18 Forget
Hari berikutnya, Raline tidak tahu harus bagaimana. Ia takut jika memesan ojol lagi, ia akan bertemu penculik yang kemarin. Menunggu D kembali dari luar negeri butuh waktu sampai beberapa hari. Gadis itu nyaris menangis saat jam kerjanya sudah hendak dimulai, tetapi ia masih berada di rumah. Ia bisa apa? Adakah alat teleportasi yang bisa membawanya ke kantor tanpa melewati jalan raya?
Gadis itu menggigit kuku, sembari mengintip dari balik jendela. Sepertinya tidak akan ada orang aneh. Jadi ia memberanikan diri memesan ojol, dan memberi pesan kepada pengemudinya agar menghubunginya jika sudah berada di gerbang kos. Ia akan memastikan nama pengemudinya sama dengan yang ada di aplikasi. Untunglah meski terlambat, pagi itu bisa dilalui Raline tanpa ketegangan apapun. Ia merasa lega ketika sudah berada di kantor, menatap rekan-rekan kerjanya yang sudah berkutat di depan laptop atau komputer.
Raline berharap agar hari-hari berikutnya bisa ia lalui dengan ketenangan. Beberapa hari ini sudah menguras seluruh energinya.
***
Tanah air. Rasanya D belum pernah sebahagia ini menginjak bandara Soetta, setelah melakukan perjalanan panjang. Tanpa memedulikan rekan kerjanya yang berwajah jutek, D segera memesan taksi dan bergegas ke kantor Raline. Ia sudah merindukan gadis itu, apalagi dalam berbagai kesempatan Raline tampak menyembunyikan rasa takutnya. Pasti telah terjadi sesuatu, batin D. Namun, kekasih hatinya menolak bercerita. Jadi ia putuskan, ia segera ke kantor Raline, demi ingin menemuinya.
Di lobi, D memberitahu kedatangannya dan menyebutkan namanya kepada resepsionis. Butuh waktu lima belas menit untuknya menunggu, sampai Raline keluar dari lift dan menghampirinya dengan wajah hendak menangis.
Tanpa ragu, Raline memeluknya erat-erat, tangannya bahkan mencengkeram lipatan baju lelaki itu. D merasakan tubuh gadis itu gemetar. Perlahan, D mengurai pelukannya dan menatap wajah kekasih yang sudah beberapa hari ini tak ia lihat.
"Ada apa? Kamu dikejar?"
Raline mengangguk samar, sembari menggigit bibir. "A-aku takut banget. Setiap kali keluar kantor atau kos, aku ngerasa diikuti."
"Oke. Kamu kerja dulu aja. Aku tunggu kamu sampai pulang. Setelah itu kamu bawa barangmu dari kos. Kamu tinggal di apartemenku aja."
Sontak, mulut Raline ternganga. "Tinggal bareng kamu maksudnya?"
"Darurat, Sayang. Toh kemarin kita pernah tidur bareng dan ...."
Raline membekap mulut lelaki itu. "Ih, jangan ngomong keras-keras. Orang bisa denger."
"Di situasi bahaya kayak gini, kamu masih mikirin apa kata orang? Emang mereka bisa nyelametin kamu kalau kamu diculik kayak seminggu yang lalu?" omel D sembari melotot. Ia merasa gemas dengan pemikiran gadis itu.
"Look, posisiku ini cewek, lajang. Tinggal bareng cowok bisa menodai reputasiku. Gimana nanti kalau ...."
Telunjuk D mendarat di bibir gadis itu untuk membungkamnya. "Percaya sama aku. Ini darurat. Aku janji kita nggak akan ngapa-ngapain, kalau perlu kita tidur terpisah. Ada beberapa kamar di apartemen. Tapi aku butuh diyakinkan kalau kamu akan aman karena aku jagain kamu. Please?"
Dengan lemah, Raline mengangguk. D mengembuskan napas lega, ia sudah tak mau menghabiskan setiap malam karena terjaga mengkhawatirkan Raline selama ia pergi. Lelaki itu bahkan tidak peduli lagi bahwa ia kurang tidur. Yang penting perempuan ini selamat tanpa kurang suatu apapun.
"Trust me. Aku bakalan jagain kamu, Raline. You are save with me."
***
Sepulang kerja, Raline mengemasi pakaiannya yang ada di kos. Tinggal bersama D memang terdengar sangat liberal, tetapi ia tak punya jalan lain. Saat ini, solusi dari lelaki ini yang paling logis baginya. Ia tak mau dililit ketakutan setiap kali tidur malam karena memikirkan bahwa penculiknya bisa di mana saja. Setiap berangkat dan pulang kerja, Raline sampai harus memastikan bahwa pengemudi ojolnya memang sama dengan yang di aplikasi, bahkan memotret setiap pengemudi dan mengirimnya ke Alice yang sedang bosan di ranjang rumah sakit di Cina. Untunglah gadis itu sudah berangsur membaik, dan bersiap pulang dua hari lagi.
Di apartemen, D segera membersihkan kamar yang dekat dengan dapur, dan menyuruh Raline menata barang-barangnya di sana. Lelaki itu bersikeras untuk membuat Raline merasa aman, hingga terus berada di dekatnya. Namun, gadis itu melihat bahwa wajah kekasihnya tampak lelah dan ada kantung di bawah matanya.
"D, kamu kurang tidur ya?" tanya Raline lembut sembari menyentuh lengan lelaki itu.
"Jet lag." D menguap dengan keras. Gadis itu terkekeh. "Nggak papa. Aku temenin kamu naruh barang-barang, terus kita makan bareng."
Raline menggeleng. "Kamu tidur aja, nggak papa. Aku bisa masak sesuatu nanti di dapur. Mie instan nggak masalah."
"Jangan ... aku ..."
"Kamu capek, D. Tidur aja. Toh aku udah di sini, dan kalau ada apa-apa, aku bakal bangunin kamu, oke?"
Wajah lelaki itu tampak ragu. Ia merasa berat meninggalkan gadis itu sendirian. "Aku masih bisa ..."
"Kamu bilang, apartemenmu ini paling aman. Kalau di sini nggak aman, buat apa aku harus tidur di sini? Udah, istirahat aja. Buat ngelindungin aku, kamu butuh tenaga yang cukup." Raline menarik tangan lelaki itu dan menyuruhnya keluar kamar. D mengalah, dan memilih beristirahat di kamarnya.
Sengaja Raline tak banyak memabwa barang, hanya pakaian, peralatan mandi dan skincare saja. Toh, ini hanya sampai gangguannya mereda. Lagipula di apartemen lelaki itu sudah lengkap, mulai dari televisi berukuran besar, sampai peralatan memasak. Raline bertanya-tanya dalam hati, sebesar apa gajinya sampai lelaki itu bisa membeli semua yang ada di apartemennya sekarang. Apalagi lelaki itu lebih sering berada di rumah. Anak konglomerat? Raline menepis pikiran itu. D begitu ... terasing dan sendiri. Selama mengunjungi apartemen ini, Raline tidak pernah diperkenalkan dengan anggota keluarga D yang lain. Adik, kakak, orang tua. Segala sesuatu tentang lelaki itu terkesan misterius. D selalu mengatakan ia hanya sebatang kara jadi ia tidak punya siapa-siapa.
Raline membersihkan badannya di kamar mandi, dan berganti dengan baju tidur. Ia sudah makan dengan mie instan yang ada di kabinet dapur, dan membersihkan semua peralatan yang ia pakai. Selama itu, D sama sekali tidak keluar kamar, jadi Raline tak mau mengganggunya. Ia hanya menuliskan pesan di kulkas, lalu bersiap tidur. Kali ini, ia merasa aman, jadi segera saja ia pergi ke alam mimpi.
Keesokan paginya, bel berdering, menandakan ada tamu. Raline mendengar karena suaranya bergema ke seantero apartemen, jadi ia terbangun. Hari ini ia libur kerja, karena itu ia awalnya hanya ingin bermalasan seharian. Namun, karena bel berbunyi, gadis itu cepat-cepat mencuci muka dan berkumur. Lalu melihat ke layar yang terpasang di dinding ruang tamu, yang menunjukkan orang yang berada di pintu depan. Orang tersebut laki-laki, mengenakan jas putih, dan menenteng koper hitam. Ragu-ragu, Raline menekan tombol interkom dan menyapanya.
"Cari siapa?"
"Oh, siapapun kamu, tolong bangunin cowok yang tidur denganmu tadi malam, ya. Dia harusnya kontrol kemarin, tapi malah nggak datang."
Dahi Raline berkerut. Cowok yang tidur denganmu? Mau tak mau, Raline merasa tersinggung. Namun ia ingat bagaimana Meisya mendeskripsikan D sebagai "cowok yang bisa dipakai". Mungkin orang ini juga sudah tahu kebiasaan D dan menganggap Raline sebagai "cewek satu malam" yang menghabiskan waktu bersama D.
"Maksudnya D? Devan? Anda siapa, kalo boleh tahu?"
"Yah, dia pasien saya. Dia harus kontrol rutin. Coba kamu bangunkan dia dulu, dan suruh dia nonton video yang ada di hapenya. Dia bakal tahu. Tapi pelan-pelan saja. Nggak usah buru-buru, atau nanti dia bisa panik dan nyerang kamu. Oh ya, dia bakal lupa sama apapun yang kalian lakukan kemarin, jadi nggak usah panik juga." Lelaki itu perlahan menjelaskan, dengan nada tenang.
Lupa? Raline mengernyit. Apa maksudnya? Namun, ia bergegas ke kamar D, dan hendak meminta penjelasan. Situasi pagi ini mendadak lebih membingungkan ketimbang menerjemahkan permintaan Pak Dirga yang ingin beli kursi yang ia lihat di Ikea tanpa menjelaskan deskripsi kursinya.
"D, D, bangun. Ada orang, um, dokter nyariin kamu." Raline menggoyangkan bahu lelaki itu untuk membangunkannya. "Sayang, bangun sebentar."
Lelaki itu membuka mata, lalu mengerjap sebentar. Tatapannya tertuju ke arah Raline, lalu memicingkan mata. "Siapa kamu?"
Jantung Raline seakan berhenti berdetak. Ia mengamati wajah D, mencari tahu apakah lelaki itu cuma bercanda, tetapi nihil. Ekspresi lelaki itu tampak lurus dan jujur. "D, ini aku. Raline."
Suara D serak saat berkata, "Raline? Siapa?"
*episode18*
Dan terjadi lagi .... kisah lama yang terulang kembali .... Aduh, jadi nyanyi. Gawat, pemirsa, D kembali lupa sama Raline. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro