6# Fotosintesis (2)
"Itu adalah pertengkaran pertama mereka setelah sekian tahun.. rasanya aneh sekali.."
"Tapi di sisi lain, aku tau bahwa kedua orang itu tidak akan mungkin bisa berlama lama larut dalam pertengkaran..karena bagaimanapun juga.."
"-mereka..tidak bisa hidup tanpa satu sama lain"
***
☀🌱
Kini bukan hanya Solar, tapi Thorn tau-tau saja melenggang masuk ke kamarnya dan berdiam disana. Sejak Thorn masuk ke kamar Solar, Gempa pun mendengar bagaimana keduanya sama sama meninggikan suara sebelum akhirnya Thorn keluar dari sana. Hal itu membuatnya bertanya tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Tujuan utama Gempa adalah kamar Solar, dimana kamar itu adalah saksi bisu dari pertengkaran kedua adiknya itu. Ia mengetuk pintu dan ketika ia mendapatkan izin untuk masuk, Gempa langsung melangkah masuk kedalam kamar. Tidak lupa ia menutup pintunya dan menyenderkan punggungnya pada daun pintu. Menatap lurus pada Solar yang terbaring putus asa di atas kasurnya.
"ada yang ingin kau jelaskan?" Gempa bertanya.
Menghela nafas berat, Solar perlahan merotasikan wajahnya agar bertemu dengan sang kakak. Wajahnya yang muram kini bertambah muram, kesedihan nampak jelas tergambar di wajahnya.
"tidakkah kau pikir sikapmu terhadap Thorn sedikit berlebihan? bagaimanapun juga, Thorn itu kakakmu..kau tidak boleh seenaknya memarahinya begitu" lanjut Gempa.
"aku tau kok..aku bersalah sama Thorn.." gumamnya.
Gempa mengangguk kecil "lalu.. apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"aku..harus minta maaf.."
Mendengarnya, Gempa tersenyum tipis. Ia menghampiri sang adik dan mengelus kepalanya. Senakal nakalnya mereka, mama dan papa selalu mengajari mereka untuk tidak bersikap egois dan jangan ragu berkata 'maaf' dan 'terima kasih' , terutama terhadap saudaranya sendiri.
"Thorn mengurung diri di kamarnya sejak tadi.." ucap Gempa.
Solar menghela kemudian mengangkat tubuhnya bangun "haruskah aku..menemuinya sekarang?" Ia menatap Gempa seakan meminta persetujuan.
"jangan tanya padaku.. tapi tanya hatimu" Gempa menunjuk pada dada Solar sembari tersenyum tipis, lalu ia pun melangkah keluar dari ruangan Solar diikuti oleh sang adik yang akhirnya memutuskan untuk keluar.
***
Di kamarnya, anak laki laki hijau itu tengah tengkurap di kasurnya dengan wajah terbenam pada bantal di depannya. Begitu larut ia dalam pikirannya hingga tak menyadari pintu kamarnya yang terbuka dan menampilkan sosok Solar yang masuk.
Selama ini ia tidak pernah memikirkan hal lain selain melakukan kewajibannya untuk bersekolah, dan bermain. Namun kemudian ia kembali dibuat sedih oleh fakta bahwa mungkin ia adalah satu satunya diantara mereka yang tidak memiliki tujuan yang jelas.
Halilintar diterima di universitas impiannya dengan beasiswa penuh, Taufan dengan mimpinya sebagai seorang pemain biola, Gempa dengan kedewasaannya, Blaze dan Ice.. kemudian Solar yang mungkin akan menjadi ahli fisika terkenal..sedangkan Thorn.. apa yang akan ia lakukan?
Thorn mengusap kasar matanya yang mulai basah, kemudian berbalik dan terkejut melihat Solar yang tau-tau ada disana. Sang adik hanya berdiri disana menatap Thorn dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Thorn.."
Solar berjalan mendekati Thorn namun tak disangka Thorn malah langsung bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan cepat melewati tubuh Solar.
Melihat Thorn yang melewatinya begitu saja, Solar tak kuasa menahan tangisnya. Ia lantas berbalik dan langsung memeluk sang kakak dari belakang sebelum ia sempat meraih gagang pintu.
Jika ini adalah sebuah scene drama, maka akan ada sebuah ost ballad super sedih yany bermain di belakang. Disertai dengan efek efek dramatis yang membuat scene itu semakin menyedihkan.
Lengan Solar yang memeluk Thorn gemetaran, ia mulai menangis seunggukan. Terutama Solar. Ia merasa begitu bersalah karena perlakuannya pada sang kakak yang sungguh jahat. Tak seharusnya ia membentak, atau bahkan merendahkan sang kakak seperti tadi.
"maaf..aku minta maaf, Thorn..hiks- aku..aku harusnya..gak ngomong gitu hiks- aku salah..maafin aku.." isak Solar.
Tertegun menatap tembok yang putih, Thorn tanpa sadar mengeluarkan airmatanya mendengar suara tangisan Solar. Jauh di lubuk hatinya, ia tau bahwa itu bukan sepenuhnya salah Solar. Karena apa yang dikatakan Solar itu benar adanya.
"kamu kakakku yang paling aku sayang- hiks.. maaf..kalau beberapa hari ini aku cuekin kamu..maaf kalau aku marah sama kamu.." lirih Solar sembari mengusap kasar airmatanya "tolong jangan diam..katakan sesuatu, Thorn..."
"apa yang harus aku katakan..Sol.. sudah jelas kalau aku ini kakak yang gagal.. aku nggak pantas dipanggil 'kakak' olehmu.." Thorn berkata lemah "lagipula benar apa yang kau katakan, aku nggak dewasa..hanya bisa bergantung pada orang lain"
Netra Solar melebar mendengarnya.
"Thorn! nggak begitu--"
"boleh tinggalkan aku sendiri? aku sedang nggak ingin bicara dengan siapa siapa sekarang.." menarik paksa lengan Solar yang masih melingkar di pinggangnya, Thorn pun keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Solar yang masih menangis itu sendirian.
***
"gak biasa biasanya Thorn sama Solar berantem" Halilintar yang tengah duduk berdua dengan Gempa di halaman belakang tau-tau berkomentar.
Dua jompo..ehm- maksudnya kakak tertua ini memang suka duduk duduk di teras rumah pada sore hari sepulang sekolah. Ditemani dengan segelas teh dan pisang goreng buatan mama, menyaksikan senja yang seolah memeluk mereka dengan hangatnya.
"diantara kita, Solar sama Thorn hampir gak pernah keliatan berantem. Biasanya mereka lengket banget kayak perangko" sambung Gempa sembari menyeruput teh nya.
"udah berapa hari ya.. 3..4..5 hari. Mereka nggak tegur sapa sama sekali. Perlombaan Solar juga makin deket dan dia semakin mengurung diri di kamarnya. Disamperin juga gak ada gunanya" hela Halilintar.
"bukannya nyumpahin, tapi kalo dia ikut lomba dengan emosinya yang gak stabil begini.. rasanya nggak akan berjalan lancar. Aku berharap Solar bisa baikan sama Thorn sebelum lomba dimulai.."
Gempa mengangguk kecil, kemudian memejamkan matanya dan menikmati angin sepoi sepoi yang menerpa wajahnya.
"kita lihat aja.. kamu pasti tau mereka itu gimana. They really can't live without each other"
***
Hari perlombaan pun tiba. Pagi harinya, Solar benar benar sibuk menyiapkan segala sesuatu yang harus ia bawa. Lomba akan dimulai pukul 10 pagi dan ia sudah bersiap sejak pukul 7 pagi karena harus memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal.
Semuanya sibuk membuat sarapan dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Termasuk mama yang tengah mencincang bawang pun terlihat sumringah karena bangga melihat anak terkecilnya yang akan terlibat dalam salah satu lomba terbesar tingkat internasional.
"Solar! ayo sarapan dulu!" seru mama.
"iya ma! sebentar!"
Memeriksa berkali kali benda yang ada di tas nya, Solar memastikan bahwa tidak ada satu ramuan pun yang tertinggal untuk menyempurnakan proyeknya di hadapan dunia. Dadanya berdebar luar biasa dan menjadikannya panik sehingga terus terusan memeriksa barang bawaannya.
"ah! sekarang tinggal cairan sampel! umm.. kalo nggak salah.." Solar berkelana kesana kemari mencari botol kecil yang kemarin ia tinggalkan entah dimana.
Matanya berbinar saat melihat botol kecil berisi cairan ungu itu berada di sebuah meja di sebelah sofa yang diduduki Thorn. Ia bergegas menuju kesana dan berseru.
"Thorn! tolong ambil--"
"..kan.."
Kata-kata dan langkah Solar terhenti begitu Thorn tau-tau bangkit dan pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tak melirik Solar sedikitpun, ia berlalu seolah olah Solar tidak ada disana.
Reaksi Thorn yang demikian membuat Solar langsung tertunduk sedih. Sedangkan saudara-saudara yang lain beserta kedua orangtuanya pun tercengang dengan sikap Thorn barusan.
Menyeka matanya yang berkaca kaca, Solar menyambar botol ramuan itu kemudian langsung berpamitan dan beranjak pergi. Ia bahkan tidak menghiraukan mama yang memanggil manggil namanya.
Halilintar yang melihatnya pun geleng-geleng kepala. Kian hari Thorn terlihat semakin menjauhi adiknya itu, bahkan enggan untuk berbicara walaupun Solar sebenarnya kerap kali berusaha mendekatinya. Ini sudah kelewatan, ia tak bisa membiarkannya lebih jauh.
Mengoper sudip yang dipegangnya pada Gempa, Halilintar menyusul langkah Thorn yang baru saja duduk di teras belakang.
Halilintar menghela nafas, kemudian duduk di kursi sebelah Thorn. Thorn yang sadar langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.
"Thorn, kita perlu bicara"
"Hm" Thorn hanya menggumam singkat.
"Apa kamu nggak pikir kalau marahmu udah terlalu berlebihan? Solar udah minta maaf sama kamu, dia udah gak marah sama kamu..lantas kenapa kamu masih marah sama dia?" Halilintar bertanya panjang lebar.
Thorn berdecih "lihatlah..dari dulu yang kalian bela hanya Solar..solar dan Solar.. adik kesayangan memang beda sih" cibirnya.
"Thorn! jaga bicaramu!" ujar Halilintar dengan suara meninggi "kami menyayangi kalian secara adil! Nggak ada adik kesayangan atau apapun!"
"Lihat! Kamu memarahiku sekarang! Apa ini yang disebut 'adil' ?!" Thorn tau-tau ikut meninggikan suaranya dan membuat Halilintar terkejut karenanya.
"Aku tau Solar memang adik kebanggan kalian! Dia dewasa, berprestasi, tampan... dibandingkan denganku, aku nggak bisa apa apa!"
"T-tunggu..Thorn..kamu bicara apa sih??"
"Aku tau kok!! Aku memang gak dewasa!! Aku nggak berprestasi!! Yang aku bisa lakukan cuma menyusahkan kalian!"
"Thorn, tenang dulu.."
Tangan Halilintar berusaha meraih tangan Thorn yang detik itu juga langsung ditepis olehnya.
"Thorn juga gak milih.. dilahirin kayak gini!"
"Thorn cukup!"
Halilintar bangkit dari duduknya dan langsung menarik Thorn berdiri. Dan tentu saja Thorn memberontak, namun kekuatannya bukan apa apa jika dibandingkan dengan Halilintar.
"Gak ada yang bilang..kalau kami kecewa punya Thorn yang seperti ini!" hardik Halilintar yang membuat Thorn langsung terdiam.
"Kami semua sayang sama Thorn! Dan kami bersyukur punya Thorn yang apa adanya! Thorn yang kekanakan, Thorn yang manja dan cengeng, Thorn yang suka bergantung pada kami.."
"Tapi di sisi lain Thorn yang baik hati dan peduli dengan kami lebih dari siapapun.." Halilintar berucap lembut, kemudian mengusap airmata Thorn yang mulai menetes di pipinya dan menarik sang adik kedalam pelukannya.
"Kami suka Thorn yang apa adanya, Thorn yang selalu jadi diri sendiri.."
"Tapi.. kami juga gak mau Thorn jadi orang yang egois.. kami tau..kalau Thorn juga sayang banget sama Solar.."
Thorn terisak, kemudian ia mengangguk kecil "Thorn.. sayang banget sama Solar.."
"Kalau begitu.. Thorn tau kan harus ngapain?"
Mengangguk semangat, Thorn pun menghapus airmatanya dan tersenyum lebar.
***
Di ruang lomba, Solar sudah bersiap bersama sang guru dan bapak menteri yang pertama menemuinya.
Sebenarnya menteri itu ikut andil dalam pelaksanaan acara, ia menghampiri Solar hanya untuk menjelaskan beberapa hal sekaligus memberi salam.
Solar gugup luar biasa. Sedari tadi ia tak berhenti berkeringat dan gemetaran. Walaupun guru di sampingnya sudah menenangkannya, tetap saja ia merasa gugup karena ia harus menunjukan hasil eksperimennya di hadapan lautan manusia ini. Apalagi peserta yang sudah lebih dulu maju semuanya hebat-hebat.
"Solar, kamu udah melakukan yang terbaik. Hm? Apapun hasilnya, yang penting itu adalah usaha kamu. Menang atau kalah itu urusan belakangan. Berikan saja performa terbaikmu"
Menarik nafas sedalam dalamnya, Solar pun mengangguk. Rasa gugupnya mulai menghilang, namun rasa gelisah yang berkecamuk dalam benaknya tak kunjung sirna.
Ia khawatir, ya. Ia khawatir sekaligus kecewa dengan sikap Thorn yang seakan tak menganggap dirinya lagi. Ia dan Thorn sudah bersama sama lebih lama dari yang ia kira, sehingga keduanya tanpa sadar memiliki relasi yang jauh lebih erat daripada siapapun.
Namun ia tau, kegelisahannya tidak boleh membuatnya kehilangan performanya. Bagaimanapun juga, Solar cukup pandai dalam mengontrol perasaan dan emosinya sendiri.
Tinggal tiga nomor lagi adalah waktunya Solar untuk maju dan mempersembahkan hasil proyeknya. Rasa gugupnya pun bertambah seiring waktu.
Perhatiannya langsung beralih begitu melihat enam pemuda masuk ke dalam ruangan aula. Dan entah bagaimana, kedatangan mereka dihadiahi sorotan dan tatapan kagum dari orang-orang disana. Baru ia ingat kalau enam saudaranya yang lain sebenarnya cukup populer, terutama Halilintar. Dapat ia dengar suara ricuh para wanita semakin ramai begitu Halilintar berjalan ke kursi penonton.
Dari kejauhan itu, Solar bertemu pandang dengan Thorn. Ia terkejut melihat Thorn yang tau-tau tersenyum. Melambaikan tangannya dengan riang, Thorn seakan tengah memberikan semangat pada Solar.
Solar dibuat kebingungan karenanya, namun debaran kencang di hatinya tidak bisa berbohong. Ia bahagia melihat Thorn yang telah kembali menjadi Thorn yang ia kenal , membuat rasa takut dan gugup yang ia alami menghilang sepenuhnya.
Ketika namanya dipanggil, Solar dengan percaya diri maju ke atas panggung mempersembahkan hasil proyeknya. Menjelaskan dan mempraktekan dengan sangat lancar hingga membuat para juri terkagum kagum. Gaya bicara Solar yang tegas dan profesional membuat siapapun yang mendengarnya terpukau dengan kepintaran anak bermarga Light itu.
Dari kursi penonton, enam saudara yang tengah menonton pun kagum melihat adik terkecilnya mempersembahkan sesuatu yang begitu luar biasa. Mereka tau bahwa Solar itu jenius, selain itu ia juga tegas dan percaya diri sehingga bisa dengan mudah memikat orang-orang di sekelilingnya.
Usai presentasinya berakhir, seluruh penonton bahkan juri memberikannya standing applause. Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan itu saat Solar membungkukan tubuhnya sebagai ucapan terima kasih. Lalu saat ia bertemu pandang dengan enam saudaranya, ia tersenyum bahagia sambil menunjukan dua jarinya.
***
"cheers!!"
"yay!!"
"untuk suksesnya lomba.."
"dan kemenangan Solar!!"
Sembilan orang yang berkumpul di meja makan masing-masing mengangkat gelas dan melakukan toast. Mereka tengah menikmati makan malam spesial yang dibuat mama khusus untuk merayakan suksesnya acara lomba yang diikuti Solar dan dia yang keluar sebagai juara pertama, perwakilan negara.
Solar kini tengah duduk di barisan tengah. Kata mama, Solar adalah MVP nya hari ini dan ia harus duduk di pusat perhatian. Solar sih, seneng seneng aja.. selain karena kebahagiaannya yang meluap luap lantaran menang lomba impiannya, ia juga senang berada di pusat perhatian. Namanya juga Solar..si narsis.
"mama dan papa, benar benar bangga dengan kamu, Solar. Kamu udah bekerja keras" mama yang duduk di seberang Solar dengan lembut membersihkan sisa saus daging yang membekas di bibir Solar. Solar terkekeh karenanya.
"Solar mau hadiah apa?? biar papa beliin nanti" papa yang tak kalah senangnya pun buka suara.
Solar tertawa kecil. Jarang jarang ia melihat sang ayah begitu bersemangat, namun justru hal sederhana seperti inilah yang membuatnya paling bahagia.
"Solar..nggak mau apa apa kok. Karena Solar udah punya hadiah yang terbaik di dunia" ujar Solar, menatap saudara dan orang tuanya satu per satu.
"keluarga" senyumnya.
"...-dan saudara yang sayang banget sama Solar.."
Melirik Thorn yang ada di sampingnya, keduanya pun tertawa diikuti oleh seluruh anggota keluarganya yang lain.
Thorn langsung merentangkan tangannya dan memeluk sang adik. Masing-masing tersenyum dalam dekapan erat, kemudian Thorn pun berbisik.
"ternyata..memang aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Solar" senyumnya.
"sekeras apapun tumbuhan berusaha untuk hidup, tapi tanpa matahari..ia tak bisa apa apa. Sama sepertiku. Kamu adalah matahari, dan aku butuh kamu"
"aku pun butuh kamu, Thorn.." balas Solar "apa gunanya matahari, jika tak ada yang dapat disinari. Manusia dan binatang membutuhkan cahaya matahari, namun yang paling membutuhkannya adalah tumbuhan. Bagaimanapun juga.. kita itu, saling melengkapi kan?"
"dan akan selalu begitu"
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro