Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Aiko terkejut mendapati Yuka menunggu di dalam asrama. Dia latihan sampai malah hari ini.

"Aku minta maaf," ujar Yuka sesaat setelah Aiko meletakkan buku-buku tebal di atas meja.

Hening. Yuka yakin suaranya terdengar. Atau Aiko saja yang memang tidak ingin bicara dengannya?

Aiko berbalik. "Emang kamu punya salah?" tanyanya berbalik. Ada nada kecewa yang Yuka tangkap di sana. Juga dengusan yang selalu Aiko lakukan ketika malas berurusan dengan siapa pun.

Yuka tersentak. "Aku nggak kasih tahu kamu. Luka itu bukan aku pelakunya. Kamu pasti nggak percaya kalau aku bilang gitu," jelas Yuka mengutarakan isi hatinya.

"Jadi, selama ini kamu anggep aku sama kayak mereka?" tanya Aiko dengan nada menusuk.

Yuka menggeleng cepat. "Bukan gitu!" Aduh, malah tambah runyam. Yuka dulu tidak berpikir akan jadi begini. "Aku kira kamu bakalan ngira aku monster juga."

Aiko mendesah beberapa kali. Yuka bahkan bisa menghitungnya dalam satu menit.
"Aku ngantuk mau tidur."

Setelah berkata itu, Aiko membenamkan dirinya dalam selimut. Dia benar-benar tidur? Yuka tidak ingin mengganggunya lagi. Maka, diputuskannya keluar dengan langkah pelan.

"Aku pergi ya, Aiko."

Pintu tertutup. Meski masih ada yang mengganjal, Yuka memutuskan abai. Nanti kalau Yuka udah tahu siapa pelakunya, Aiko pasti akan mengerti. Yuka melewati lorong, menuruni tangga hingga sampai di pintu depan. Ada Miss Wenny yang sudah menunggu dengan mantel tebal. Membuatnya jadi kepompong besar. Lantas, wanita tua itu menyerahkan tas dari dedaunan kepadanya.

"Ini dariku. Cuaca selalu mendung. Kita tidak bisa tahu di luar sana bagaimana," ujarnya datar. Lalu, sekedip kemudian dia menghilang. Yuka bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.

Berjalan lima menit hingga sampai di gerbang depan yang terbuka sendiri. Hanya dengan menempelkan surat ijin dari Mrs. Raflyn. Maka, Yuka ternganga melihat jalan gelap gulita. Jika siang hari masih ada celah untuk melihat, maka malam seperti berada di alam mimpi.

Yuka merapihkan mantel, mengikat jubahnya erat, memastikan ikatan tas di punggung dan pinggangnya kencang. Terakhir, Yuka menghidupkan obor dari kayu yang diberi ramuan khusus bagian ujungnya.

"Baiklah. Kita pergi hari ini!" ujar Yuka penuh semangat.

"Aduh!" Baru saja Yuka menaiki sapunya, sebuah batu terlempar ke arahnya. Sambil meringis, Yuka menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Sampai pandangannya kembali, Yuka terkejut melihat makhluk misterius dengan jubah yang mengotori tanah dan tudung sebatas hidung.

"Kamu mau pergi?"

Ah, lega rasanya.
Ryu menurunkan tudungnya. Keningnya berkerut melihat Yuka dan segala barang yang dibawanya. Tiba-tiba, ekspresinya kembali datar.

"Jangan kangen, ya," ujar Yuka menggoda.

Ryu menyentil dahinya sebagai jawaban.
"Aku anter."

Eh?
Dia bukannya tanya ke mana kek atau ngapain kek, malah mau nganter.
Jangan-jangan dia tahu Yuka ke mana? Kepala sekolah sudah janji nggak bakalan kasih tahu siapa-siapa. Tapi, Ryu... Ah dia kan anak angkatnya.

"Kamu nggak tahu jalannya! Aku bisa sendiri kok!" tolak Yuka cepat. Tidak ingin berlama-lama dengan cowok bermata emas itu. Jantungnya mau loncat kalau Ryu terus menatap Yuka kayak gini.

Yuka terbang. Baru setinggi lutut, ujung soalnya dipegang Ryu kuat. Tentu saja keseimbangannya jadi buruk. Untung Yuka punya refleks bagus. "Hei! Kamu mau bunuh aku, ya?"

Ryu mengangguk kalem. Yuka tidak suka ekspresi itu.

"Aku anter," ujarnya lagi. "Kali aja ada yang mau ngulik kamu," lanjutnya sambil menerawang ke langit sebelum menjatuhkan tatapannya pada Yuka.

"Oke, deh. Tapi jangan nyusahin," ujar Yuna pasrah. Melihat tekad Ryu, sampai fajar menyingsing berdebatan mereka tidak akan berkahir.

Maka, Ryu terbang di belakang Yuka. Cewek itu takjub mengetahui kemampuan Ryu yang lain. Dia bisa terbang! Yuka bertaruh, dia bahkan bisa di level empat kalau mau. Ada teman di perjalan-yang tidak begitu panjang-panjang membuatnya tenang. Buruknya, Yuka merasa punggungnya panas. Dia nggak mau geer duluan.

Dengan inisiatif, Yuka membuka pembicaraan, "eh, kamu bener anak angkat kepala sekolah?" tanyanya keceplosan.

"Emm."

Apa dia marah? Yuka melirik sedikit ke belakang. Ryu menangkap matanya. Lantas mensejajarkan diri dengannya.

"Kamu dapet ijin dari kepala sekolah?" tanyanya ragu.

Yuka mengangguk. "Ayah kamu emang keren, deh! Maksudku, kepala sekolah."

Lalu hening. Yuka menggaruk teluknya yang terasa gatal. Perjalanan lima belas menit dengan kecepatan sedang. Mereka sampai di gerbang Elementary Magic. Yuka menempelkan surat ijin ke kotak otomatis bagian tamu. Gerbang terbuka dengan sendirinya.

"Makasih udah nganter," ujar Yuka canggung. "Aku masuk."

Ryu mengangguk. Keduanya melambaikan tangan. Sampai Yuka tidak terlihat lagi, baru Ryu pergi dari sana. Kepalanya kembali menengok gedung dasar yang berada di bawah pengawasan ayah angkatnya itu. Aneh sekali. Yuka bahkan dibiarkan pergi meski semua MAC dilarang keluar meskipun latihan terbang sekali pun. Apa yang direncanakan ayah angkatnya itu?

Otak Ryu berhenti berpikir saat mendengar suara tanah bergetar. Ada sesuatu yang terjadi!

***

Di hari dilewati Yuka dengan lancar. Beberapa buku yang diberikan Mrs. Selly akan berguna nanti. Perasaannya tidak menentu setelah mendengar cerita mengerikan darinya. Teringat kembali sewaktu Yuka bisa menemuinya satu hari sebelum pulang. Rupanya, Mrs. Selly tidak akan menampakkan diri selain orang-orang yang dikehendakinya.

Yuka harus mendesak penjaga asrama yang baru untuk membantunya. Hingga harus menelusuri sisi selatan lebih jauh, ke rumah Mrs. Selly. Rumahnya berada di antara rerimbunan semak-semak berwarna pelangi-yang daunnya sudah rontok karena tidak ada sinar mentari. Berputar beberapa kali hingga Yuka menggunakan mantera untuk berkomunikasi dengan tanaman sekitar.

"Kamu kembali?" Pertanyaan itu agaknya aneh jika diucapkan setelah pertemuan pertama mereka. Wajahnya tidak terkejut sedikit pun.

"Saya ingin bertanya beberapa hal," ujar Yuka langsung pada intinya.

Mrs. Selly menggeleng. "Aku tidak tahu apa-apa." Dia berjalan menuju patry. Menyentuh kompor gas yang mengeluarkan api dengan tangannya. Suara klik terdengar. Paruh baya itu membuka sisi atas kompor-yang berfungsi sebagai pintu.
Terlambat untuk terkejut. Sebuah buku terbang ke arahnya. "Aku disuruh menyampaikannya saat kamu datang lagi," jelasnya lalu menggendikkan bahu.

Yuka menerimanya ragu. Buku setebal ujung jari. Berwarna hitam dengan hologram emas di ujungnya. Tidak menarik sama sekali.

"Kekuatanmu akan muncul kalau kamu bisa memecahkan kuncinya."

"Siapa yang memberikannya?" tanya Yuka dengan suara bergetar.

Wanita tua itu menggeleng. "Aku hanya ingat, matanya sebening kaca. Rambutnya putih melebihi punggung. Dia tinggi besar dan mempunyai hologram emas di pergelangan tangan."

Dada Yuka berdetak kencang.

"Semua jawabanmu ada di buku itu katanya. Aku bahkan tidak pernah bertemu laki-laki itu lagi."

"Apa ayahku?" tanya Yuka dengan kemungkinan paling mendekati. Kenapa? Jika benar, harusnya dia membawa Yuka ikut serta ke manapun ayahnya pergi. Berarti Yuka memang ditinggalkan sendirian. Ayah tidak pernah menginginkannya.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak!" tegas Mrs. Selly melihat raut wajah Yuka yang berubah sendu. "Aku melihatnya terburu-buru," lanjutnya menerawang. Lantas kejadian malah itu kembali berputar dalam ingatan.

*Hari itu langit masih tersenyum. Meski hujan deras dan petir selalu menyambar padahal bukan musim hujan. Seseorang datang ke Academy yang dikenal dengan penjagaan ketat. Mengetuk pintu terburu-buru. Mrs. Selly saat itu bersiap tidur di dalam kamar jaganya.
Ketika membuka pintu, dia terkejut mendapati seseorang yang bersinar terang. Orang itu menyerahkan bayi kepadanya. Dalam keterkejutan, dia hanya tidak bisa berkata-kata.

"Jangan pernah membiarkannya keluar dari sini*."

Lalu, pria itu memberikan buku tipis kepadanya. Menjanjikan jika waktu memungkinkan, akan menjemput bayi itu lagi. Lambat laun, Mrs. Selly melupakan kejadian itu. Mendewasakan Yuka dengan caranya sendiri. Yuka tumbuh menjadi gadis cerdas dan ceria. Sampai sesuatu membuatnya bersembunyi dari sini.

"Kutukan itu," ujar Mrs. Selly terbata-bata setelah menghubungkan kejadian itu dengan masa ini, "kutukan itu terjadi saat kamu lahir."

Deg!

Jantung Yuka hampir meloncat mendengarnya. "Kutukan?" Ah, dia merasa menemukan benang merahnya sekarang.

"Bahwa, dunia sihir akan selalu diliputi mendung. Tidak akan pernah ada cahaya karena pernah terjadi pelanggaran aturan," ucap Mrs. Selly bergetar.

Yuka mengingatnya. Aiko pernah mengatakannya dulu.

"Pernikahan penyihir dan manusia terlarang," bisik Yuka pada dirinya sendiri. Dia lahir saat kutukan itu terjadi. Ayahnya membuangnya. Dan, rumor tentang kutukan itu adalah pernikahan penyihir dan manusia. "Apa aku anak dari pernikahan terlarang itu?" tanya Yuka setelah menyimpulkan semuanya.

"Mungkin," ujarnya menimang. "Kita tidak tahu."

Yuka merasakan matanya panas. Semuanya terasa membingungkan. Terasa mengerikan untuk dicerna olehnya. Fakta bahwa dia dibuang terasa menyakitkan. Terlepas dia anak terlarang itu atau bukan.

Mrs. Selly mendapatkan telapati.
"Jangan biarkan Yuka pergi."

"Sebaiknya kamu beristirahat di sini beberapa hari," ujar Mrs. Selly ketika Yuka bersiap-siap kembali ke Academynya.

Yuka menggeleng. "Aku harus memastikan sesuatu." Dia memberikan salam hormat sebagai tanda perpisahan. Tentu saja sebuah pelukan karena mereka tidak bertemu sementara.

"Jangan! Di luar mendung sekali!" cegah Mrs. Selly sebelum Yuka menyentuh gagang pintu.

Yuka mengernyit. "Bukankah memang selalu mendung?" tanyanya sambil menyipitkan mata. Agaknya Yuka tahu yang terjadi. Tumbuh dengannya membuat Yuka hapal sikap Mrs. Selly. "Sesuatu sedang terjadi."

"Tidak terjadi apa-apa! Hei! Kembalilah!" teriaknya menarik pergelangan tangan Yuka.
Yuka memberikan mantera pengunci lawan. Meminta maaf karena melakukan itu. Memberikan hormat lagi sebelum terbang dengan sapunya.

Perasaannya sangat tidak nyaman. Suasana senyap seperti biasanya. Ini terlalu mencurigakan. Setidaknya, harus ada burung atau hewan melata yang bersuara. Yuka mempercepat laju sapunya.

Aiko benar, Yuka harusnya curiga kenapa kepala sekolah memberikan ijin dengan mudah. Dia harusnya tahu, pasti ada sesuatu yang aneh.

Sebuah panah mengarah pada Yuka. Refleks dia menghindar. Matanya hampir keluar melihat siapa yang mengepungnya di perbatasan Academy dan desa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro