Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9# Yang hilang dan yang pergi


"Kehilangan yang paling berat adalah kenyataan bahwa aku terlambat membahagiakan kalian."


***


"seperti itulah kira kira.." 

Halilintar menutup sebuah album foto yang sedari tadi bersimpuh di pahanya sambil menghela panjang. Jari-jarinya mengelus permukaan album yang sedikit berdebu, menatap sedih pada gambar sembilan sosok yang tertempel di covernya. 

"rasanya masih tidak menyangka.. masih terasa seperti mimpi. Bahkan sampai hari ini.. aku seakan masih merasakan keluarga yang utuh di rumah kami" Halilintar tersenyum pahit, kemudian mengangkat wajahnya dan menatap sosok di depannya. 

"aku sangat mencintai mereka, dan membuatku sangat hancur. Bahkan aku sempat berpikir untuk menyusul mereka.." 
















*** 
















Hari sudah malam, dan belum satupun pesan atau panggilan telepon yang masuk dari mama, papa maupun saudara-saudaranya yang lain. Halilintar juga sudah menelepon ponsel mereka satu per satu, namun tidak tersambung sama sekali. 

Hal ini membuat kecemasan Halilintar semakin menjadi jadi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan hal ini. Firasat buruk yang ia rasakan sejak pagi kian membuatnya panik, apalagi setelah ia menelepon nenek dan beliau mengatakan bahwa mama dan yang lainnya belum sampai disana. 

Rasanya mustahil. Penerbangan ke bekasi hanya sekitar satu jam, dan seharusnya pesawat mereka sudah berangkat sejak siang hari. Mungkin saja delay karena hujan, tapi hari sudah malam dan sepertinya tidak mungkin kalau mereka belum sampai hingga sekarang.

"hahahah.. Hali..Hali..tenang... tenang..." 

Berusaha menenangkan dirinya sendiri, Halilintar menarik nafas dalam dalam. 

"p-palingan mereka mampir..j-jalan jalan..hahaha..iya.. k-kita kan suka jalan jalan.." 

Halilintar mencengkram pinggiran sofanya, tertawa sendirian ditengah kesunyian malam itu. Ia berusaha untuk berpikir positif, seperti apa yang dikatakan seniornya. 

Namun tubuhnya gemetaran. Ia sama sekali tak bisa tenang , tubuhnya tak berhenti berkeringat dingin. 

"ma..pa..tolong jawab teleponku..sekali..aja.." 

Tangannya dengan gemetar menekan tombol call dan mendekatkan telepon itu ke telinganya. Namun tetap sama, tidak ada satupun dari panggilannya yang terangkat- atau lebih tepatnya..tidak ada nada dering yang menandakan ponsel mereka tidak aktif. 

Tapi ia tak kehilangan akal. Ia lantas mengutak atik pesan dan mengirimi mama, papa, serta saudara-saudaranya pesan yang begitu banyak. Tak lupa ia juga mengirim banyak pesan di grup keluarganya..saking banyaknya hingga menyerupai spam.

Tapi ia tak peduli. Ia percaya bahwa pesannya akan sampai pada mereka.. pasti..

Hingga ia mendapat pesan dari salah satu temannya yang menyuruhnya menyalakan televisi untuk melihat berita, ia nyaris pingsan di tempat.

'Pesawat Doeing 1554 dengan tujuan Bandara Sultan Bekasi, kota Bekasi dinyatakan lost contact sejak pukul 1:40 siang waktu setempat. Membawa satu kapten pilot, enam awak kabin, dan 76 penumpang' 

'sejauh ini belum ada info lebih lanjut mengenai keberadaan pesawat Doeing 1554, sehingga dinyatakan hilang pada perairan Jawa. Tim SAR akan melakukan pencarian lebih lanjut--"

Halilintar membelalak. Tubuhnya mendadak lemas dan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Ia jatuh begitu saja pada sofa di belakangnya. 

Nafasnya tak beraturan, ia meremat rambutnya sendiri kemudian berteriak. Begitu kencang hingga suaranya menggema di seluruh penjuru rumah yang ukurannya tak kecil itu. 

Ia menghela nafas berkali kali, berusaha untuk tidak menangis. Ia berusaha untuk menahan dirinya dari berpikiran buruk dan memikirkan hal yang positif. Pesawat dinyatakan hilang.. tapi mereka tidak mati..kan? 

Mereka baik baik saja, kan???

Tapi pada akhirnya ia hanya membohongi dirinya sendiri. Rasa cemas sudah menguasai dirinya. Ia kembali meraih ponselnya dan meneruskan usahanya yang tertunda, mengirimkan ratusan pesan kepada keluarganya itu. 

Halilintar mulai bertingkah seperti orang gila, tangisnya pecah saat ia mulai mengirimkan pesan pesan itu. Ia tidak peduli , dan terus berusaha menghubungi keluarganya itu. Walaupun mustahil kenyataannya.

Kedua tangannya yang gemetar hebat pun menjatuhkan ponselnya begitu saja. Ia berteriak dan menangis histeris, menyakiti dirinya sendiri dengan memukul mukul kepalanya menggunakan kepalan tangan. Ia terus melakukannya hingga suara dan tenaganya habis, hingga tidak sanggup berteriak lagi. 

Ia menangis sendirian , menguras seluruh airmatanya yang tidak bisa berhenti. Terisak dan sesunggukan, membiarkan sesak di dadanya menyeruak keluar di ruangan sepi itu. Hingga seluruh tenaganya habis dan membuatnya tak sadarkan diri ditengah tangisnya.



*** 

'Pesawat Doeing 1554 ditemukan di perairan Jawa, tepatnya perairan Jawa Timur setelah dinyatakan menghilang tiga hari yang lalu. Diduga pesawat kehilangan kendali disebabkan oleh hujan dan guntur yang membuat mesin pesawat tidak berfungsi dengan baik.." 

'seluruh penumpang , kapten, dan awak kapal dinyatakan meninggal dalam peristiwa ini. Jasad seluruh penumpang dan awak kabin ditemukan mengambang dengan barang barang yang tertinggal, sedangkan jasad sang pilot masih dalam pencarian.'

Halilintar tidak menyangka, bahwa keputusannya melepas delapan orang yang paling ia cintai di dunia ini ternyata melepas mereka untuk pergi jauh. Jauh..ke tempat yang tidak bisa dijangkaunya. Setidaknya untuk saat ini. 

Proses pemakaman terjadi tepat di depan matanya. Kedua netra ruby-nya menatap sayu pada gundukan tanah yang cukup besar. Karena sesuai permintaan Halilintar, delapan jasad keluarganya itu dikuburkan pada satu lubang besar. 

Setelah bangkai pesawat ditemukan, jasad dari seluruh korban turut ditemukan tidak jauh dari lokasi bangkai pesawat. Hanya saja, tidak semuanya ditemukan dalam keadaan utuh. 

Seluruh keluarga Halilintar ditemukan dalam keadaan utuh. Orang-orang bersyukur untuk itu. Namun Halilintar? Ia bersyukur untuk apa? 

Bahkan jika bisa memilih, ia ingin agar semua jasad keluarganya tidak usah ditemukan saja. Agar setidaknya ia tak perlu melihat mayat-mayat dari orang yang paling ia cintai. Atau mungkin, Halilintar akan lebih memilih untuk menyusul mereka. 

Menatap pahit pada delapan batu nisan yang berjejeran, Halilintar bersimpuh disana. Menarik nafasnya panjang-panjang dan berusaha untuk menangis. Tapi entah kenapa, ia tidak melakukan itu.

"Hali tau kok Hali anak tiri.. tapi kok, kalian pergi gak ngajak ngajak Hali? curang.." lirih Halilintar. 

Ia meraba permukaan tanah yang dingin, beberapa helai bunga pun ia ambil dan sebarkan disana. Rasanya ia sudah tak bisa menangis lagi. Rasa sedih dan hancur dalam dirinya seakan sudah tak terbendung , hingga tak bisa dijelaskan hanya dengan tangis.

"kalian tega..deh.. padahal..H-hali sayang kalian..kalian t-tinggalin Hali sendirian..tanpa siapa siapa.." suara Halilintar terbata bata, tangannya yang menyentuh tanah pun gemetaran. 

"kenapa..kalian pergi.."

Memejamkan mata ditengah airmata yang mulai menetes, Halilintar tertunduk dan perlahan membaringkan kepalanya pada gundukan tanah itu. Rasanya baru kemarin, Halilintar menghabiskan waktu bersama delapan orang itu. Lantas kenapa sekarang mereka harus pergi?

Bertahun tahun yang dijalaninya terasa begitu singkat. Kehidupannya dengan dua orang tua dan enam saudara tiri membawanya pada kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan. Ia menemukan rumahnya , dan kini ia kehilangannya begitu cepat.

Kepedihannya mulai menjadi jadi ketika tetesan air mulai jatuh dari langit, membasahi gundukan tanah itu dan juga tubuh Halilintar. 

Rasa sesak yang tertahan kini meluap. Mata merahnya akibat menangis menatap nanar pada langit yang menggelap. Ia meremat kuat kepalan tangannya hingga melukai telapak tangannya sendiri oleh kuku-kukunya. 

Geram..marah..sedih.. bercampur aduk dalam benaknya. 

'hujan...kau mengambil semuanya dariku' 











***














"jadi itu alasanmu membenci hujan?"

Alih alih menjawab, Halilintar hanya tersenyum pahit. Ia menatap kosong pada album foto di pangkuannya. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi.

Jeff , laki-laki yang sedari tadi ada disana, mendengarkan kisah Halilintar dari awal hingga akhir. Ia mengernyit keheranan, menyadari sesuatu. 

"lantas.. kenapa kamu tidak menangis?" tanyanya.

Halilintar mengangkat wajahnya, lalu tersenyum datar. 

"karena hari itu, adalah hari terakhir aku menangisi mereka. Aku sudah berjanji, serindu apapun aku dengan mereka..aku tidak akan menangis" 

Jawabannya membuat Jeff terdiam. Ia sempat menduga bahwa Halilintar sudah mati rasa akibat shock dari kehilangan seluruh anggota keluarganya. Namun setelah ia melihatnya lebih lanjut, ia menyadari bahwa ia salah.

Halilintar bukannya tidak ingin menangis. 

Tetapi ia tidak bisa menangis.

Karena yang pergi, biarlah pergi. Yang hilang , biarlah hilang. 

Tidak ada yang abadi di dunia ini, pada akhirnya kita semua akan pergi. Hanya menunggu waktu.. begitu kata Halilintar, sebagai penutup kisahnya di hari itu.

"Duka yang ku rasakan saat kehilangan orang yang ku cintai adalah harga yang harus di bayar untuk memiliki mereka dalam hidup ku. Kini aku sadar, sudah saatnya aku belajar untuk melepaskan, meski aku tau bahwa sumber kebahagiaanku benar-benar pergi seiring dengan jiwa yang menghilang."


"- demikianlah kisahku" 











To be continued.

See you on the last chapter ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro