Kesempatan Kedua
Alunan musik masih mendayu di lantai dansa, mengiringi gerak lincah langkah kaki yang serentak. Saat ini suasana hati Viona bercampur aduk karena jarak di antara mereka terlampau dekat. Saking dekatnya, ia bisa merasakan debaran jantung Racka. Ah, kapan ini akan berakhir? Rasanya wanita itu ingin berlari dan mendinginkan sekujur tubuhnya yang memanas.
Racka tiba-tiba melepaskan pegangan tangannya di pinggang Viona. Lelaki itu kemudian bersimpuh tepat di hadapan mantan kekasihnya. Apa yang telah dilakukan Racka menarik banyak perhatian, semua mata memandang ke arahnya. Termasuk para pemusik jazz yang langsung menghentikan permainan instrumennya. Seketika seisi lantai dansa itu menjadi hening, berganti dengan kasak-kusuk dan bisikan para tamu.
"Ada apa ini?" tanya seorang wanita bergaun hijau sembari melongok ke arah Racka.
Belum terjawab satu pertanyaan, muncul pertanyaan lain lagi. "Apa lelaki itu tidak waras?"
"Mungkin, coba kita lihat saja apa yang akan ia lakukan di pesta ini?" timpal tamu undangan yang lain.
Lelaki yang memakai tuxedo serba hitam tersenyum. "Tampaknya ini pertunjukkan bagus, memang kaum hawa selalu mengatakan kami para lelaki tidak peka. Padahal jelas-jelas pria itu akan melakukan sesuatu yang menakjubkan, kalian tidak bisa membaca gesture tubuhnya?"
Mereka semua sama-sama menghendikkan bahu, tidak tahu menahu apa yang terjadi. Segalanya terjadi tiba-tiba dan begitu cepat, beberapa pasangan dansa yang lain pun turut menghentikan tarian mereka dan melihat ke arah Viona.
"Bangun, Racka! Apa yang kamu lakukan?" ucap Viona seperti berbisik.
Wanita itu merasa linglung dan juga malu, bagaimana Racka bisa melakukan hal konyol di depan banyak orang? Atau mungkin lelaki itu terlalu banyak meminum alkohol sehingga mabuk? Tidak! Ini adalah bagian dari skenario yang telah ditata putra Bu Miranda itu secara spontan.
Racka memberi aba-aba kepada pembawa acara agar memberikan microphone padanya. Lelaki itu berpindah posisi, kini ia berlutut dengan satu kaki. Menengadahkan parasnya yang tampan dan menatap lurus Viona. Kemudian ia menarik napas dalam, mendekatkan microphone ke bibirnya.
"Viona, malam ini aku ingin kamu mendengarnya. Entah, sudah berapa lama aku menguburnya begitu dalam. Jauh di lubuk hatiku, cinta untukmu masih membara dan tidak pernah padam. Maafkan aku, atas apa yang telah kulakukan di masa lalu." Racka tertunduk dan beranjak berdiri.
"Betapa bodohnya diriku menyia-nyiakan wanita sesempurna dirimu. Vi, maukah kamu memberikanku kesempatan kedua? Merajut kembali jalinan asmara yang pernah terputus di tengah jalan? Menjadi tua bersamaku hingga maut memisahkan dan menjadi ibu dari anak-anak kita kelak."
Racka dengan tekad besar mengutarakan apapun yang ia rasakan saat itu. Tidak ada satupun yang terlewatkan, apapun hasilnya nanti ia tak peduli. Paling penting hatinya sudah merasa lega, angin segar yang bertiup kencang membuat batinnya bergemuruh.
Viona terdiam, tubuhnya serasa terpaku, manik mata indahnya hanya membulat sempurna. Lidahnya kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata apapun. Apakah ini artinya Racka kembali menyatakan cinta? Astaga, apakah ini bukan mimpi? Wanita itu mencubit lengannya untuk memastikan ini adalah kenyataan. Ayah Varo telah melamarnya di depan umum!
"Vi, maukah kamu memberikanku kesempatan kedua untuk memperbaiki semua? Mengulang kembali kisah kita di lembaran yang berbeda," tanya Racka sekali lagi, kali ini dengan tatapan sendu.
Namun, Viona bergeming. Tentu saja wanita itu tidak menyangka apa yang telah dilihatnya kala itu. Tanpa sadar wanita pemilik VRC Recording itu menitikan air mata. Bukan air mata lara melainkan bahagia. Ketika semuanya terasa pudar dan hampa. Racka kembali membawa cinta dan kasih untuknya.
"Vi, kamu tidak mau membuka kembali hatimu untukku?"Racka terus mengulang pertanyaan, kali ini suaranya terdengar lebih lirih.
Mampukah Viona kembali mengulang kisah mereka? Saat ini memang hanya ada mereka berdua, tetapi ketika kembali nanti ada seorang jagoan kecil menantikannya. Seperti amanat dalam surat mendiang Kiki, sanggupkah ia menjaga malaikat kecil itu dan berperan sebagai seorang ibu yang baik?
Lagi-lagi Racka membujuk Viona untuk segera menjawab. "Vi, jawablah. Jangan hanya diam membisu. Aku mohon apapun jawabanmu kuterima dengan ikhlas."
"Aku ...." Terlintas bayangan surat Kiki, lagi-lagi benda itu seakan mengingatkannya.
Apakah ini yang wanita itu maksud dengan mengembalikan sesuatu yang seharusnya menjadi milik Viona? Membawa kembali Racka ke dalam kehidupannya, bersama dengan Varo dan bagaimana nanti dengan keluarganya? Mommy Vere dan Daddy, apakah mereka akan merestui hubungan yang penuh luka itu?
"A—aku tidak tahu harus menjawab apa. Keluargaku belum—" Racka menurunkan microphonenya, ia menutup mulut Viona dengan telapak tangan.
"Aku bisa berada di sini dan berani mengatakan hal ini di depan semua orang karena aku telah mendapatkan restu dari ayahmu, atau lebih tepatnya ayah angkatmu," ujar Racka sembari mengecup punggung tangannya sendiri.
Sebuah ciuman tak langsung membuat riuh seluruh ruangan. Tampaknya kedua mempelai yang terpesona oleh pengakuan cinta Racka tidak ambil pusing, jika bukan mereka yang menjadi pusat perhatian. Bahkan, mereka menikmati aksi ayah Varo yang seperti drama.
"Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Vi. Coba rasakan detak jantungku." Racka menggiring tangan Viona dan meletakkannya tepat di dadanya bagian kiri.
"Kamu merasakannya 'kan? Jantungku berdebar setiap kali bersamamu, Vi. Di manapun, kapanpun akan selalu seperti ini," sambung Racka lagi.
Viona merasa bingung, tapi tepukan tangan untuk menerima Racka kembali membuat wanita itu mau tak mau harus menjawab lamaran lelaki yang sebenarnya masih mengisi relung hatinya.
"Jika memang kamu masih mencintaiku, Racka. Buktikan dengan kegigihanmu, bagaimana kamu meyakinkan hatiku untuk kembali terpaut padamu?"
Sorakan terdengar menggaung, Racka pun tersenyum lebar. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa tersenyum tanpa keterpaksaan. Ya, dunianya telah kembali, dewi cinta mengisi kembali relung hati yang kosong.
"Tentu, Viona. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi dan lagi padaku."
Tiba-tiba, Pak Lee datang menghampiri mereka sembari bertepuk tangan. Viona segera memalingkan wajah dan merasa sangat malu. Acara yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan Josselyn —anak Pak Lee— malah berakhir begini.
"Hmm, Pak Lee saya mohon maaf atas kekacauan ini," ucap Viona sembari tertunduk lesu.
Lelaki berpakaian parlente itu tersenyum lebar. "Untuk apa, Viona? Coba kamu lihat, para tamu undangan terhibur dengan aksi pujangga Pak Racka, hanya saja saya tidak menyangka bahwa kalian memiliki hubungan spesial dahulu."
Viona mengerling dan menarik kedua sudut bibirnya. Senyuman manis terbingkai, ah betapa cantiknya wanita itu. Ketika menangis, tertawa, bahkan cemberut pun tetap memikat hati.
"Pak, bolehkah saya pamit untuk keluar sebentar?" Racka meminta izin kepada si empunya acara.
Lelaki berusia hampir paruh baya itu mengangkat kedua alisnya. "Tentu saja, saya pun pernah merasakan masa muda. Khusus untuk kalian boleh meninggalkan acara lebih awal."
"Ayo ikut aku!" Racka menarik paksa pergelangan tangan Viona.
Beberapa tamu undangan yang menyaksikan malah tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka. Masa muda yang indah penuh gairah dan cinta. Dunia memang milik mereka berdua dan yang lain hanya indekos saja.
"Mau ke mana?Jangan membuatku tambah malu!" rengek Viona berusaha melepaskan cengkeraman Racka.
"Di sini, lihatlah ke sana!" Racka menunjuk arah pantai.
Saat ini posisi mereka berada tepat di pesisir pantai, air laut yang tampak berwarna pekat itu memantulkan cahaya rembulan. Berkilauan bak taburan berlian, aroma khas lautan menyeruak ke dalam indera penciuman. Racka tak ingin melewatkan kesempatan baik itu, ia segera menggenggam jemari Viona.
"Vi, di sini hanya ada kamu dan aku. Katakan dengan jelas apakah kamu mau memaafkanku? Maukah kamu memberiku kesempatan lagi?" Tatapan Racka begitu lekat, menghujam sanubari Viona.
Wanita itu mengalihkan pandangan ke arah samping kiri, di mana letak ombak-ombak yang berkejaran. Wajahnya yang ayu diterpa sang bayu, surai panjangnya tergerai begitu saja. Menambah kesan anggun dan feminimnya. Mungkin Viona sedang bertanya pada ombak di lautan, apakah ini pilihan yang tepat untuk kembali?
Beberapa detik berlalu, akhirnya Viona angkat bicara. "Ya, aku memaafkanmu, Racka."
"Apa kamu merasa kedinginan, Viona?" tanya Racka sembari mendekap tubuh sintal itu.
Viona bergeming, dia hanya tersenyum menikmati belaian sang bayu. Wanita itu memejam sesaat, ketika ia membuka kelopak matanya perlahan wajah Racka menjadi begitu dekat. Embusan napas lelaki itu terasa sangat hangat menyapu wajahnya.
Racka bergerak perlahan dan kian mendekatkan wajahnya, lelaki itu mengecup lembut bibir ranum Viona.Tatapan mereka terkunci, tangan kekarnya terus menghimpit mangsanya ke dalam pelukan. Seakan tak ingin melepaskan tubuh itu. Kini, bibir mereka saling terpaut, bermain dalam kelincahan lidah. Merengkuh manisnya sebuah penantian panjang. Deru napas mereka, beradu bersama deburan ombak dan naungan cahaya sang rembulan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro