Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1. Heartless

Ketika SMP, sebagian besar temanku memiliki ponsel. Mereka mendapatkannya dari hadiah orangtua, kejutan orangtua, nilai bagus yang membuat orangtua bangga dan melakukan sesuatu untuk orangtua. Intinya ponsel itu hasil pemberian orangtua. Namun, hal yang sama tidak terjadi padaku. Aku tidak mendapat ponsel meski nilaiku bagus, meraih juara kelas, cerita pendek yang masuk koran, menang lomba, bahkan sampai mengharumkan nama sekolah. Seluruh tindakanku tidak menggerakkan hati orangtuaku. Meski aku agak berharap begini:

"Anastasya, kamu naik kelas dengan nilai terbaik! Sebagai hadiah, Mama berikan kamu ponsel."

"Wow. Hebat."

"Gunakan ponsel itu sesukamu dan Mama akan selalu membelikan pulsa setiap bulan."

"Terima kasih, Ma."

Nyatanya, hal itu tidak terjadi. Papa memberikan uang saku rutin setiap hari untuk jajan di sekolah. Meski ia tahu bahwa aku selalu membuat bekal untuk diriku sendiri.

Sebagai remaja pada umumnya yang tidak ada ponsel dan langsung uring-uringan. Aku tidak menyampaikan rasa itu ke orangtuaku. Ada dorongan bahwa sudah saatnya aku menemukan solusi sendiri. Dibanding berubah menjadi nyamuk berdengung yang terjebak bersama kawanan kodok. Aku menambung dari SD kelas enam. Awalnya untuk membeli buku koleksi terbaru. Entah kenapa obsesiku untuk memiliki barang yang sama dengan teman lebih memonopoli pemikiran.

Sulit membeli ponsel kalau tidak tahu tentang dunia teknologi. Gemerlap ponsel pintar yang memenuhi sudut kota. Singkatnya begini, aku menargetkan ponsel A dengan harga yang tertera di Majalah Gadget. Ketika beberapa bulan uangku hampir mencapai nominalnya, ponsel baru keluar dengan spesifik lebih gahar dan harga terjangkau. Aku memutuskan untuk menahan hasratku membeli dan menabung kembali. Ketika sudah cukup, keluar lagi produk ponsel baru. Hal ini terus berulang terjadi. Jadi, kapan ini berakhir?

Saat itu aku sadar bahwa teknologi terus berkembang. Produk ponsel terus berganti setiap hitungan bulan. Akhirnya aku membeli ponsel yang bisa mengirim pesan dan telepon saja. Menekan fungsional dibanding gaya. Tentu saja ada rasa bangga bahwa aku memiliki ponsel hasil menabung sendiri.

Namun kesenangan itu tidak bertahan lama.

Mama menyuruhku menjaga Alex, agar ia bisa mandi. Aku menyetujui hal itu karena kupikir bahwa hal-hal akan terkendali.

Aku datang ke kamar Alex, mengajaknya bermain. Kebetulan di ponselku ada game bounce. Itu loh yang bola merah bertualang untuk melewati berbagai rintangan. Dengan beragam rintangan dan tahap level. Aku memilihkan level easy agar Alex mudah memainkannya. Rencananya setelah ia berhasil melewati satu tahap, aku akan membacakan dongeng.

Di luar dugaan, lima belas menit ponselnya mati. Aku memang belum sempat menchargernya ketika meminjamkan ke Alex. Aku memaksa Alex untuk menyerahkan ponselku. Berjanji untuk mengisi daya dan ia bisa menggunakannya lagi. Dan kejadiannya sangat cepat, sehingga aku tidak sempat bereaksi.

Alex membanting ponselku. Ponsel yang aku beli dengan susah payah. Baterainya terpental entah ke mana. Chasingnya tersungkur di ujung ruangan. Tak cuma itu, ia mengamuk. Tangannya menggeratak seluruh barang. Melempar guling, bantal dan selimut. Boneka beruang sampai mental keluar kamar, tergeletak mengenaskan di tegel putih bersusun vertikal.

Detik itu juga aku langsung lari dan mengetuk brutal pintu kamar mandi. Meminta mama cepat keluar. Ya, ia memang keluar. Saking buru-buru sampai bajunya basah menempel di kulit.

"Ma, Alex mengamuk. Ponselku dibanting," kataku sambil menyeretnya memasuki lokasi kejadian.

Kamar Alex menjadi dua kali lebih parah dari satu menit yang lalu, saat aku tinggalkan. Dengan manjanya Alex mengulurkan tangan, meminta digendong ke mama. Mama ternganga. Aku menggeleng frustrasi. Layaknya kapal pecah yang baru saja dihantam badai, seperti itulah gambaran kamar adikku. Aku kesulitan menyusun kata-kata sesaat memungut chasing ponsel. Ingin menangis rasanya.

"Ma, Alex membanting ponselku." Aku mengadu untuk mengharapkan dukungannya. Menunjukkan ponsel yang sudah tercerai burai.

Mama menunjuk di bawah kolong tempat tidur. "Itu baterainya, coba ambil."

Aku mengikuti arah telunjuknya, memungut benda hitam yang tersembul di antara selimut dan bantal. Memasangkan kembali agar bersatu. Tidak banyak berharap bahwa ponsel ini akan kembali ke kondisi semula. Aku menyalakannya. Mama menunggu dengan sabar. Jangankan masuk layar menu, dinyalakan saja tidak bisa.

"Enggak bisa, Ma," kataku gemetar.

Tidak bisa kubayangkan bahwa ponselku akan rusak dengan cara seperti ini. Mama mengambil ponsel. Mengutak-atik mengharapkan hasil berbeda. Meski pada akhirnya hasilnya sama.

"Mati total," lapornya, seolah aku tidak tahu saja.

Mama mengembalikan ponsel rusak itu kepadaku, menggendong Alex. Adikku tersenyum polos, tanpa dosa, menggelayut manja di tangan mama. "Kamu bisa membeli lagi. Lagi pula, kamu masih SMA, pakai telepon rumah saja untuk menelpon," kata Mama.

Entah menggampangkan. Atau berusaha menghibur. Keduanya membuat aku mengerang. "Ma, aku menabung ini dari SD. Mama tahu itu. Ini ponsel kesayangan aku."

"Mama enggak punya waktu untuk mengantar kamu memperbaiki ponsel," katanya sambil mengamati sekeliling ruangan.

Aku menerka-nerka apa yang ada dalam pikirannya. Aku bilang, "Aku pengin Alex yang ganti. Ia harus diajari tanggung jawab sejak kecil!"

"Anastasya jangan berteriak-teriak. Kamu membuatnya ketakutan." Ia memarahiku. "Lagi pula Alex masih kecil, uang dari mana untuk mengganti? Jangan bicara aneh-aneh. Kamu menabung saja lagi."

"Menabung lagi tidak gampang!" Aku tidak bermaksud berteriak, tapi nada itu yang keluar dari bibirku.

Mama meledak. "Kalau tahu tidak gampang harusnya kamu tidak meminjamkan ponsel kepada adikmu yang berumur tujuh tahun ini!"

Aku terperanjat. Alex meringkuk ketakutan dalam pelukan. Mama berdeham.

"Kamu bisa menabung lagi. Atau memakai telepon rumah kalau ingin mengobrol dengan teman," kata Mama. Kali ini dengan nada lembut.

Menjawab atau tidak menjawab sepertinya sama saja. Tidak mengubah keadaan bahwa ponselku kembali lagi. Tidak mengubah bahwa aku amat sangat menyesal meminjamkan ponsel kepada Alex. Wajahnya tampak tidak merasa bersalah. Ia baru masuk SD, tapi kelakuannya dua kali lebih buruk dariku. Aku mengentakkan kaki, melengos pergi.

Aku menangis di kamar. Bukan untuk ponsel saja, tapi karena mama selalu membela Alex. Selalu membelanya. Ia bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk meminta maaf. Atau mengajak ngobrol seperti sebelum kehadiran Alex. Karena kini ia lebih sibuk dengan anak itu.

Pintu terbuka lebar mengejutkan. Aku cepat-cepat mengusap air mata. Papa menerobos masuk. Orangtuaku tidak pernah mengetuk pintu. Nah, ini yang paling aku benci. Tatapan papa yang menyiratkan bahwa ia telah berdiskusi dengan mama. Meski aku tidak berada dalam diskusi, aku tahu bahwa mereka berbicara begini, Anastasya bertingkah lagi. Tidak terbantahkan bahwa itu kebenarannya.

"Ana," Meski jutaan kali aku berkata jangan memanggil dengan sebutan itu. Tapi, papa tetap melakukannya. Nama Ana selalu mengingatkanku pada cewek tahun 1980 yang memiliki potongan rambut messy pixie, "kamu tahu keadaan Alex. Kamu harus mengerti. Papa yang akan ganti ponselmu."

Semua orang harus mengerti keadaan Alex. Tanpa repot-repot memikirkan perasaan Anastasya. Jelas sudah. Papa tidak perlu mengatakannya, tapi aku sudah mampu mendengarnya.

"Kamu bisa memilih sendiri ponselmu," kata Papa sambil tersenyum.

Aku tahu kondisi finansial keluarga. "Ponsel pintar," kataku mencoba.

Papa mengangguk. "Tetapi setelah Alex medical check up dari rumah sakit, ya?"

Aku tersenyum miris. Bahkan permintaanku harus selalu di nomor duakan. Karena, Alex selalu yang pertama. Meski aku tidak berharap bahwa orangtuaku cukup peduli untuk mengganti ponsel itu. Karena mereka pikir membeli ponsel itu gampang. Orangtuaku bekerja. Aku pelajar. Jelas itu perbedaan yang lebih dari sekadar benda mati.

Namun, sama seperti hari lainnya, aku harus berpura-pura untuk mengangguk. Bertingkah seperti remaja yang patuh orangtua, mengalah pada adik dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Papa keluar kamar mungkin dengan perasaan lega karena berhasil memenangkan hatiku dengan diskusi ini. Tanpa memiliki kemampuan lisan untuk memberitahunya bahwa aku jenuh berpura-pura.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro