Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

membiru


Semuanya bermula dari jendela perpustakaan.

Kalau saja Pak Ruma tidak memberiku detensi— berupa memahami essay di pelajaran biologi sampai waktu istirahat—barangkali aku tidak pernah bertemu dengan si gadis pupil biru itu.

Namanya Ra—ya, hanya dua huruf. Surainya digerai panjang, berwarna gradasi antara hitam dan biru. Gadis itu mungkin cuma sebahuku atau bahkan lebih pendek. Memiliki hidung mancung serta tatapan sayu. Selalu Mengenakan gaun pendek selutut biru dongker.

Mulanya—sekaligus hari pertama berjumpa—aku sedang memilah-milah buku biologi di rak, aku cuma menyadari kalau ada sekelebat bayangan yang melintas di jendela. Hanya sepintas. Namun, itu tak hanya satu kali, tetapi berkali-kali. Aku menoleh, siluet itu tak muncul lagi. Kutebak hanya siswi di luar yang sedang lewat di koridor. Ini sekolah, kan?

Tiga puluh menit berikutnya, ketika keluar, aku menemukan satu tangkai bunga mawar di ambang pintu. Di lantai ujung sepatuku.

Hari kedua, Ra bertingkah lagi.

Langit bersimpuh sedih saat pulang sekolah. Sementara murid lain sudah pulang duluan, aku masih menunggu jemputan ojek di depan gerbang. Tak sedia payung atau topi, lantas aku bergeming sendu sendiri. Ajaibnya, aku yang sedang meratapi nasib, tak sengaja menoleh ke kiri bawah, mendapati sebuah payung kelabu tergeletak di samping kaki, di antara sepasang pot kaktus mini.

Padahal sebelumnya tidak ada apapun di sana.

Ketika hendak meraih, detik itu suara gemericik air dari langkah seseorang membuatku terinterupsi. Keningku mengerut saat menoleh arah kiri, kudapati sepasang kaki mungil melangkah menjauh dengan cepat. Ujung kebiruan dari gaun yang dikenakannya tampak lepek. Saat berdiri, tak ada seorang pun yang dapat kulihat. Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. Cuma halusinasi, pikirku.

Mengulang apa yang belum sempat terjadi, lagi-lagi sama halnya dengan hari sebelumnya, aku menemukan bunga lagi di samping payung kelabu.

Setangkai lili putih.

Hari ketiga, sang surya telah tenggelam di ufuk barat, waktu telah menunjukkan pukul sebelas, aku sedang bersiap tidur. Di meja belajar, lima potongan coklat dan beberapa bungkus permen kacang tersebar secara acak—aku habis belajar. Akan kubereskan pagi nanti, pikirku. Lampu kamar telah mati dan aku lanjut tidur.

Paginya, lima potongan coklat dan beberapa permen kacang di atas meja hilang. Hanya ada bungkusnya di sana. Ini aneh, batinku, tetapi ada yang lebih tak normal. Jejak telapak kaki seseorang mengotori lantai. Berlumpur dan becek. Asalnya dari jendela yang terbuka. Di sana ada potongan kain biru tersangkut di teralis, yang di atasnya terdapat setangkai bunga tulip biru.

Hari keempat, pelajaran kimia tengah berlangsung; aku sedang melamun sebab memikirkan kejadian semalam dan mapel yang berlangsung bukan keahlianku. Tak lama, kudapati seseorang mengetuk kaca jendela. Karena memang posisi dudukku ada di paling ujung dan paling sudut, aku  menoleh ke kaca jendela, serta menaruh tanganku di kening sebab silau. Nah sialnya—

"Abi, kayaknya kamu mau mengerjakan apa yang sudah Bapak terangkan di papan tulis," kata guru kimiaku tiba-tiba. "Silakan maju, Nak."

Sorenya ketika pulang, aku menemukan setangkai bunga anyelir dalam tas.

Hari kelima, ini yang paling di luar dugaan. Kukira bakal menemukan setangkai bunga lagi yang ditaruh seseorang ini secara acak. Namun, nyatanya malah bertemu langsung dengannya—yah, aku menciduk dia, lebih tepatnya.

Saat itu malam tengah turun, posisiku di dalam kamar. Seluruh tubuhku berada dalam lingkupan selimut lembut, kecuali muka. Puluhan coklat dan permen kacang kutaruh di atas meja belajar. Lampu sudah dimatikan, gorden jendela kusibak dan pintunya sengaja kubiarkan terbuka lepas.

Hitung-hitung, dalam detik ke menit tak ada yang terjadi. Tapi saat memasuki waktu puluhan dan mataku sisa seperempat watt menuju alam mimpi, bunyi gedebuk yang keras membuatku tersentak; ada seseorang yang mencoba masuk dari jendela.

Cahaya temaram bulan menerpa, membantuku melihat ... dia. Tak begitu jelas, yang mampu mataku tangkap sekadar perawakan seorang gadis, kira-kira usianya sepantaran denganku. Gaunnya agak gelap dan basah kuyup. Sementara, rambut panjangnya kelihatan lepek sekali. Seperti dia baru saja keluar dari kolam renang atau semacamnya. Air masih menetes-netes melalui ujung pakaian yang ia kenakan.

Dia masih berdiri di sana, memperhatikan sekitar dan belum menyadariku.

Aku memberanikan diri. "Si-siapa di sana?"

Tak ada jawaban.

Jemariku bergerak mengarah saklar lampu di dinding belakang. "Hallo, si-siapa pun kamu, tolong pergi dari rumahku dan ja-jangan pernah merusak jendela kamarku la-lagi—"

"Abi," katanya. Suaranya kecil, tetapi lembut masuk ke telinga.

"Kau tahu ... namaku?" Aku bertanya. Erat-erat kupegang selimut di tubuhku, kalau manusia di hadapanku ini membawa senjata jarak jauh, mampuslah. Panas dingin melandaku sekujur badan.

"Iya. Aku tahu nama kamu." Dia bergerak. Setiap langkah gadis ini meninggalkan jejak basah dan lumpur. Ia semakin masuk menuju meja belajar. Di mana semua coklat dan permen kacang berada. " ... Aku suka ini."

"Cok ... lat dan permen ... kacang?" tanyaku takut-takut.

"Iya," katanya, "manis."

Suara barang-barang berjatuhan terdengar, diiringi bunyi bungkus coklat dan permen dibuka. Aku cuma melihat punggung gadis ini, itupun samar-samar, tampak membungkuk sedang melakukan sesuatu. Jemariku senantiasa bersiap memencet sakelar lampu.

"Abi," panggilnya, lalu berbalik menghadapku. "Aku mau lagi."

"Maaf—habis," jawabku susah payah. Telunjukku gatal sekali di sakelar. "Itu stok terakhirku—besok Ayah bakal membelinya lagi. Maaf ...."

"Kamu siapa?" Pertanyaan itu akhirnya berhasil keluar dari mulutku.

"Aku ...." Ada jeda lama di sana. Seakan-akan dia melupakan identitasnya sendiri. Selagi mengingat-ingat, kuamati dia menjilati jemarinya dalam gelap. Sepertinya, noda coklat menempel di bibir dan jarinya. "Aku Ra."

"Ra ya .... Kenapa kau mengirimiku bunga secara diam-diam?" Aku bertanya lagi. Tidak mungkin pelakunya bukan seorang di depanku ini, aku yakin betul dia orangnya.

"Emm itu—anu—aku, aku nggak bermaksud—eh kamu menerima keempat bunganya?" Dia duduk di atas meja. Basahlah sudah tumpukan buku pelajaran dan alat tulisku di sana. Oh, yaampun.

"Aku ada lagi hadiah untukmu, lho!" katanya riang. Dia turun dari meja, lalu mencari sesuatu dari balik gaun pendek basah yang ia kenakan. "Bentar, ya—nah—ada!"

Kelopak mataku menyipit. Bunga apa lagi kali ini? Haruskah aku menghidupkan lampu? Telunjukku siap menekan—

"Jangan—"

Terlambat.

Kamarku seketika terang benderang. Di sanalah aku bertemu ... dengannya. Dia basah kuyup dari rambut panjang sampai kaki. Noda coklat tampak senang sekali berada di bibir dan jemarinya yang mungil. Di sanalah aku melihat matanya ... pupilnya warna biru laut. Indah dengan sorot sayunya. Sekali bersitatap, seperti aku sedang tenggelam dalam samudera yang dalam.

Namun, reaksi yang dia berikan membuatku terkejut. Ra cekatan berlari menuju jendela, keluarlah dia dari sana tanpa sepatah kata. Ia lemparkan bunga yang ingin dia berikan padaku sebelumnya; setangkai bunga Forget-Me-Not.

Sesingkat itu pertemuan kami.

Berhari-hari berikutnya, bermalam-malam selanjutnya, aku tak pernah bertemu dengan Ra lagi. Di sekolah, di depan gerbang maupun di kamar saat menjelang tengah malam seperti kali terakhir bertemu.

Hari berganti ke minggu, minggu ke bulan, Ra betul-betul tidak pernah menunjukkan eksistensinya lagi di sekitarku. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Siapakah gerangan dia? Dan apa maksudnya dengan bunga-bunga yang ia beri? Darimana asal Selena? Kenapa perawakannya seperi gadis tak ingat arah?

Selama itu, aku selalu melakukan hal-hal seperti yang dulu kulakukan ketika bisa bertemu dengannya. Dalam perpustakaan, aku duduk di bangku bermenit-menit sembari memandangi jendela paling sudut, harap-harap dia melintas seperti pertama kali kumelihat bayangnya. Aku pernah sengaja hujan-hujanan di gerbang depan tanpa menggunakan payung—kendatipun aku membawanya dalam tas—berharap dia datang memberiku benda itu, tetapi nihil. Yang kudapat hanyalah demam tiga hari dua malam.

Aku pernah menyisakan stok puluhan bungkus coklat dan permen kacang di atas meja belajar, kalau-kalau dia datang, semuanya akan kuserahkan padanya tanpa pikir panjang. Namun, sepanjang malam aku duduk di ujung ranjang, memandangi jendela dengan gorden yang menari akibat udara malam, tiada apa pun yang ada. Harap-harap dia datang, tetapi sampai pagi pun semua coklat dan permen kacang masih utuh. Tidak ada jejak kakinya di lantai, bahkan jendela masih terbuka tanpa tanda-tanda ada seseorang yang masuk dari sana.

Bertahun-tahun, aku naik sekolah ke jenjang SMA. Selama itu, aku kadang sengaja melakukan hal yang dulu kerap kulakukan supaya Ra datang lagi. Selama itu pula, aku selalu melamun dan terusan berpikir; kira-kira, bagaimana kabarnya sekarang? Baik-baik sajakah? Di mana dia berada? Apakah masih suka makan coklat dan permen kacang?

Tidak ada yang membuatku lebih tenang, selain memandangi lima macam bunga pemberiannya yang kusimpan dalam pot berkaca khusus di atas meja, yang setiap hari selalu kusempatkan. Bunga itu telah layu, bahkan beberapa di antaranya telah menjadi debu. Namun, aku selalu yakin, suatu saat nanti dia akan datang,

datang padaku.

***

apa makna lima bunga itu? XD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro