Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2# Mimpi Taufan

"keluargamu terdengar menarik ya. Sepertinya menyenangkan memiliki keluarga seperti itu.." 

Halilintar mengangguk mendengarnya, menyetujui ucapan orang itu. Ya, keluarganya itu memang keluarga yang sungguh menyenangkan, sungguh menarik untuk selalu dikenang. Tidak akan pernah membosankan untuk membahas kisah keluarga Halilintar. 

Jika saja semua itu dapat ia rasakan lebih lama.. kegembiraan itu. 

"adikmu yang pertama..Taufan ya? sepertinya ia terdengar menyenangkan. Sebagai kakak tertua yang masih duduk di SMA, dia pasti sangat diandalkan ya?" 

Terkekeh pelan, Halilintar menggeleng. 

"jika kubilang.. justru yang terjadi adalah sebaliknya.." 


*** 

"UWAAAAAAAAAAAAAAA!!!!" 

Hari masih pagi dan suara Taufan yang berteriak dari kamar mandi sudah menggelegar di seluruh penjuru rumah. Saat itu, seperti biasa semua orang tengah sibuk mempersiapkan urusannya masing-masing. Halilintar bersiap siap untuk kelas pagi, empat lainnya juga bersiap untuk pergi ke sekolah. Mama sedang sibuk masak sarapan dan papa dengan koran pagi dan secangkir kopi hitam. 

"mama!! kak Hali!! Solar!! Gempa!! siapapun!! tolongin dong!! upan lupa bawa anduk nih!!" 

Solar yang tengah mengecek penampilannya di kaca ruang tengah pun berdecak. Posisinya paling dekat dengan kamar mandi namun ia terlalu malas untuk naik ke atas dan mengambil handuk Taufan. Pegel ceunah! Nanti ketampanannya memudar kena keringat- begitu katanya.

"Solar- kakak kamu gak dibantuin tuh?" 

Mama yang tengah menggoreng tempe hanya mesem mesem melihat Solar yang pura pura tuli. Di sana, Solar hanya mengangkat bahu sambil tetap melanjutkan misi mengikat dasinya. Penampilannya harus sempurna dari atas sampai bawah bahkan dasi sekalipun harus sama sudut, panjang , lebar dan tingginya. Karena selain aneh dan pintar, Solar juga anak mama yang paling perfeksionis. Bagi Solar, kalau bisa segala sesuatunya harus yang terbaik. 

"WOEEE!!! INI GAK ADA YANG MAU BANTUIN UPAN APA??!! KEJAM!! HATI MUNGIL UPAN TERSAKITI!!"

Taufan berteriak lagi, kali ini dengan nada yang sengaja ia dramatisirkan. Gempa dan Halilintar yang baru turun dari lantai dua pun mendesis. Punya saudara yang seperti toa berjalan memang sehat untuk indera pendengaran. Ya, sehat alias cepet budeknya. Dengan geram, Halilintar menyambar handuk biru bau yang sudah dipakai dua minggu alias belum dicuci sama sekali dan melemparkannya pada kepala Taufan yang menonjol dari balik pintu kamar mandi. 

Terkejut, Taufan berteriak lagi karena pandangannya yang tiba-tiba menggelap. Sedetik kemudian, ia tersadar begitu mencium aroma khas dari handuknya lantas ia menarik lepas handuk itu dan memekik girang sebelum kembali menutup pintu kamar mandi. 

Mendesah kasar, Halilintar pun berjalan memasuki dapur. Seperti biasa, kekesalannya langsung luntur begitu senyum hangat mama menyambutnya disana. Ia lantas mengecup pipi mama dan langsung membantu menyiapkan sarapan di hari itu. Sementara Halilintar membantu mama masak, Gempa membantu menata meja makan dan menyiapkan piring. 

Lalu, Thorn , Blaze dan Ice kemana? 

Thorn, udah jelas dia masih ngantri giliran mandi sama kakaknya yang mandinya udah kayak ngerem telor. Lama banget ga bohong. Sudah setengah jam berlalu dan Taufan masih belum keluar dari tempat pengeraman telurnya. Karena itu Thorn memutuskan untuk melanjutkan tidurnya barang sebentar sembari menunggu. 

Blaze, dia udah mandi sih karena untungnya dia sempet nyalip Taufan biar bisa mandi duluan. Soalnya dia tau kalo kakaknya mandinya lama buangett. Untungnya, Blaze itu kebalikan dari Taufan. Kalau Taufan bisa mandi sampai setengah jam, Blaze bisa mandi dalam setengah menit. Alias nyirem badan, sabunan asal, nyirem, andukan, dan selesailah ritualnya. 

Dan Ice, gak usah ditanya. Masih setia molor di kasurnya sambil meluk boneka paus kesayangannya yang udah super dekil karena Ice selalu menolak kalau mama suruh bawa boneka itu ke laundry. 

Ngomong ngomong soal itu, boneka paus biru milik Ice itu memang kayak benda keramat bagi Ice. Selalu dibawa kemana mana kecuali ke sekolah, bahkan ke ruang makan, ruang tengah, boneka itu tak pernah luput dari pelukannya. Saking sukanya sama boneka itu, gak ada orang selain Ice yang boleh menyentuhnya. Bahkan Ice pernah ngambek sampe nangis saat Trio Troublemaker dengan iseng merebut dan memukul-mukul boneka itu. Ice bilang , dia takut kalo pas tengah malem boneka itu bangun dan bales mukulin dia. 

"Solar- itu yang lain panggilin ke bawah dong , suruh sarapan dulu" pinta mama tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan. Karena menggoreng tempe ini butuh ketelitian extra. Pernah sekali mama meleng pas lagi goreng tempe, padahal cuma beberapa detik dan si olahan kedelai ini langsung hitam karena wajan peninggalan majapahit khas mama yang gak pernah mau diganti. 

"ihh ma! nanti aku keringetan loh kalo bolak balik atas- udah rapi gini!" Solar mengeluh.

"Bensin! Jangan bantah ucapan mama!" Halilintar yang tengah mengaduk nasi uduk pun menyahut, netra ruby itu memicing tajam pada sosok adiknya itu. 

Solar akhirnya mau tak mau pun akhirnya naik keatas untuk membangunkan saudara-saudaranya yang lain, meskipun dengan bersungut sungut dan menahan gondok dalam hati. Karena papa pernah bilang , jangan pelit pelit sama saudara sendiri, saling tolong menolong itu penting apalagi dalam hal hal kecil. Kecuali kalau untuk hal-hal yang buruk. 

"pfft- gak ikhlas banget mukanya" Gempa yang tengah mengelap meja pun terkekeh sambil geleng geleng kepala. Ngomong-ngomong sedari tadi Gempa mengelap meja makan hingga kinclong dan ia terlihat bangga saat melihat pantulan wajahnya di meja itu, membuat Taufan yang baru keluar mandi terbengong bengong melihat wajah Gempa yang terpantul di meja yang cahayanya melebihi cahaya ilahi. 

"okeh ni nasi uduk udah siap-- ASTAGA NAGA BISKUIT ULER!!" latah Halilintar terkejut melihat meja marmer putih yang seumur umur gak pernah sampe sekinclong itu kini lebih kinclong dari masa depan. Saking kinclongnya sampai menyilaukan mata Halilintar yang tengah menenteng bakul berisi nasi uduk hangat. 

Di pinggir meja makan, Gempa mengangguk angguk bangga sambil menatap bayangan dirinya di meja itu. Lalu ia beralih menatap sang kakak tertua yang terbengong bengong.

"keren kan?? keren lah! Gempa gitu loh!" ia berucap bangga. 

Halilintar hanya geleng geleng kepala melihat kelakuan adiknya satu ini. Sebenernya baik sih, baik banget malahan. Diantara semua saudaranya, ia merasa bahwa yang selalu berinisiatif untuk membantu pekerjaan rumah duluan hanya Gempa dan dirinya. Bukannya menyombong, tapi saudara-saudaranya yang lain hanya akan bantuin pekerjaan rumah kalau disuruh mama. Taufan, Blaze dan Thorn selalu keluar main setiap hari. Ice, selalu molor kapanpun dimanapun, dan Solar yang selalu berkutat dikamarnya entah ngapain. 

Usai diletakannya nasi uduk itu di atas meja, Halilintar pun kembali ke dapur untuk membantu membawa lauk pauk lainnya. Gempa pun mengikutinya dan turut membantu mama untuk mencuci piring. Sementara itu, Solar pun turun dari lantai atas diikuti saudara-saudaranya yang telah selesai bersiap siap. 

Makan pagi di hari itu pun berjalan seperti biasa. Dengan formasi yang selalu sama setiap harinya, yaitu Papa-Mama yang menempati dua kursi di tengah. Kemudian Halilintar-Solar-Blaze, Ice-Thorn-Taufan dan Gempa yang duduk di samping mama dan papa. Canda tawa dan obrolan ringan di meja makan pun tak pernah terlewatkan, sembari menyantap masakan mama yang tiada duanya. Dengan suasana seperti ini, makanan yang sudah nikmat itu terasa seratus kali lebih nikmat. 

*** 

Taufan, anak itu memang polos dan kekanak-kanakan. Namun ia juga punya mimpi. 

Sejak kecil, Taufan memiliki suatu ketertarikan pada bidang musik. Ya, musik..tepatnya biola. Ia memiliki satu biola yang sudah digunakannya sejak SMP, biola yang menemani masa-masa mencari jati diri dan hobi yang akhirnya berpusat pada alat musik gesek satu itu. Mama membelikan biola itu saat ia masuk SMP , dan ia sempat mengikuti les untuk melatih kemampuan dasar bermainnya. 

Awalnya ia merasa malu terutama saat orang lain mengetahui tentang hobinya satu itu. Karena seperti pandangan orang awam, biola itu biasanya dimainkan oleh perempuan. Jarang sekali laki-laki yang menyukai permainan alat musik gesek yang membutuhkan teknik bermain sulit serta memiliki keanggunan tersendiri. Namun , ia bersyukur memiliki keluarga dan saudara saudara yang mendukungnya secara penuh hingga ia bisa menetapkan dirinya untuk terus mengasah keahliannya memainkan alat musik satu itu. 

Hal itu terbukti dengan bagaimana alunan biola lembut selalu mengalun di rumah setiap sore, tepatnya setelah makan malam. Taufan suka sekali memainkan biola di kamarnya, mempelajari lagu lagu dan not baru. Ia selalu membayangkan dirinya menjadi seorang pemain biola terkenal, berdiri di tengah tengah panggung solo yang megah disaksikan oleh jutaan orang dan seluruh keluarganya. Usahanya pun tidak main main, buktinya ia berhasil menyabet beberapa mendali penghargaan dari lomba-lomba musik yang ia ikuti. Seperti mendali emas Pemain Biola Solo kategori laki laki yang diraihnya beberapa bulan lalu. 

Sore itu, Taufan tengah duduk sendirian di halaman belakang rumah. Mengganti senar dari biola kesayangannya itu, suaranya sudah sumbang dan senarnya sudah tua..katanya. Walaupun mama dan keluarganya tak mengerti apapun tentang itu, karena suara biola yang dimainkan Taufan setiap hari sama indahnya. Selain itu, di pangkuannya juga ada sebuah buku notes, dimana buku itu selalu digunakannya untuk mencatat not not baru dan lagu buatannya. 

Saking asiknya Taufan dengan dunianya sendiri, ia bahkan tak sadar bahwa papa sudah pulang kerja dan mama menyambutnya di depan pintu. Ia juga tak sadar bahwa Halilintar, kakak tertuanya yang sudah kuliah itupun sudah pulang dengan motor ninja kesayangannya yang super berisik. 

"Taufan?" 

Aktivitas Taufan baru berhenti ketika mendengar suara kakaknya itu. Ia pun menoleh dan mendapati Halilintar tengah berjalan ke arahnya, membawa dua gelas teh dingin. Sang kakak tersenyum, kemudian mendudukan dirinya pada ruang kosong di sebelah Taufan sembari meletakan dua gelas itu diantara mereka. 

"kamu asik banget kayaknya, hm? biasanya jam segini kalian bertiga masih gatau kemana" 

"ah.. Blaze sama Thorn ada kerja kelompok kak.. kelas sebelas lagi ada lomba antar kelas" jawabnya. 

Halilintar mengangguk, kemudian memperhatikan Taufan saat ia lanjut memperbaiki senar biola-nya itu. Mereka duduk berdua kala itu, disinari langit senja dan suara burung yang sesekali terdengar. 

Tanpa mengatakan apa apa, Halilintar hanya memperhatikan kegiatan Taufan sambil menyeruput teh dingin di tangannya. Hingga Taufan selesai pun, Halilintar masih duduk disana. Entah kenapa rasanya menenangkan melihat sang adik duduk diam dan sibuk dengan kegiatannya sendiri, pemandangan yang sungguh jarang..bukan?

"kak.. mau denger lagu ngga?" ia tau-tau bertanya, namun sebenarnya tujuan utamanya adalah mengetes senar barunya itu. 

"boleh" 

"lagu apa nih?" 

Halilintar terkekeh "ya mana aku tau.. emangnya mukaku keliatan kayak orang ngerti musik?" 

"way back home, mau?" 

"terserah kamu aja, pan. Aku mah bagian dengerin doang" 

Senja yang cerah serasa semakin indah diiringi oleh permainan biola Taufan yang lembut dan menenangkan. Halilintar benar benar merasa bahwa kemampuan Taufan setiap harinya kian meningkat, ia benar benar bisa merasakan emosi di setiap gesekan biola itu yang nyaris mengiris ngiris hatinya. Sungguh, ia merasa bersalah karena dulu pernah menyepelekan mimpi Taufan menjadi seorang violinist.

"kami pulang- loh??" 

Empat warga kelas sebelas yang baru saja pulang langsung terpikat dengan alunan biola yang datang dari halaman belakang. Seakan tersihir dengan suara biola Taufan yang mengiris hati, keempatnya turut bergabung bersama Taufan dan Halilintar di halaman belakang. Gempa yang baru selesai berberes pun ikut bergabung tak lama kemudian. 

Sore itu dihabiskan tujuh saudara itu  dengan duduk bersama di halaman belakang dengan musik Taufan sebagai pengiringnya. Waktu kebersamaan yang tenang dan penuh makna, yang tak pernah bisa tergantikan oleh apapun juga. 

Halilintar sungguh merindukan saat saat itu. 

.

.

.

.

.






"Kak, hidup itu perihal kedatangan dan kepergian. Yang datang pasti akan pergi, yang pergi nggak akan kembali. Sama aja kayak mimpi. Mimpi itu cepet perginya kalau dari awal kita nggak ada niat mewujudkannya. Karena itu selagi bisa, aku pengen bisa wujudin itu semua. Bukan sukses namanya kalau nggak ada kegagalan, tapi yang terpenting gimana kita bisa belajar untuk mengatasi kegagalan itu, paham kan kak?" 

"Taufan, kamu keliru tentang satu hal. Kakak belum lihat kamu berdiri di panggung solo seperti impian kamu. Kakak belum sempat memberikan standing applause, dan wajah bangga kakak karena keberhasilanmu. Mimpi itu kayak kamu, Taufan. Cepat pergi tapi tak dapat kembali..." 



To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro