Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15

"Yuka!" teriak Aiko kencang. Langsung berhambur ke pelukan Yuka. Tanpa sungkan Yuka menyambutnya antusias. "Jangan bikin orang jantungan terus dong!" gerutunya memeluk Yuka lebih erat.

Yuka tersenyum. Aiko tidak berubah seperti perkiraannya. "Maaf, aku nggak jujur sama kamu," ujar Yuka tulus.

Langsung aja Aiko menyentil dahinya. "Kita sahabat. Nggak perlu maaf-maafan."

Yuka menimang. Melirik sekitarnya untuk memastikan keadaan. Aiko menyipitkan mata saat menyadari itu. "Kamu cari Ryu? Ryu-"

"Kamu mau ikut aku?" tawarnya memotong.
Menyadari keseriusan Yuka, senyum Aiko luntur. "Ke mana?"

"Bertemu seseorang. Aku nggak tahu lagi harus percaya sama siapa." Yuka putus asa. Hanya Aiko yang bisa membantunya saat ini. Dia perlu bicara dengan Rafelia lagi. Dia harus memastikan semuanya. Meminta pendapatnya harus melakukan apa. Keyakinannya masih berada di awang-awang.

"Tapi, ceritain semuanya," jawab Aiko sambil mengangguk.

Yuka setuju. Dia membiarkan Aiko kembali ke asrama untuk mengambil sapu terbangnya. Ini sudah larut. Tidak mungkin ada yang berkeliaran selepas penyerangan itu. Yuka yakin, kepala sekolah akan menemuinya. Beruntung, Ryu menyanggupi permintaan Yuka kalau dia tidak ingin bertemu siapa pun sampai besok.

"Aku masih bisa terbang, Aiko," ujar Yuka tanpa niat bercanda. Suasana jadi canggung. Dia masih pandai menggunakan sapu terbang dengan Aiko dibelakangnya.

Sepanjang jalan, Yuka menceritakan semuanya. Pertemuannya dengan Mrs. Selly hingga Rafelia. Pertanyaan yang muncul kenapa kepala sekolah menutupi ini semua?

"Tidak ada orang tua yang membuang anaknya tanpa alasan," komentar Aiko setelah Yuka selesai berbicara. Yuka merasa sedikit lega berbagi cerita.

"Aku anak terkutuk itu," ujar Yuka berbisik pada dirinya sendiri. Lihat, bahkan langit di atas sana selalu marah padanya. Menatap langit membuat Yuka benci pada dirinya sendiri. "Semua orang membencinya."

Aiko menyadarkan Yuka dengan seruan pelan. "Aku menyayangimu. Ryu dan Shino tidak pernah memandang kamu berbeda."

Yuka tersenyum sebagai balasannya.
"Aku bingung harus percaya sama siapa."

Aiko juga tidak tahu. "Yuka, meski kita tidak mengenal kepala sekolah lebih jauh. Bukankah orang baru juga patut dicurigai?"

"Kita lihat saja nanti."

Jika Rafelia bisa menjawab pertanyaan Yuka, dia akan mempercayainya.

Mereka sampai di hutan sunyi. Sesuai namanya. Tidak terlalu banyak pepohonan di sana. Tanah retak di mana-mana. Katanya imbas dari penyalahan aturan itu. Lagi-lagi karena Yuka sendiri alasannya.

"Kamu tunggu sini," perintah Yuka saat Aiko mengikutinya masuk ke dalam. "Kamu harus sembunyi dari Rafelia."

Aiko mengerti. Maka, dia mencari tempat strategis agar bisa melihat Yuka secara leluasa.

Yuka memanggil nama Rafaelia tiga kali. Anginnya berhembus dari samping kanan. Yuka melirik ke arah, memastikannya bersembunyi dengan baik.

Seseorang wanita tersenyum ke arahnya. Dia terlihat seperti Dewi. Yuka bisa melihat mata emasnya ketika Rafelia membuka tudung jubahnya. Masih saja dia takjub dengan kecantikan dan aura tajamnya.

"Ini terlalu cepat," ujarnya dengan tawa melengking.

Yuka bersikap tenang. "Ada yang ingin kutanyakan."

Senyum di bibir Rafelia meredup. Lalu terbit kembali. "Baiklah. Kamu bisa mendapatkan jawaban apa pun dariku."

"Bagaimana cara ayahku melepas kutukan ini?" tanyanya tak gentar. "Dan, kenapa dia menghilang sampai saat ini?"

Rafelia tertawa kesenangan. Tidak menyangka bocah polos di depannya begitu pintar. Itu jawaban yang mudah. "Dia yang melakukan kutukan itu, dia yang harus mencabutnya. Kamu tahu hukum timbal balik, kan? Oh, aku tidak pernah menyebabkan kutukan pada siapa pun. Jadi, aku tidak tahu caranya."

"Kedua. Sebenarnya aku bisa menjadikanmu tumbal agar dia keluar. Tapi, kamu tahu dia tidak menyayangimu," ujar Rafelia tepat sasaran. "Dia adalah buruan nomor satu di dunia sihir selama enam belas tahun. Tidak ada penjahat yang rela menyerahkan diri setelah malakukan kejahatan."

Yuka merasakan sakit di bagian dadanya. Entah kenapa, semua ucapan itu diterima otaknya mentah-mentah. Yuka tidak mau kehilangan akal.

"Ada lagi?" tanya Rafelia sombong.

"Aku akan bertanya kepada kepala sekolah," ujar Yuka memancing.

Rafelia menggeleng. "Silakan. Jika kamu ingin mengetahui kebusukan anak buah ayahmu itu."

"Apa maksudnya?"

"Sebelum bulan purnama berikutnya. Waktu yang tepat untuk mencabut kutukanmu. Semoga berhasil!"

Lalu, wanita berambut merah itu menghilang.

***

Sampai keesokan harinya, Kepala sekolah datang menjenguk Yuka. Agaknya, menunggu lama untuk melihat Yuka yang belum terbangun. Lima menit berlalu, Yuka merasakan sakit kepala luar biasa menyerangnya.

Kepala Sekolah muncul dari balik persembunyiannya. Menghampiri salah satu MAC yang sedang diperbincangkan di Academy sejak dulu. Setelah menyentuh kepala Yuka, suara rintihan gadis itu mereda.

"Selamat Pagi, Kepala Sekolah!" sapa Yuka menundukkan kepalanya sedikit. Terkejut dengan kunjungan pagi ini yang terasa rahasia. Dia belum  mempersiapkan apa pun jika ditanyai nanti.

Kepala sekolah mengangguk. "Jadi, apakah kamu menemukannya?" tanyanya langsung pada inti pembicaraan pagi ini.

Lama terdiam. Yuka tidak ingin dia tahu bahwa dia memiliki sesuatu yang penting sekarang-buku itu maksudnya. "Tidak."

Kepala Sekolah mendesah panjang. "Dulu, aku berpikir kamu hanyalah anak yang orangtuanya putus asa saja. Tapi, ketika Mrs. Selly bicara tentang kutukan itu, aku teringat ramalan."

Yuka mengernyit. Ramalan apa? Rafelia tidak berbicara sesuatu tentang ramalan itu padanya. Apa-apaan dengan informasi ini alih-alih disudutkan?

"Ramalan?" ulangnya menyuarakan isi pikiran.
Kepala Sekolah menerawang. "Bahwa, akan ada beban yang dibawa oleh anak terkutuk. Dia akan diburu oleh satu dunia sihir karena memiliki kemampuan paling langka. Penyihir terkuat sekali pun. Kekuatan yang yang bisa menghancurkan apa pun jika dimiliki orang yang salah."

Yuka merenggut sejenak. Termasuk di Academy ini. Bahkan, sejak lahir Yuka rasanya dibunuh pelan-pelan.

"Jadi, anda mengatakan kalau anak itu aku?" tanya Yuka tanpa keterkejutan yang luar biasa. Menilai reaksi kepala sekolah yang masih setenang air mengalir.

Kepala Sekolah tidak menjawab. Dia terus bertutur, "karena jika kutukan dunia sihir menghilang, kekuatannya tidak akan terkendali. Keinginannya untuk memburu semua penyihir yang akan muncul."

Kenapa? Pernyataannya berbanding terbalik dengan ucapan Rafelia. Semua penyihir katanya? Ayolah, otak Yuka rasanya mau meledak sekarang.

"Aku tidak bisa menunjukmu sebagai anak itu. Tapi, apakah hati dan pikiranmu menanam hal itu di otakmu?" tanya Kepala sekolah di akhir ucapannya.

Yuka mengepalkan tangannya. "Ya, katakanlah begitu. Jadi, kenapa semua orang tidak membunuh saya saja biar kutukannya hilang?" tanya Yuka sedikit jengkel. Semuanya terasa rumit dalam dua pandangan.

"Jika diberi dua pilihan; duniamu binasa atau kamu hidup di bawah kegelapan, mana yang kamu pilih?"

Yuka menyimak seraya berpikir.

"Pilihan kedua, kita hanya perlu menemukan cahaya saja. Lagipula, kami tidak menganggap ini kutukan."

Seolah memberikan sesuatu yang Yuka perlukan. Lewat kata-kata itu, ingin sekali Yuka berbicara tentang Rafelia. Otaknya berontak. Dia baru dalam tahap menilai.

"Penyerangan kemarin-"

"Ingin sekali aku menutupi ini darimu, lagi," ucapan Kepala sekolah memotongnya. "Mereka mencarimu. Penyerangan itu bukan yang pertama. Ah, mungkin pertama secara terang-terangan seperti ini."

Kepala sekolah mengingat ketika Yuka di Elementary Academy, pernah terjadi juga. Pertahanan sihir di Academy jebol. Yuka menghilang sehari setelah ditemukan menangis di hutan sunyi. Sepertinya, ingatan Yuka tidak terlalu baik saat itu. Anak berumur lima tahun haruslah melupakan ingatan mengerikan.

"Mereka?"

"Klan Scamael yang sudah punah. Mereka ingin bangkit ke masa kejayaannya."

Yuka tidak habis pikir. "Aku tidak punya sesuatu yang menarik!"

"Nanti, kekuatanmu masih tersegel. Semakin dekat dengan bulan purnama, kekuatan itu akan muncul. Kuharap kamu mengatakan semuanya secara terbuka. Kami, Academy siap membantumu kapan saja."

Tepat sasaran. Yuka merasa tersindir sekali. Entah sengaja atau tidak, kepala sekolah pasti tahu apa yang dilakukannya saat ini. Dan, anehnya dia tidak menyinggung sama sekali. Teringat kembali dengan ucapan Rafelia soal hubungan kepala sekolah dengan ayahnya.

"Anda tahu ayahku? Ayahku, di mana?" tanyanya mencoba peruntungan. Jika, Yuka bisa menemukannya. Setidaknya, Yuka bisa bertanya secara langsung. Apa yang harus dia lakukan? Mana yang harus dia percayai?
Dadanya berdetak. Hanya dengan menyebut 'Ayah' saja, air matanya merembes kembali. Kemarahannya berada di ubun-ubun. Dia ingin menghancurkan segalanya. Agar semuanya juga merasakan hal yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro