Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Terlihat kekhawatiran Wawan saat mendengar kata Melty. Kemurkaannya sudah tidak ditujukan lagi pada Sammy, tapi pada Linda yang memegang ponsel.

“Bukahkah sudah kubilang padamu, seriuslah dengan persiapan wisudamu! Jangan bermain-main dengan hal yang tak berguna.” Direbutlah ponsel itu dari genggaman Linda.

Indra penglihat yang dimiliki oleh Sammy menangkap gerak-gerik Wawan. Sebelumnya, tampak emosi marah dan kesal terhadap perkataan atau tindakan sahabatnya. Tetalapi, setelah mendengar kata Melty, ekspresi kekesalan Wawan berubah sangat sedikit dan tidak jauh dari ekspresi sebelumnya.

Wawan yang memegang ponsel Linda mencoba meng-uninstall aplikasi itu. Terlihat bersicepat menghapusnya.

Linda tak terima dengan tindakan yang menurutnya terasa brutal. “Dengar! Mungkin kamu memang kekasihku, tapi kamu tak berhak memutuskan apa yang terjadi pada hidupku! Kita memiliki privasi dan kepentingan masing-masing!”

Linda merebut ponselnya kembali. Mereka bertiga duduk dan sudah tak menghiraukan lagi tatapan mata pengunjung yang ada di kafe.

Sammy mencoba memahami tingkah laku Wawan barusan, dengan tenang ia Mencoba memancingnya dengan percakapan pada Linda. “Linda, boleh pinjam ponsel milikmu?”

Linda mengernyitkan dahi. “Untuk apa?” Linda masih melindungi diri dari berbagai masalah yang ada. Wawan mengawasi pandangannya pada sahabatnya.

Karena jawaban Linda yang terlihat berhati-hati pada Sammy. Laki-laki dengan rambut landaknya yang tak begitu rapi itu menarik kembali tangannya. “Kalau begitu, ceritakan apa isi aplikasi Melty?” tanyanya.

Wawan merespon dengan emosi tinggi lagi, “Sam, kalau kamu merecohkan kami sebaiknya kamu pergi!”

“Aku hanya bertanya, aku pun tidak memaksa,” balas Sammy.

Linda menghela napas dalam-dalam. Menenangkan Wawan dengan kondisi raut wajah yang masih kesal. Lalu, ia memutuskan berkisah tentang aplikasi ini.

“Aplikasi ini menarik, kalau kamu memang penikmat musik. Layaknya, Joox atau Spotify. Lagu yang kamu dengarkan itu otomatis berputar tergantung pada postingan yang kamu ikuti atau kamu sukai. Selain itu, ada explore yang menyarankan kamu untuk melihat konten-konten. Jangkauan aplikasi ini juga luas. Tak hanya lagu Indonesia, mungkin lagu bahasa Inggris atau negara lainnya. Kapan hari pernah dapet lagu dari bahasa Spanyol karena aku memberi like pada suatu postingan dan music itu otomatis berputar,” jelas Linda. Lalu, teringat saat perempuan berbaju merah muda itu melakukan daftar akun di aplikasi itu. “Oh, sebelum mendaftar kamu juga diberikan survey tentang biodata, minat, kesehatan, sama konten yang akan diikuti,” tambahnya.

Telinganya menangkap sesuatu tentang kesehatan. Mencoba memilah data yang ia terima. Hingga terlintas di benak Sammy, apakah Melty yang memicu tindakan bunuh diri dan kriminal? Pandangannya beralih pada Wawan, karibnya itu terlihat gelisah mendengar penjelasan dari pacarnya.

“Kamu enggak apa-apa, Wan?” tanya Sammy. Sebelum Wawan menjawab, ponselnya berdering. Ia menyambut panggilan dari Dika.

“Balik sini, Sam. Kode yang dikirim agen Clown udah dipecahkan. Tidak diragukan lagi. Sepertinya, pendapatmu tentang aplikasi Melty benar. Ada yang mencurigakan dari aplikasi ini. Datanglah segera.”

Dika segera menutup teleponnya.

Tak sempat membalas panggilan dari Dika. Sammy meletakkan ponselnya di kantung. “Aku ke kantor dulu,” katanya sambil meninggalkan mereka berdua. Masih terngiang Sammy dengan tingkah laku Wawan. Mungkin saja itu adalah efek saat ia menjadi pengangguran. Tingkahnya jadi sulit terbaca.

Ketika Sammy sudah meninggalkan kediaman kafe, laki-laki yang baru saja dipecat itu menatap pada Linda. “Hapus aplikasi itu.”

“Kenapa kamu jadi posesif sih?” bentak Linda.

“Turutin saja perkataanku,” paksanya sambil wajah yang pucat.

***

“Apa kodenya?” Sammy yang datang  tergesa-gesa, bertanya pada Dika yang tenang dengan kertas dan tinta hitamnya.

“Jadi, waktu kamu pergi ke Wawan, aku dan beberapa rekan lain berkunjung ke pemakaman Agen Clown. Aku melihat ‘pertunjukan berbakat 100%’ pada judul bab yang ada di buku The School for Good and Evil yang dibaca oleh anaknya. Buku itu adalah karya Soman Chainani. Dan yang pasti bukunya sudah sangat dikenal dalam dunia fantasi yang pasti,” kata Dika.

“Tolong dilanjut,” pinta Sammy. Ren serta Mira juga sudah berada di sana.

“Oke.” Dika membuka buku tersebut. “Lalu, aku meminjam bukunya. Kode-kode itu, semuanya tertera pada buku ini. Jadi, angka-angka itu ada pada buku terjemahan. Beruntunglah aku mengingatnya dan menemukan kode yang ada pada judulnya. Dan tiga kata tersebut adalah kode yang dikirim oleh Clown.” Ia mengeluarkan pulpen dan kertas kosong untuk menulis jawabannya.

“Lalu, kami mencoba memecahkannya, pada tiap halaman. 335. 450. 221. 222. 80. 580. 104. Awalnya kami hanya membaca pada halaman tersebut. Tapi, petunjuk lain yang dikirim oleh agen Clown adalah Keyword – Last. Nah, di situ, kami mencoba mengambil beberapa kata terakhir pada tiap halaman,” lanjutnya sambil membuka tiap halaman yang ada. Angka-angka tersebut ia buka.

“335, siapa. 450, mereka. 221, sesuatu. 222, penjahat. 80, menghilang. 104, mati. Jika mereka dijadikan satu, ‘Siapa mereka sesuatu penjahat menghilang mati’. Entah itu sebuah kalimat atau tidak. Karena ini bukanlah kalimat utuh,” ungkap Dika sambil menutup buku kembali.

Dika membalik kertas yang berisi kode tersebut menjadi halaman baru dan melanjutkan perbincangan, “Lalu, kode selanjutnya, Mom. Eneru. Pol. Trafalgar. Clay. Saat aku melihat di rumah Agen Clown, anaknya yang masih SMP itu sepertinya menyukai One Piece. Karena ada banyak action figure di sa—“

“Tolong lanjutkan!” kata Sammy dengan sedikit nada membentak. Ia memejamkan matanya dan memainkan rubriknya.

“O, Oke.” Dika yang terlena dengan ceritanya melanjutkan, “kelima kata itu berhubungan dengan petunjuk yang diberikan sebelumnya. Down. Up. Down. Up. Down,” lanjutnya sambil menggambar bentuk diagram garis statistik.

“Lalu?” Mira yang sedang memerhatikan Dika mulai angkat bicara. Pria single itu terhentak jantungnya saat Mira mengeluarkan suara. Hatinya berdegup kencang. Konsentrasinya berasa terbagi. Anak adam dengan mainan rubriknya itu mulai kesal dengan Dika yang gampang terkecoh daya pikirnya setiap saat. Lalu dengan cepat, Dika menyadari hal itu. Ia melanjutkan lagi penjelasannya. Sebelum mulutnya terbuka, Ren mendahului

“Grafik apa itu, Dik?” Ren memetik korek dan menyalakan sumbu rokoknya.

“Detak jantung? Statistik perekonomian?” sahut Sammy dibalut rasa penasaran.

“Diagram garis ini bukan menunjukkan detak jantung ataupun perekonomian. Melainkan sebuah pembatasan antara tiga huruf dan dua huruf. Mom, Pol, dan Clay berada di posisi bawah, sedangkan Eneru dan Trafalgar berada di posisi atas. Awalnya, kami mencoba menggabungkan petunjuk keyword – last yang dikirim oleh Agen Clown. M. U. L. R. Y. Mulry. Kami tidak yakin dengan petunjuk ini. Tapi, ada seseorang yang memiliki nama ini. Entah ada hubungan atau tidak.” Ia mencetak foto dan memberikannya pada mereka bertiga.

“Mulry  Dwi Lazuardi, mempunyai praktik sebagai konselor psikologi, bekerja di daerah Jakarta Selatan.” Tampang yang aneh, tapi bersih seperti banci membuat seluruh orang yang ada di sana sedikit jijik melihatnya. Botak dan kurus. Seperti bulatan bakso halus.

“Ini!” Seluruh mata tertuju pada suara Sammy.

“Kenapa?” Kepulan asap rokok milik Ren mengalir ke Sammy.

“Tadi pagi aku lihat orang ini di depan rumah. Agak aneh, karena aku kira orang gila yang berdiri tegap di depan rumah. Dia lebih lusuh daripada foto ini." terang Sammy, matanya tak pernah salah menangkap wajah milik seseorang.

“Oke, itu dibahas nanti dulu, Sam. Aku mau jelasin ini dulu,” sela Dika, lanjut pada diagramnya. Sammy melipat dan menaruhnya di sakunya.

“Nah, setelah itu, tanpa sengaja kami mengutak atik huruf yang ada pada kelima kata ini. Tetap kami berpatok pada keyword – last. Mencoba menggunakan huruf depan saja. MEPTC. Tidak masuk akal. Lalu kami menemukan, kalau diagram yang dgunakan adalah untuk memisahkan mereka. Tiga huruf depan pada titik bawah dan huruf terakhir pada titik atas.”

“Melty,” gumam Sammy.

“Yep. Betul,” respon Dika. Ia memberikan semua lembar dan kode-kode tersebut. “Ah, satu lagi. Setelah kelima huruf tersebut ada tulisan ‘pertunjukan berbakat 100%’ di situ, kami juga menggunakan keyword – last. Tertulis kata ‘pembunuh’,” lanjutnya.

Ruangan menjadi penuh dengan hawa yang tegang. Sammy memutar balik otaknya untuk menemukan fakta lainnya. Lembar kode itu. Ada yang belum terungkap. Mira menarik kertas itu dan bersuara.

“Dik, apa arti huruf ‘Y’ ini?” Mira mengajukan lembar itu tepat di hidung Dika.

Unfortunately, kami masih belum memecahkan itu,” keluhnya sambil berdiri dari kursi. Setiap kata yang keluar dari mulut Mira membuat hatinya berkata seperti dag dig dug.

Sammy mengambil pecahan jawaban itu. “Ini bukan huruf ‘Y’, ada sesuatu yang lain tapi ini …,” ia menatap kode dan jawaban itu bergantian. “Siapa Mereka Sesuatu Penjahat Menghilang Mati. Melty. Pembunuh. Y.”

Lembar itu diremasnya saat berpikir. Mencoba memilah kata dalam perpustakaan pikirannya. Hingga satu titik Sammy tersenyum puas. “Got you! Ini memang huruf ‘Y’ tapi tidak dibaca dalam bahasa Indonesia. Tapi dibaca dalam bahasa Inggris.”

What? Y?” Mira merespon perkataan.

Yes! Why? Pelafalannya mirip,” sontak Sammy girang. “Why? Why? Why? Kenapa?” Sammy berdiri, bermain lagi bersama rubrik miliknya yang mulai berotasi di genggaman tangannnya.

Ren hanya berdiri dan mengisap rokoknya. Membiarkan anak didiknya untuk mengasah otak. Dia tidak ingin ikut campur dalam kasus yang memang ingin Sammy tangani sendiri.

“Ada apa dengan Melty. Menghilang. Mati.”

Deg!

Sammy berhenti dan menyelesaikan rubriknya dengan sempurna. “Ren. Sepertinya kita akan mejenguk pasien hilang di rumah sakit,” ungkapnya sambil tersenyum. Bergegas ia keluar dari lab kantor dan menuju rumah sakit.

Ren dan Mira menyusul di belakang. Sedangkan Dika kembali berjaga dan beristirahat setelah memecahkan kode tersebut.

***

Angin malam bergoyang dalam kegelapan. Menusuk tiap kamar yang ada di rumah sakit. Jam besuk sudah tutup beberapa menit lalu. Anggota kepolisian mendapat izin khusus terkait salah satu pasien yang ada disini.

Mereka tiba di depan kamar dan melihat pintu itu sudah terbuka. Ada perawat di sana dan mencoba membujuk Maria yang menapakkan kakinya di pintu jendela dari lantai tujuh untuk terjun, tapi suara perawat itu tidak didengarnya. Maria tersenyum. Wajahnya terlihat menyeramkan.

Hembusan udara pada malam itu menemani kehadirannya. Maria dengan senyumnya yang menakutkan menatap ke jalanan di bawah kakinya. Senyum keputusasaan. Sesaat, ia merebahkan badannya pada aspal jalan.

Waktu terasa lambat, Sammy dan Ren yang mencoba meraih tubuhnya tak sempat tersentuh. Hanya mendapatkan angina kosong pada tangan. Mereka berdua hanya melihat Maria yang melayang jatuh dan mencium bumi.

Perawat perempuan itu shock dan jatuh terduduk. Mira dengan rambut blonde itu bergegas turun dan mencari perawat atau dokter terdekat untuk memantau keadaan Maria yang jatuh.

Sammy mengikuti langkah Mira. Saat keluar kamar, terlihat sosok laki-laki bertopi mengenakan kemeja biru navy dan tas sling warna biru jeans. Postur tubuh yang mirip dengannya, kurus, dan rambut klimis. Sangat familiar. Hingga orang itu menatap pada kehadiran Sammy dan beranjak dari balik tembok. Sammy mengikuti dari belakang.

“Woii! Berhenti!” teriaknya.

Laki-laki bertopi tidak berhenti dan terus berjalan. “Tolong, berhenti!” Ia berteriak sekali lagi. Tak berhenti. Berjalan. Mendekat pada pintu darurat. Dirinya terasa terancam, hingga ia memutuskan untuk lari dari kejarannya.

“Sial!” gumam Sammy juga melaju kencang. Mereka menuruni tangga darurat dari lantai ke lantai. Kejar-kejaran seperti Tom & Jerry. Terlintas satu jawaban yang cocok untuk postur tubuh itu.

“Wawan!”

Teriakannya membuat aksi pria itu berhenti di lantai pertama, dekat dengan pintu keluar. “Kamu Wawan kan?” Pria rubrik itu juga berhenti. Bertanya padanya. Perlahan ia memperpendek jarak percakapan mereka.

“Wan? Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu lari setelah melihatku?” tanyanya dengan langkah terjinjit pelan.

“Diam di tempatmu, Sam!” bentaknya. Wawan memutar badannya. Wajah mereka berhadapan satu sama lain. Tebakan Sammy benar.

“Tunggu. Kamu, ke sini ngapain? Tolong jelasin kenapa kamu lari dariku?” Sammy memasang wajah curiga dan menganalisa gerak-geriknya dan sedikit berhati-hati. Ia membawa hp di tangan kanannya dan terlihat pada layarnya bertuliskan ‘Melty’.

“Wan? Bukankah seharusnya kamu tidak mengizinkan Linda menggunakan aplikasi itu? Tapi kenapa—,“ kalimatnya terpotong.

“Sam,” rintihnya. “Aku bukanlah sosok yang kamu kenal.” Wawan meneteskan air mata.

“Saat ini diriku, bukanlah diriku. Seseorang seperti mengambil alih tubuhku dan aku bukanlah aku. Jangan pernah kamu me—“

Dor!

Peluru itu menghantam kaki kanan Wawan, hingga tergeletak kesakitan.


______________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro