "Yah, begitulah. Kamu yang terakhir mendapatkannya, Yuka-Chan."
"Aku? Terakhir?" tanya Yuka menunjuk dirinya dengan telunjuk. "Siapa lagi?" lanjutnya penasaran.
"Di sekolah ini, aku yang pertama. Kemudian Ryu, Aiko dan terakhir kamu. Maksudku, semua orang yang berhasil keluar."
"Keluar?"
Shino mengangguk. "Keluar dari dunia sihir satu tahun lalu."
Yuka tertawa kecil. "Ayolah senpai, ini tidak masuk akal."
Helaan napas Shino membuat Yuka mengantupkan bibir. Takut menyinggung perasaan seniornya. "Bisa jelaskan sulap mana yang bisa membuat pertunjukkan seperti tadi. Atau dinding pertahanan ini dibuat penyihir, pendiri sekolah ini. Jaring anti meteor, kamu percaya bualan itu? Itu adalah karya penyihir jaman dulu yang disembunyikan pemerintah."
Rentetan kalimat Shino belum membuat Yuka menerima kenyataan.
"Baiklah, Yuka-Chan. Bukankah kamu Ingin mengetahui di mana keluargamu? Kenapa kamu sendirian di sini?"
Barulah, Yuka mendengar Shino-senpai dengan perhatian penuh.
Shino mengangguk. "Mau mendengar cerita?"
Yuka duduk mengikuti Shino yang tengah memandang langit-langit. Kabut-kabut bergerak memutar, saling bertabrakan, hilang, lalu menebal kembali.
"Bumi pernah bekerja sama dengan penyihir jauh sebelum sekolah ini didirikan. Sebagai bentuk kerja sama itulah, beberapa bangunan didirikan penyihir untuk menjaga eksistensinya. Kamu tahu bahwa kepala sekolah pernah berbicara soal ini ketika ada kelulusan, meskipun sedikit?" Yah, Yuka ingat. Dan, semuanya menganggap kepala sekolah orang gila.
Yuka mengangguk setuju. Kepala sekolah, yang sekarang tidak tahu di mana keberadaannya. Sekolah ini dipegang oleh wakil kepala sekolah, Ayah Shino. Pria berusia lanjut yang konon ada sejak sekolah ini berdiri. Yuka bahkan sudah lupa bagaimana wajahnya.
"Ada legenda sejak dulu kalau darah penyihir yang dinodai darah manusia bisa menciptakan energi yang mematikan. Padahal, pernikahan penyihir dan manusia terlarang dalam aturan apa pun. Manusia akan mati jika tetap melakukannya."
"Ada yang pernah melanggarnya. Penyihir paling suci, palingan murni darahnya jatuh cinta pada manusia. Sejak itu kutukan terjadi di dunia manusia maupun dunia sihir. Keseimbangan dunia terguncang. Untuk menyelamatkan semuanya, semua penyihir tidak boleh tinggal di bumi. Menjalani kehidupan masing-masing."
Yuka merapatkan bibirnya. "Lalu apa hubungannya dengan kita?"
Shino menggeleng pelan. "Aku hanya mengingat sedikit kalau anak dari pernikahan itu diincar oleh para penyihir. Ada sebagian kelompok yang percaya kalau kutukan bisa dipatahkan oleh anak itu. Berusaha melindunginya."
Shino mengangguk ketika wajah Yuka terlihat memahami perkataannya. "Kita termasuk dalam kelompok itu. Entah bagaimana, orangtua kita termasuk penyihir juga."
"Benarkah?" tanya Yuka takjub. Dia merasa sangsi karena tidak merasa memiliki kekuatan apa pun.
Shino mengangguk. "Ayahku penyihir kabut, meski penyihir biasa."
"Wakil kepala sekolah?" tanya Yuka sambil menutup mulut.
Shino menggeleng. "Dia bukan ayah kandungku. Seperti semua orang terdekat. Bukankah aku pernah bilang kalau ingatan kita dicuri?"
Shino menghampiri dinding yang terlapisi kabut. Menyentuhnya dengan mata terpejam. "Aku hanya ingat sebelum kita tertarik ke dunia sihir."
"Jadi kita pernah ke sana?" tanya Yuka dengan kening berkerut. Lalu tawanya menyembur tanpa ditahan.
Shino menatapnya tajam. "Aku tidak bercanda. Ingatan kita tentang dunia sihir akan terhapus ketika kita di bumi. Tidakkah kamu Ingin bertemu orangtuamu? Orang tua kita?"
Yuka tersadar. "Tapi, bagaimana caranya mengembalikan ingatan itu?" tanya Yuka antusias. Jika itu berarti bertemu dengan orangtua kandungnya, dia akan melakukan apa pun juga.
Shino berbisik pelan. "Kita harus menjalani ingatan itu kembali dan menyelesaikan ssmuanya."
"Hah? Jangan berkhayal!"
"Aku serius."
Yuka mengubah raut wajahnya. "Baiklah. Kenapa tidak kamu lakukan dari dulu?" tanyanya tidak mengerti.
"Semua ada resikonya," guman Shino berpikir keras. Yuka tidak pernah melihatnya begini. "Kita bisa kembali, tapi tidak tahu akan menjalani kehidupan seperti apa di sana. Atau tetap di sini dan membiarkan semuanya seperti ini."
Mendadak, Yuka dilanda keraguan.
"Aku pernah tidak ingin pergi," ujar Shino membaca pikiran Yuka. "Aku takut karena sendirian saat itu. Tapi, kini kita berempat sudah berkumpul. Dan hujan meteor itu adalah tandanya."
"Tanda apa?" tanya Yuka penasaran.
"Seperti katanya, kutukan akan segera terjadi lagi."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro