Ada derai yang ternyata harus tertahan.
Namun, beningnya ternyata tak bisa ditampung.
Duka nan lara memang nyata.
Tidak memilih siapa, apa jabatannya, berapa hartanya.
Ketika Tuhan sudah menetapkan, mau tak mau harus menerima
(L.K)
🍁🍁🍁
Memaksakan sebuah kondisi ternyata tidaklah baik. Mereka yang bersembunyi dibalik tameng solidaritas tanpa batas rupanya harus gigit jari. Perencanaan hanya tinggal wacana saja.
Sabiru Anggara lebih cepat menggagalkan anak didiknya untuk tawuran berkat bantuan dari Yuda si Ketos. Keesokan harinya Biru benar-benar mengeksekusi The Fantastic Four yang dianggap sebagai provokator.
Secara tidak langsung ketika ditanya siapa ketuanya, mereka akan kompak menunjuk Faris si ahli bernegosiasi dan mengatur strategi. Begitu juga saat Biru mencecar mereka di ruang konseling.
"Faris yang mulai, Pak Biru! Saya mah apa? Anak bawang saja, nggak bisa ngelawan." Randy berusaha mengamankan dirinya sendiri.
"Ish, si Randy nggak bisa jaga mulutnya! Bacotmu mingkem sek, Ran. Jangan nambahi masalah. Setelah ini urusan kita bakal panjang." Dito mencoba membungkam mulut sahabatnya itu.
Randy hanya melirik sekilas pada Dito dan memalingkan wajahnya. Namun, tepat saat berpaling, justru wajah seram Faris yang terpampang di hadapannya. Randy meringis dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Ampun! Ampun!" ujar Randy tanpa suara.
Mereka mendapat paket komplit selama di ruang konseling. Peringatan sekaligus ancaman dari guru BK. Faris, Erza, Dito, dan Randy harus bersiap menerima segala bentuk sanksi jika terbukti sebagai otak dibalik setiap kejadian yang melibatkan banyak temannya.
Seperti biasa, keempatnya yang memang sudah menjadi langganan tetap dari ruang konseling melangkah dengan santai dan kembali ke kelas.
"Aman?" tanya Fikri begitu The Fantastic Four memasuki kelas.
"Aman apaan? Kamu sih enak bisa kabur begitu Pak Biru masuk ke warung. Kita? Ancaman berlapis, vroh!" Randy memilih duduk di atas meja dengan sebelah kaki ditekuk.
"Kalau nggak mulutmu yang ember itu kita juga nggak akan kena pasal berlapis, Ran!" Faris yang berdiri tepat di belakang Randy meninju punggungnya dengan kuat."
"Kalem, Ris. Demi kebaikan bersama," balas Randy sambil mengacungkan dua jarinya tanda peace.
"Paling nggak ini kayak siaran tunda aja. Nggak sepenuhnya batal, kita cuma perlu atur waktu lagi untuk balas semuanya." Faris mencoba meyakinkan teman-temannya.
"Kalau ketahuan?" tanya Dito.
"Ya, paling-paling surat peringatan plus pemanggilan orang tua, surat skorsing, atau skenario terburuk angkat kaki dari SMAPSA. Sekali kawan tetap kawan, sekali berjuang mari lanjutkan!"
Anggaplah itu sebuah orasi terakhir dari Faris sebelum sang guru Bahasa Inggris datang dan memberinya soal ulangan harian dadakan. Beberapa lainnya hanya sanggup menggerutu dan sisanya pasrah menghadapi ujian hidup.
"Apakah kesialan sedang menyapa kita, vroh? Dari kemarin apes terus, dah!"
Randy yang memang tidak bisa akur dengan Bahasa Inggris hanya sanggup mengeluh, menghela napas dan menatap nanar lembar soal di hadapannya. Baginya, lembaran itu tidak ubahnya surat cinta dari Alien untuknya yang tinggal di Bumi.
Di saat yang sama, ketika anak kelas XI IPS 1 menjalani ulangan harian. Pak Rudi selaku kepala sekolah memberikan pengumuman di ruang guru.
"Bapak dan ibu guru sekalian, saya minta waktunya sebentar. Untuk hari ini kegiatan belajar mengajar kita cukupkan sampai selepas salat Duhur berjamaah. Saya baru saja mendapat kabar bahwa Ibu dari Pak Ardan meninggal karena luka berat akibat kecelakaan."
"Innalillahi wainnailaihiroji'un. Semoga Almarhumah husnul khotimah." Beberapa guru saling bersahutan dan mengucapkan sebait doa untuk mendiang ibu Ardan.
"Karena Pak Ardan sedang dalam perjalanan dinas, sedikit sekali kemungkinan untuk hadir tepat waktu mengikuti prosesi pemakaman, untuk itu saya meminta beberapa guru untuk membantu keluarga Pak Ardan terlebih dahulu."
Biru bersama beberapa guru laki-laki akhirnya mengacungkan tangan. Pak Rudi bergegas mempersilakan untuk berangkat terlebih dahulu dan disusul oleh lainnya setelah kelas diakhiri.
"Pak Biru nggak gabung sama kita saja? Perjalanan lumayan jauh, Pak!" tanya Pak Jo saat melihat Biru menenteng helm dan menuju tempat parkir.
"Rencananya hari ini saya mau pulang, Pak. Nanti langsung pisah di jalan saja."
Mereka mengangguk paham, dua mobil milik SMAPSA sudah terparkir di halaman depan. Beberapa guru langsung masuk tanpa dikomando. Biru mengikuti iring-iringan kedua mobil tersebut.
Selama di perjalanan lelaki itu benar-benar tidak bisa fokus. Pikirannya terpaku pada Ardan sang rekan kerjanya. Betapa tidak, Biru bahkan harus menekan emosinya saat memikirkan bagaimana perasaan Ardan saat berangkat masih bertemu dengan ibunya, tetapi begitu pulang hanya jasad sang ibu yang ditemui.
Sekitar 45 menit perjalanan, iring-iringan mobil itu berhenti sejenak di sebuah supermarket untuk membeli beberapa barang sembako yang akan diberikan untuk sekadar membantu meringankan beban keluarga.
"Pak Biru nggak apa-apa?" tanya Pak Jo saat melihat Biru memejamkan matanya sejenak sambil duduk di kursi yang disediakan di sana.
"Nggak apa-apa, Pak. Memangnya kenapa?"
"Pak Biru agak pucat. Beneran nggak apa-apa? Kalau nggak enak badan bisa gantian sama Pak Aris saja, beliau juga mahir bawa motor. Ini perjalanan masih lumayan lama."
"Agak pusing sama mual saja, Pak Jo. Istirahat sebentar mungkin baikan." Biru kembali memejamkan mata saat perutnya mulai terasa seperti diaduk.
"Pak Aris! Mana Pak Aris?" tanya Pak Jo pada beberapa guru yang beristirahat.
"Itu Pak Aris, baru dari toilet kayaknya," ujar Pak Mad OB SMAPSA yang turut serta menjadi bagian rombongan itu.
"Pak Aris bawa motornya Pak Biru bisa? Orangnya kayak lagi teler. Jaga-jaga takut kenapa-kenapa kalau dibiarin bawa motor lagi."
Pak Aris menyanggupinya dan Biru berakhir dengan duduk di bangku depan sebelah sopir. Setelah sampai pada kata sepakat tadi, Biru bahkan berlari dan bersembunyi di balik pohon karena mualnya sudah tidak tertahankan.
Meski awalnya menolak dan memaksa membawa motor sendiri, tetapi setelah diyakinkan oleh Pak Aris dan Pak Jo, Biru mengalah dan memilih untuk memasrahkan motornya pada Pak Aris.
Dua buah bendera kuning yang menyilang menyambut datangnya rombongan guru dari SMAPSA. Mereka langsung berbaur dengan pelayat dan keluarga Ardan. Biru yang merasa kondisi badannya sudah lebih baik membantu untuk menata tempat duduk untuk pelayat yang baru datang.
"Mas, Mas Ardan bisa sampai sebelum pemakaman?" tanya Biru pada sesosok laki-laki yang diketahuinya sebagai kakak ipar Ardan.
"Tadi pas ditelepon dia bilang akan mengusahakan, tapi kalau misalnya nggak nututi nggak apa-apa untuk dilanjutkan saja. Qodarullah ini malah hujan deras. Sepertinya ibu memang mau nunggu Dana pulang," jawab Endra.
"Insya Allah, jika sudah ada campur tangan Allah, maka semua akan dipermudah, Mas,"
"Terima kasih sudah hadir dan banyak membantu kami, Dek." Endra menepuk bahu Biru dan berdiri begitu melihat Dina—sang istri—yang merupakan kakak kandung dari Ardan berjalan menghampirinya saat mulai reda.
"Mas, mumpung sudah reda bisa dilanjutkan. Kasihan Ibu kalau terlalu lama dibiarkan menunggu." Dina menyeka air matanya yang tidak ada surutnya dan terus saja menetes.
Keranda diusung menuju halaman yang basah dan becek karena hujan. Beberapa pelayat dan kerabat dekat sudah bersiap untuk mengantarkan jenazah ibu dua anak ini. Setelah prosesi berpamitan, Biru yang turut mengusung keranda kaget saat melihat dari kejauhan sosok yang dikenalnya tengah berlari.
Beberapa kerabat menyambutnya dan memeluknya erat. Si bungsu ini meletakkan tasnya begitu saja dan menghampiri para pengusung keranda.
"Mas, biar Dana yang gantikan. Dana yang mau bawa ibu ke peristirahatan terakhirnya," ucap Ardan pada sepupunya yang ada di barisan depan pengusung keranda.
Biru yang ada di barisan kedua menyambutnya kemudian menyapa dengan senyum sembari menepuk bahu temannya itu. "Bismillah, Mas Dan kuat!" ujarnya lirih yang dibalas anggukan oleh Ardan.
🍁🍁🍁
Selamat menikmati, dan semoga bisa up sesuai jadwal seperti biasanya.
Tetap sehat, tetap taati protokol kesehatan, tetap jaga kewarasan.
ANFIGHT BATCH 6
#DAY 10
Bondowoso, 10 Januari 2021
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro