Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11

Malam hari.

Yuka mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke Elementary Magic. Sebenarnya, bisa saja dia pergi menggunakan black hole. Ah, tidak, kemampuannya untuk pergi jarak jauh menggunakan itu belum terasah dengan baik. Bisa-bisa malah nyasar ke tempat lain lagi.

"Senengnya yang dapet jatah liburan," sindir Aiko yang baru sama masuk kamar.

Yuka tertawa kegirangan. "Oh, ya. Katanya cuaca lusa baik-baik aja. Jadi, jangan khawatir."

"Aku malahan iri," ujar Aiko tidak rela. "Masa aku ditinggalin, sih? Apa ini liburan?" tanyanya memelas.

Yuka nyengir lebar. Dia kan perginya dua hari lagi. Terlintas ide untuk berjalan-jalan malam untuk menghilangkan wajah muram Aiko.

"Mau jalan-jalan?" tanya Yuka dengan mata mengerling.

Segera saja Aiko mengangguk. Mereka lupa kapan terakhir keluar asrama-meski dilarang-sejak adanya latihan mendadak itu. Sepekan? Dua pekan?

Yuka mengunci pintu. Aiko bertugas membawa cemilan ringan dan menata guling dan selimut untuk mengelabuhi. Tepat jam sembilan malam, biasanya ada yang keliling untuk memastikan. Dan, Untung saja mereka sudah melakukannya beberapa kali. Setelah mematikan lampu, mereka keluar dengan hati-hati.

"Siap!" teriak Aiko pelan.

Yuka menggunakan sapunya untuk kesekian kali. Malam ini, mereka berencana ke pohon bagian belakang gedung asrama. Pohon tinggi sebesar Hulk raksasa dengan jari jemari yang bisa dijadikan tempat tidur. Tidak butuh waktu lama untuk ke sana.

Aiko langsung duduk di samping Yuka, menawarkan potongan kecil bola-bola ikan dengan keju leleh di atasnya. Saat, makanan itu didapatkan dari Aiko ketika berkunjung ke dapur kafetaria. Seperti biasa, Aiko memang selalu bisa diandalkan untuk urusan apa pun.

"Aku iri belum bisa terbang sepertimu," gerutu Aiko saat melihat Yuka terlihat santai ketika menggunakan sapunya.

Yuka yang sedang mengelus-elus sapunya menoleh. Merasa sedang dibicarakan. "Nanti juga bisa," ujarnya cuek.

Aiko belum mengalihkan topik, "apa kamu keturunan penyihir hebat atau apa?" tanyanya seraya memutar mata.

Yuka langsung saja tertawa. "Kamu tahu aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku," ujarnya mendesah panjang. Matanya terpejam untuk menikmati semilir angin yang membelainya.

Aiko mendadak histeris. "Nah! Makanya, mungkin kamu keturunan penyihir zaman dulu."

"Jika iya. Kenapa mereka meninggalkanku?"

Bahkan tanpa penyihir hebat sekali pun, Yuka hanya ingin punya keluarga lengkap. Hanya itu. Tidak muluk-muluk, kan? Atau, setidaknya siapa mereka dan kenapa alasannya dia ditinggal sendirian. Yuka akan mencoba menerima jika itu masuk akal.

Aiko langsung terdiam. "Kamu tahu, aku dapet info soal Ryu lho."

Yuka memutar mata. "Aku nggak kepo."

"Masa? Kukira kalian lagi kencan."

"Hey!" tiba-tiba saja Yuka berteriak di wajah Aiko. Langsung saja mendapat pelototan dari Aiko. Yuka langsung nyengir tanpa dosa."Aku nggak suka dia."

Yuka berkata jujur, sedikit. Setidaknya, sikap Ryu sangat tidak disukainya. Terlepas dari rasa-tidak-dihargai mereka, rasanya tidak akan cocok berbicara dengan Ryu terlepas dari topik itu.

"Eh, siapa yang tanya kamu suka apa enggak."

Skakmat!

Iya, ya? Yuka menepuk mulutnya sendiri karena menyadari kesalahan itu. Terlambat, Aiko menjadikan senjata untuk mengolok-olok Yuka.

Huh!

"Eh, Ryu. Yuka mau—"

Yuka langsung membekap mulut Aiko. Sahabatnya itu meronta-ronta. Yah, mungkin dikerjain Aiko aja. Mana mungkin Ryu ada di sini malam-malam? Atau tidak, seseorang melompat dari satu dahan ke dahan lain seperti meloncati kerikil. Orang itu yang mereka bicarakan, Ryu.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Ryu dengan kening mengernyit.

Yuka tiba-tiba sewot, "kamu sendiri?" tanyanya sinis.

"Aku sedang ikut berjaga."

Ah, iya. Memang ada kelompok penjaga sejak hujan mengerikan kemarin. Kalian ingat? Anggotanya sukarelawan karena belum ditahap berbahaya. Tidak mungkin cowok itu secara sukarela ikut berjaga juga. Yuka sangsi untuk menerima faktanya.

"Dengan pakaian itu," ujar Ryu lalu berdehem. Mereka memang memakai baju tidur. Mana ada kabur pakai pakaian bagus? Yuka langsung merasa tersinggung melihat cowok itu mendengkus melihat kelinci berwarna hati di baju tidurnya. Tidak seperti baju tidur Aiko yang berwarna polos, mirip kemeja.

"Sebaiknya kamu pergi deh," usir Yuka ketus.

"Kalian yang harusnya takut."

Maksudnya?

"Jika ada yang tahu kalian di luar, tau hukumannya, kan?" Ryu bersikap tegas.

Aiko menyadari ucapan Ryu tidak main-main. Lantas mengajak Yuka untuk kembali ke kamar. Tentu saja langsung ditolak Yuka.

"Aku nggak takut. Lagian, aku mau pergi. Jadi, boleh dong keluar sebentar," jawab Yuka malah mengertak balik.

Aiko berbisik, "nanti kalau ijin kamu dibatalin lho."

Yuka menggigit bibirnya. Bisa gawat dong kalau batal. Melihat ekspresi Ryu lagi, kali ini sepertinya tidak main-main. "Oke. Kamu pergi sana."

Ryu menurut tanpa berdebat lebih lanjut setelah Yuka menunjukkan kesungguhannya.

"Kamu tahu Ryu itu sulit didekati."

Yuka menggeleng. Tidak tertarik. Memilih fokus ke depan.

"Aku belum bilang, ya? Waktu kamu pingsan. Dia jagain kamu sampe malem."

Hah? Masa? Yuka pikir kebetulan saja menemukan Ryu saat membuka mata. Ternyata, dia menunggu Yuka? Pantas saja Shisy geram setengah mati karena idolanya melakukan sesuatu semacam itu. Padahal, Yuka juga tidak menginginkan Ryu bersikap seperti itu.

***

Pagi hari suasana tidak seperti biasa. Aiko melambaikan tangan ke arah Yuka. Ternyata, Kafetaria lebih sibuk dari biasanya. Apa akibat dari padatnya latihan, ya? Memang latihan dipadatkan dari menjadi satu hari sekali. Masih tanpa alasan, sih. Awalnya, peraturan itu ditentang sebagian kecil murid. Apa daya, ternyata Academy juga meminta ijin kepada orang tua murid. Meski ada yang mencoba kabur, pasti di rumah akan mendapatkan teguran dari orang tua. Lagipula, latihannya tidak setegang ketika tahun ajaran.

"Pada kenapa?" tanya Yuka pada dirinya sendiri. Langkahnya jadi memelan untuk mendengar lirikan sinis MAC yang dilewatinya.

Ketika sampai di meja, Aiko langsung berujar, "Shysi menempel pengumuman."

"Pengumuman apa?" tanya Yuka Idak mengerti. Cewek itu mengikuti arah pandang Shysi yang ternyata di sisi belakang kafetaria. Pantas saja Yuka belum melewatinya.

"Katanya, kamu nginjek kakinya dia." Aiko melayangkan tatapannya pada Shysi, seolah bisa menghanguskannya lewat itu. "Kamu nggak liat tadi udah kucakar-cakar wajahnya."

Yuka malah tertawa sambil bertepuk tangan. Menambah keheranan MAC yang tengah mencelanya terang-terangan.

"Kamu keren," ujar Yuka seraya mengacungkan jempol. Perasaannya lagi baik hari ini. Jadi, Yuka tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Kamu nggak marah?" tanya Aiko bingung.

Yuka menggeleng. "Marah pun, pandangan mereka ke aku nggak bakalan berubah," ujarnya lalu duduk dengan santai. Yah, Yuka lebih kuat dari dugaan mereka. Bukan masalah besar, Yuka. Sudah biasa, pikirnya.

"Kalau aku jadi kamu, udah kukutuk dia jadi kodok," ucap Aiko memberi saran.

"Kamu mau dikeluarin dari Academy!" teriaknya histeris yang dibuat-buat itu membuat Yuka dan Aiko terlonjak. Shysi terlihat marah sekali. Keseluruhan darinya berwarna persis seperti api.

Yuka meringis ngeri. "Aku nggak sehebat itu bisa ngutuk kamu." Lagian, sensi amat ini anak sama Yuka.

Aiko mengangguk. "Sadar dong. Meskipun kamu pantes disihir, Yuka udah kusuruh dari dulu ngelakuinnya," timpal Aiko mengompori.

Shysi malah tersenyum lebar. "Kamu belum dikasih tahu, ya?" tanyanya pada Aiko, sengaja melirik Yuka tersirat.

"Kasih tahu apa?" tanya Aiko membuat Yuka bertambah gugup. Yuka jadi tidak nyaman. Entah kenapa seperti akan terjadi sesuatu yang besar.

"Yuka punya kekuatan mengerikan," ujarnya bermain dengan kata-kata. "Dia bahkan menyerang kulitku tau."

Aiko mendengkus. Tidak terpengaruh. "Oh, ya. Aku udah tahu," jawabnya mengejek.

Shysi jadi kesal sendiri. "Oh, jadi dia pura-pura nggak punya elemen gitu? Atau kamu bisa jelasin kenapa tiba-tiba nggak bisa gerak dan kakiku kebakar sendiri oleh kabut hitam?"

Aiko memang tahu kalau kaki Shysi dan kedua temannya diperban. Rumornya sih kena air panas.

Aiko terkejut. Shysi tersenyum jumawa. "Lihat, kamu nggak dikasih tahu berarti."

Pernyataan itu membuat Yuka gelagapan. Salahnya tidak memberitahu Aiko tentang itu. Yuka pikir semuanya udah selesai karena ancaman Ryu waktu itu.

Aiko menatap Yuka. "Kamu bohong," ujar Aiko akhirnya. Yuka sampai terkejut karena pernyataan itu.

"Terserah, deh. Terus aja bela. Kamu nggak tahu seberapa busuknya dia."

"Itu urusan aku. Mending kamu pergi!" teriak Aiko kesal setengah mati.

Shysi kecewa lantas kembali ke tempatnya.

Bibir Yuka merapat. Tangannya meremas ujung rok. "Maaf, Aiko."

"Itu bener?" tanya Aiko mengabaikan permohonan maaf Yuka.

"Maaf," ujar Yuka sekali lagi. Tidak bisa menatap sahabat yang selalu bersamanya.

"Awalnya aku nggak percaya. Tapi kenapa kamu minta maaf segala? Bener, ya. Aku pikir kita emang sahabatan."

Aiko berlalu meninggalkan Yuka. Yang dilakukannya hanya berdiri dengan perasaan berkecamuk. Matanya memburam. Pipinya terasa basah. Rasanya lebih sesak daripada diejek Shysi atau mendapatkan perlakuan buruk dari MAC lain.

Ryu baru saja masuk. Kekacauan di kafetaria langsung terpampang jelas. Matanya mengikuti arah pandang MAC di sebelahnya, Yuka terlihat menahan emosi menjadi satu di pojok ruangan.

Shysi menghampiri Ryu dengan senyum penuh kemenangan. "Kamu harus jauh-jauh sama monster itu!" perintahnya mengompori.

Ryu tidak berminat melirik. "Pergi sana," unsurnya datar.

Shysi cemberut. "Kamu tahu? Aku udah tanya Mr. Onjy kalau luka ini bukan dari elemen api atau apa pun itu!" Setelah menjelaskan itu, Shysi menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan kafetaria.

Ryu tidak tahu kenapa merasa empati. Hanya dengan air mata Yuka, meski cewek itu menyembunyikan wajahnya. Seolah-olah isakan kecilnya memenuhi telinga Ryu. "Ck. Merepotkan." Ryu memilik keluar dari Kafetaria sebelum memikirkan hal yang-seharusnya-tidak penting seperti itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro