Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4# Api dan Air

***

Jika api itu membara, maka air itu tenang. 

Api dan air adalah dua elemen yang bertolak belakang. Di sisi lain, Api dan Air juga saling membutuhkan. Karena sebesar apapun api itu , air adalah salah satu elemen terutama yang dapat menenangkan kobaran api yang membara. Sebagaimana api dan air begitu berbeda, mereka saling melengkapi dan menutupi kekurangan satu sama lain. 

Begitu pula dengan Blaze Adhnan dan Ice Frost. 

Kedua anak yang nyaris kembar ini memiliki kehidupan yang tercermin dari nama mereka masing-masing. Blaze begitu aktif, memiliki semangat yang membara seperti nyala api, dan selalu penuh dengan energi. Sedangkan Ice cenderung tenang , tidak suka banyak bergerak, dan yang terutama hobinya adalah terlelap alias tidur. 

Menceritakan kedua anak yang saling bertolak belakang ini mungkin tidak akan lama. Karena mereka berdua ibaratkan buah yang jatuh bersamaan dari langit. Kehadiran keduanya seperti takdir. 

Selain mereka lahir di tanggal yang sama, usut punya usut mereka juga lahir di rumah sakit yang sama. Rumor juga mengatakan bahwa kedua orang tua mereka adalah sepasang kakak adik yang dengan tega membuang dua bayi yang baru mereka lahirkan atas dasar hamil di luar nikah,  di depan panti asuhan yang sama yang kemudian mereka pun diadopsi oleh orang tua yang sama dan kini mereka tumbuh bersama di dalam rumah yang sama. 

Mungkin karena itulah, penampilan keduanya juga nyaris menyerupai anak kembar. Mulai dari postur tubuh, tinggi badan, hingga warna rambut semuanya sama. Hanya saja, warna yang menyelimuti keduanya berbeda. Jika Blaze suka merah, maka Ice suka biru. Jika Blaze suka pakai tank top dan celana pendek karena hawa panas yang menyelimutinya, maka Ice suka pakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya yang sedingin es.

Namun walaupun berbeda, Blaze dan Ice sangat jarang bertengkar atau bahkan hampir tidak pernah. Entah kenapa Ice tidak pernah bisa marah walaupun Blaze bertingkah nakal. Ice itu bisa dibilang orang yang paling dewasa diantara mereka setelah Gempa. Menghadapi permasalahan dengan tenang dan jangan terbawa emosi adalah motonya. Tapi disamping itu, Blaze bisa jadi sosok yang kalem dan jinak saat bersama dengan Ice. Mungkin karena sosok Ice yang begitu menenangkan hingga membuat Blaze tertegun.

***

Blaze pernah bilang , kalau ia bisa terlahir kembali. Ia ingin menjadi Ice.

"Ice itu keren. Selain sifat tukang tidurnya, dia itu dewasa. Rasanya kayak ngeliat kak Gempa, tapi beda. Ice itu sosok kakak yang mungkin gak akan ditemuin sama semua orang"

Blaze juga pernah mengatakan itu pada Ice, ketika mereka duduk bersama di teras waktu sore. Dua saudara ini memang paling sering menghabiskan waktu berdua. Entah nongkrong , cari makan , atau sekedar ngobrol santai di halaman belakang. Hebatnya, Ice tidak pernah mengantuk saat mengobrol dengan Blaze. Mungkin karena sifat Blaze yang bersemangat membuat Ice juga betah dengan humor-humor yang dibuat adiknya itu.

Ice selalu menyangkal saat Blaze berkata hal hal baik tentangnya. Karena ia sendiri tak pernah merasa demikian, ia hanya melakukan tugasnya sebagai seorang anak dan kakak. Karena itu ia tak pernah tau seberapa besar Blaze mengagumi sosok kakaknya itu.

Hari ini, Blaze dan Ice pulang lebih awal dari yang lainnya. Dikarenakan Halilintar yang masih kuliah, Gempa dan Taufan sibuk mengurusi Ujian Nasional, sedangkan Solar dan Thorn juga ada sedikit keperluan dengan kegiatan club mereka.

Sepanjang perjalanan diisi dengan Blaze yang menyanyi riang , diikuti oleh Ice yang hanya senyum senyum melihat tingkah sang adik. Laki-laki itu bersiul ringan saat menyusuri jalanan yang tidak ramai hari itu, mengiramakan lagu kebangsaan kita semua. Lagu tema doraemon.

🎶Aku ingin begini
Aku ingin begitu~
Ingin ini ingin itu banyak sekali~

Semua semua semuaa dapat dikabulkan
Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib~~

Aku ingin terbang bebas keliling angkasa! Yaaay baling baling bambuu!

La la la~ aku sayang sekaliii
Kakakku Ice Frost! 🎶

"Pfft-- kenapa liriknya jadi berubah??" Ice terkekeh mendengar nyanyian Blaze yang tau-tau menyerempet kepadanya. Blaze didepannya hanya tertawa, ia lalu menyamakan langkahnya dengan sang kakak agar mereka berjalan berdampingan.

"Kan Ice kakak yang paling aku sayang!" ungkap Blaze.

Ice manggut manggut "terus yang lainnya?"

"Yang lainnya sayang juga! Tapi Ice beda! Ice itu spesial!"

Usai mengatakan itu, Blaze langsung menggandeng tangan Ice dan kini dua kakak beradik itu pun berjalan dengan tangan mengayun-ayun. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka. Bukan dalam hal buruk, namun sebagai saudara melakukan sedikit skinship tidak masalah.

Ketika mereka berjalan berbelok, Blaze melihat sebuah kedai es krim kecil yang cukup ramai. Matanya langsung berbinar, ia menarik narik tangan Ice dan menunjuk kedai itu dengan gembira. 

"Ice! makan es krim yuk!" ajaknya. 

"eh? tadi kamu bilang mau langsung pulang terus masak buat Gempa dan yang lainnya?"

Blaze menggeleng "tapi Gempa dan yang lain pulangnya masih lama! Aku mau makan es krim, Ice-- ya ya yaa??"

Ice menghela panjang, kemudian tersenyum dan mengacak rambut Blaze dengan tangan yang satunya "iya iya deh-- gimana aku mau bilang nggak kalau kamu merengek begitu.." kekehnya.

"yeey~ Ice memang terbaik!" 

"Tapi jangan bilang bilang Gempa ya- nanti aku dibunuh" 

Blaze mengangguk semangat sambil mengacungkan jempolnya "siap bos!" 

Dan keduanya pun tidak jadi berbelok ke gang rumahnya melainkan pergi ke kedai es krim itu. 

Usai memilih milih dan membeli es krim, Blaze dan Ice pun duduk di salah satu meja kecil yang ada di kedai itu. Itu juga merupakan salah satu kebiasaan yang diajarkan pada mereka sejak kecil, bahwa jika makan atau minum sesuatu itu nggak boleh sambil berdiri apalagi jalan, kecuali terdesak. 

Blaze membeli es krim stoberi kesukaannya, dan Ice membeli es krim vanilla. Meski keduanya cenderung memiliki selera yang mirip, namun dalam urusan pencuci mulut Blaze cenderung menyukai sesuatu yang agak masam, sedangkan Ice menyukai sesuatu yang sangat manis. 

Saat keduanya tengah asik menikmati pencuci mulut masing-masing , mata Blaze pun berkeliling di sekitaran kedai sembari menjilat si manis yang dingin itu. Kemudian netra miliknya terpaku pada sebuah meja yang berada tak jauh dari mereka. 

Sepasang ibu dan ayah serta seorang anak laki laki yang masih kecil tengah duduk bersama menikmati semangkuk sundae besar. 

Mereka nampak gembira, bercanda ria sambil menyantap pencuci mulut itu. Sesekali sang ayah dan sang ibu akan menyuapi dan bermain dengan anak kecil itu. Ketiganya tertawa riang, terlihat sangat bahagia sebagai satu keluarga yang utuh.

Pemandangan itu membuat Blaze tertegun selama beberapa saat lamanya. Larut dalam lamunannya hingga tak sadar bahwa es krim di tangannya meleleh dan menetes pada meja didepannya. Ice yang sadar akan hal itu pun turut menoleh ke arah adiknya itu menatap, kemudian menghela kasar. 

"jangan dilihat" Ice tau-tau memegang tangan Blaze dan berusaha mengalihkan perhatiannya. 

"Ice.." 

Menatapi es krim ditangannya yang mencair, wajah Blaze mulai terlihat murung. 

"menurutmu.. apa orang tua kandung kita masih hidup?" tanyanya. 

Ice mengangkat bahu "entahlah.." 

"Apa kamu nggak kangen..sama mereka?"

Satu pertanyaan yang dilancarkan Blaze itu membuat Ice menatapnya heran.

"Kamu kenapa tiba tiba nanya gitu sih?" bingungnya.

Blaze menghela nafas, es krim ditangannya pun ia habiskan dengan cepat kemudian membersihkan sisa sisa tetesan es krim itu menggunakan tissue. Ice membelalak melihat mata Blaze yang mulai berkaca kaca.

"Menurutmu..mereka kangen kita nggak ya.." suara Blaze terbata bata, berusaha menahan tangisnya.

"Blaze, hentikan.."

"W-walaupun mereka buang kita..tapi..tapi pasti mereka masih sayang sama kita kan, Ice.."

"Cukup, Blaze! Jangan bicarakan orang yang bahkan tak ingin mengenal kita!" Ice sedikit meninggikan suaranya.

"Kamu ngomong apa sih, Ice?!! Mana ada orangtua yang ga mengenal anaknya sendiri?!!" balas Blaze dengan suara meninggi. Ia tak suka dengan perkataan Ice barusan.

"Kita udah punya keluarga baru- keluarga yang sayang sama kita! Dan kamu masih memikirkan orang yang membuang kita?! Kamu ini kenapa, Blaze?!"

"Kamu yang kenapa, Ice! Kamu yang kenapa!!" Blaze mendorong kasar tubuh Ice dengan telunjuknya. Wajahnya jelas terlihat marah dan kecewa.

"Kamu nggak ada rasa empati sama sekali?!! Ice yang aku kenal nggak pernah bicara begitu! Kamu selalu bilang kalau surga ada di telapak kaki ibu, kan??"

"Tapi bukan ibu yang seperti itu!!" Ice membalas sengit.

"Aku nggak ngerti... bagaimanapun juga- orang tua kandung itu yang melahirkan kita kan?! Gak ada yang lebih besar dari cinta orang tua, kamu pernah bilang begitu!!"

Ice menggertakan giginya, tanpa sadar ia cengkram kerah seragam Blaze dan menariknya mendekat secara paksa.

"Orang bisa melahirkan..bahkan tanpa cinta.. Kita adalah anak yang tidak diinginkan.. Mereka bahkan tak ingin melahirkan kita, kau tau?!"

Blaze yang dibentak keras oleh Ice pun mulai menangis. Isak tangis sang adik seketika menyadarkan Ice yang mulai hilang kendali. Ia langsung melepas cengkramannya pada seragam Blaze.

"M-maaf Blaze..aku.."

"Ice jahat!"

Menangis keras, Blaze langsung menyambar tas nya kemudian berlari pergi dari sana. Semua orang memperhatikannya, kebingungan dengan apa yang barusan terjadi. Ice yang tertinggal disana pun hanya merengut kesal dan tanpa membuang waktu ia pun mengambil tas nya dan berlari menyusul Blaze. 

Blaze berlari tak tentu arah, menangis seperti anak kecil. Benaknya dipenuhi rasa marah dan kecewa. Kecewa dengan orang tuanya, kecewa dengan saudaranya, dan kecewa dengan dirinya sendiri. 

Sepanjang perjalanan ia hanya bisa menangis, pandangannya buram oleh airmata yang menggenang namun itu tak menghentikan kakinya untuk terus melangkah. Hingga ia berhenti pada sebuah persimpangan lampu merah, kakinya menyerah dan ia terpaksa berhenti setelah berlari cukup jauh. 

Berusaha mengatur nafasnya, Blaze mengusap kasar airmatanya. Netra nya melebar saat ia melihat sesosok wanita yang tengah berdiri di seberang jalan, wanita muda itu berdiri disana dengan pakaian sederhana dan sebuah topi. Namun ia tetap mengenali sosok itu. 

Ibu..

Ibu?!

Netra Blaze membelalak. Apa yang barusan ia lihat membuat ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Lampu masih hijau dan kendaraan masih lalu lalang di depannya, namun ia benar benar tidak ingin kehilangan sosok itu. Tanpa sadar, ia melangkah melewati garis pembatas dan berlari melintasi jalanan didepannya.

Tiinn Tiin!

Saking bersemangatnya Blaze hingga ia lupa bahwa lampu masih hijau dan saat ia mendengar bunyi klakson. Ia tak dapat berpikir lebih jauh saat melihat sebuah truk dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kiri. 

"BLAZE!!!"

Hanya suara teriakan sang kakak yang menggema di telinganya saat itu. Tak sampai sepuluh detik, truk itu berhasil melaju di sana dan melindas tas sekolah Blaze yang terlepas. Ya, sang kakak yang mengejarnya itu berhasil menarik tangan adiknya sebelum truk itu menghantam tubuhnya. Dan kini keduanya terhempas di sisi jalan dimana banyak orang berkumpul. 

Dipenuhi rasa shock, Blaze hanya mampu menatap lurus tanpa berkata apa apa. Seluruh tubuhnya gemetaran, wajahnya terlihat pucat. Bahkan saat Ice mengguncang tubuhnya dan menanyakan apakah ia baik baik saja, Blaze hanya menatap kosong sang kakak. 

"KAMU UDAH GILA--HAH?!!" Ice benar benar berteriak pada Blaze di hadapan orang-orang itu. Persetan dengan image nya yang tenang dan cool. Ia sudah benar benar kehilangan kesabarannya. 

"KALAU KAMU SEGITUNYA TIDAK MENYUKAIKU--SETIDAKNYA CINTAILAH DIRIMU SENDIRI!! KAU MELAKUKAN ITU UNTUK APA??!!" 

Ice berteriak marah. Airmata mengalir dari pelupuk matanya dan membasahi pipinya. Melihat saudaranya yang mencoba melakukan hal yang berbahaya, ia begitu khawatir hingga ia tak dapat menahan tangisnya.

Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Blaze pun menengok ke seberang jalan dan menyadari bahwa wanita yang tadi ia lihat sudah tidak ada. Tangisnya pecah, ia tertunduk dan bersimpuh disana. Sedangkan Ice, ia menarik sang adik kedalam pelukannya. Membiarkan ia menangis disitu ditemani senja dan orang-orang yang mulai berlalu dari sana.





***






Gempa kini tengah mondar mandir di depan pintu kamar Blaze, sesekali memanggilnya dan mengetuk pintu kamarnya berharap bahwa Blaze akan membuka pintu yang dikunci dari dalam itu. Namun Blaze tetap tak menjawabnya, padahal sudah hampir satu jam berlalu.

Saat keduanya pulang ke rumah, saudara-saudaranya ternyata telah lebih dulu sampai. Alangkah terkejutnya mereka melihat wajah kedua saudara yang lesu itu, terutama Blaze. Tidak seperti biasanya, Blaze terlihat pucat dan kosong. Begitu tiba, Ia langsung berlari mengunci diri di kamarnya tanpa mengatakan apa pun.

Saudaranya yang lain tentu saja cemas melihat sikap Blaze yang tidak biasa, terutama Gempa. Mereka langsung menanyai Ice dan Ice akhirnya menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir secara detail. Ice bercerita dengan nada yang gemetar, bahkan orang sedingin Ice juga bisa merasakan shock sebesar ini. 

Setelah mengetahui apa yang terjadi, Halilintar memutuskan untuk mengantarkan Ice ke kamarnya untuk beristirahat sekaligus menenangkan diri, sedangkan Gempa naik menuju kamar Blaze untuk mencari kebenarannya. 

Namun bukan kebenaran yang didapat, karena Blaze sama sekali tidak merespon panggilan dan ketukannya. Padahal sudah hampir satu jam. Ia berharap setidaknya Blaze akan berinisiatif untuk mandi atau makan malam karena jam makan malam sudah tiba. Biasanya anak satu ini tak pernah melewatkan waktu makan malam karena dirinya yang selalu lapar setiap waktu.

"Gem? gimana?" 

Halilintar yang baru naik ke lantai dua tempat kamar Blaze berada pun bertanya. 

"gimana apanya.. daritadi dia nggak nyahut sama sekali, padahal udah kuketuk dan kupanggil berulang ulang.." Gempa mendesah kasar. 

"j-jangan jangan dia pingsan didalem kamar, Gem!" 

Netra Gempa membelalak "jangan nakutin dih kak!" 

"gimana kalo kita dobrak aja??" usul Halilintar.

"hah?? nanti siapa yang mau benerin pintu kalo sampe hancur??" 

"siapa lagi-- ya kamu lah" ucap Halilintar santai. 

Gempa menggeram sembari mengangkat tangannya yang terkepal, kemudian menunjukannya di depan sang kakak. 

Nyali Halilintar langsung ciut, ia auto menggeleng kuat sambil tersengih "ngga ngga! aku bercanda! hehe maaf-" 

"kita dobrak pelan pelan aja" ujar Gempa akhirnya. Karena Ia sendiri sudah putus asa karena menunggu harapan palsu. 

"oke siap! satu dua--" 

Gempa dan Halilintar bersiap mengambil ancang ancang untuk menendang pintu itu saat tiba-tiba pintu terbuka dengan keras dan menubruk wajah sang kakak. Blaze dari dalam ruangan muncul di depan pintu dengan wajah muram, namun lekas berganti menjadi eskpresi bingung melihat dua kakaknya ambruk di depan pintu kamar dengan wajah memerah.

"eh? .. kak Hali.. kak Gempa?" Blaze bertanya bingung "kalian ngapain.."

"eh oh! B-blaze!" 

Gempa dan Halilintar sama-sama mengangkat tubuhnya sembari mengelus hidung mereka yang terhantam cukup kuat oleh pintu. 

"kalian..nggak papa?" Blaze menatap khawatir pada dua sosok itu. Pasalnya, hidung keduanya yang tadinya mancung sekarang nampak sedikit melesek kedalam dan membuat ketampanannya agak memudar. 

Keduanya meringis, namun cepat-cepat menggeleng sambil mengacungkan jempolnya "n-nggak papa!" 

Blaze membelalak begitu melihat darah segar mengalir dari hidung kedua kakaknya itu. Ia tak menyangka bahwa ia membuka pintu terlalu keras karena terbawa emosi, namun ia juga tak mengira bahwa kedua kakaknya itu berdiri di depan pintu kamarnya. 

"a-astaga! kakak mimisan! ikut aku kak!" 

Dengan panik, Blaze pun menarik kedua tangan kakaknya itu dan membawanya ke ruangan bawah untuk segera diobati. 

.

.

.

.

Dan disinilah Blaze, duduk bersama dengan saudara-saudaranya yang lain beserta kedua orang tuanya di meja makan. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam yang dibuat oleh mama, dibantu oleh saudara-saudaranya. Dan seperti biasa, rasa makanan itu terasa sangat istimewa. 

Namun suasana hari ini nampak sedikit berbeda. Blaze terlihat canggung saat diperhatikan lekat-lekat oleh delapan orang yang duduk disana. Itu membuatnya tertunduk sambil memainkan jari-jarinya di bawah meja. 

"Blaze.." mama mulai buka suara. 

"Blaze, lihat mama" tegur Gempa melihat Blaze yang masih enggan mengangkat wajahnya.

Mama menghela nafas, kemudian ia dan papa pun bertukar duduk dengan Ice dan Thorn untuk duduk di sebelah Blaze.

"Blaze, kami sudah dengar semuanya..."

Netra Blaze berkaca kaca, tak berani mengangkat kepalanya dan hanya meremat ujung celananya di bawah meja.

"Maaf..." Blaze terisak "maaf ma..pa.." 

Blaze yang mengira bahwa kedua orangtua angkatnya itu akan marah pun semakin tertunduk. Kenangan menyakitkan saat ditinggal pergi oleh ibunya sendiri membuatnya trauma dan takut jika hal yang sama akan terulang kembali. 

Namun rupanya ia tau bahwa ia salah saat ia merasakan dua pasang lengan memeluknya. Dan ketika ia mengangkat wajahnya, barulah ia sadar bahwa mama dan papanya kini memeluknya dengan erat. Dan keenam saudaranya yang lain juga turut berada di belakangnya. 

"ma-ma..? pa..semuanya..?" 

"maafkan kami, Blaze.." 

Mama dan papa tau-tau membisikan kata-kata maaf itu, membuat Blaze langsung menoleh bingung. 

"mungkin kami bukan orang tua kandungmu..kami juga sibuk dengan pekerjaan kami, sehingga kurang memberimu perhatian yang seharusnya kau dapatkan...mungkin kamu juga merasa..kami tidak pantas menggantikan posisi orangtua kandungmu.."

Netra Blaze yang dibanjiri airmata itu membelalak "b-bukan begitu!! Blaze sayang--"

"tapi!" papa memotong perkataan Blaze "walaupun begitu- kami sangat menyayangi Blaze..dan kalian semua..lebih dari apapun" 

Mama mengangguk, kemudian tangannya menangkup kedua pipi Blaze dan menatapnya dengan penuh kasih sayang. 

"kehadiran Blaze..Gempa, Halilintar, Taufan, Ice, Solar, Thorn..kalian semua..adalah anugerah yang dikasih Tuhan buat kami. Sejak awal kami mengadopsi kalian..rasanya kehadiran kalian membawa kebahagiaan yang tidak dapat tergantikan oleh apapun juga. Kalian adalah anak anak yang ditakdirkan bagi kami.. Jadi tentu saja kami sangat menyayangi kalian"

Mengelus lembut rambut Blaze, mama dan papa memberinya senyuman terindah yang pernah ada. Kemudian keenam orang yang berada di belakang Blaze pun turut memberinya pelukan hangat. Pelukan dari delapan orang sekaligus yang membuat Blaze merasa sesak karena terhimpit di tengah. Namun walaupun begitu.. kini ia tersenyum. Rasanya begitu lega dan beban di hatinya pun perlahan lahan sirna. 

"Blaze..juga sayang banget sama mama, papa..dan kalian semua.." ucap Blaze. 

Dan saat itu juga, Blaze sudah memutuskan bahwa ia tidak akan lagi larut dalam memori masa lalu yang menyesakan. Yang lalu biarlah berlalu, walaupun sulit untuk membuatnya hilang sepenuhnya. Tapi disini, ia punya keluarga dan saudara-saudara yang begitu menyayanginya. Lantas, mengapa ia menyia nyiakan apa yang telah ia miliki saat ini? 
















"Saat mama dan papa adopsi Blaze, rasanya ada setitik cahaya yang menerangi kegelapan hati Blaze sedikit demi sedikit. Blaze seneng banget, rasanya seperti lahir kembali! Karena itu kalau Blaze udah besar, Blaze akan kerja keras buat bahagiain mama sama papa, dan kakak-kakak juga!" 

"walaupun kamu belum bisa ngegapai mimpi kamu, tapi kakak yakin.. mama dan papa lebih dari bahagia punya kamu, Blaze..tapi maafin kakak.. saat ini, kakak nggak bahagia.." 





To be continued. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro