12
Almiji Widyana dan Maria Ananta, apa mereka juga memiliki aplikasi Melty? Pikirnya yang mulai menguak satu per satu korban yang sudah meninggal. Datanya sangat tidak cukup.
Sammy membutuhkan korban-korban yang akhir-akhir ini melakukan tindak bunuh diri, kriminal, dan pembunuhan. Setelah peluncuran aplikasi ini, dia membutuhkan orang-orang yang sudah mendaftar aplikasi tersebut.
“Tunggu,” gumam Sammy. Dia berpikir tentang siapa saja yang saat ini sedang menggunakan Melty. “Wawan, Dika, dan Linda!”
Sammy langsung mengambil ponsel dan menelepon Linda. Nomor yang dituju berada di luar jangkauan. Sammy mencoba berulang kali, tetapi tidak ada respon dari Linda. Jam saat ini sudah menunjukkan pukul 01.25 dini hari. Linda tidak mungkin mengangkatnya karena ini sudah memasuki jam tidur. Sammy akan mencobanya lagi nanti subuh.
“Siapa mereka? Kamu belum menjawab pertanyaan Ayah,” tanya Ayah yang sedari tadi melihat dan memegang profil mereka.
“Perkiraanku, mereka adalah otak dibalik penciptaan aplikasi Melty, CV Melodia TechApp. Mereka berdua adalah lulusan psikologi, aku tidak yakin jika mereka mampu membuat segila ini untuk sebuah aplikasi. Pasti ada teknisi lain juga yang mampu membuat sistem seperti itu. Sial hari ini melelahkan,” kata Sammy yang meletakkan tubuhnya di atas kasur. Dia memejamkan mata dan menghela napas yang cukup panjang.
Ayah yang melihat kondisi anaknya seperti itu berkata, “Istirahatlah, sebentar. Kamu perlu meriset dirimu dulu biar bisa digunakan kembali. Otak juga butuh istirahat. Jangan diasah terus-menerus, bisa konslet.”
Ia pun menaruh biodata yang dipegangnya itu di atas meja Sammy. Dia melangkah keluar kamar dengan mengantongkan kedua tangannya di saku celana. “Sam,”—berhenti di depan pintu—“Kamu bukan Sherlock Holmes. Ingat itu.”
Ayah memegang saklar lampu yang berada di dekat bibir pintu. Dia mematikan lampu kamar Sammy dan memegang pintu kamar, lalu menutup pintu itu dengan pelan.
Memang benar, Sammy bukanlah Sherlock Holmes yang selalu mengatasi kasus tanpa henti. Dia hanya manusia biasa yang membutuhkan asupan pola makan dan istirahat yang cukup. Sebuah pola yang tidak bisa ditolak untuk menjalani sebuah hidup. Kepalanya mulai terasa berat. Kasur empuknya itu menuntunnya untuk tenggelam dalam lautan mimpi yang berujung pada rasa nyaman. Ia tertidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu.
***
Jarum jam sudah berada di angka 07.30 pagi. Aroma masakan ibu mulai tercium dari dapur ke seluruh penjuru rumah. Minggu pagi menyambut keluarga untuk menikmati hari libur bersama. Ibu sudah terbangun sejak matahari belum menampakkan dirinya. Priski yang berjalan dari kamarnya menyeret kakinya sambil menggendong guling unicorn miliknya. Rambut panjangnya yang masih acak-acakan. Kelopak mata yang masih lengket dan belum terbuka sepenuhnya. Dia menguap lagi. Meraba kursi dan menariknya agar bisa duduk.
Sedangkan Sammy, dia masih terlelap dengan pakaian kemarin. Namun, aroma masakan daging cincang dengan kentang itu masuk terbawa oleh udara dan masuk ke sela-sela lubang pintu dan menyentuh indra penciuman Sammy. Dia akhirnya terbangun. Mengambil ponselnya dari meja dan berjalan menuju dapur dengan mengusap kedua matanya. Sammy melihat Priski yang sudah duduk diam di sana dan menyusulnya untuk duduk di sampingnya.
Mereka berdua duduk melihat punggung ibunya sedang memasak. Aroma itu juga memanggil ayahnya yang sedang berkebun di halaman depan. Meletakkan sekop dan melepas sarung tangannya. Ayah berjalan ke samping rumah dan membuka pintu geser yang langsung menuju dapur.
“Stop!” kata Ibu yang mengarahkan sendok sayur pada ayah. Ayah juga berhenti. “Ayah mandi sama bersih diri dulu. Sekalian alat-alatnya di kembalikan dulu.”
Sammy dan Priski melihat ayah dengan tatapan masih mengantuk.
“Kalian berdua,”—tunjuk Ibu pada Sammy dan Priski—“Sammy bantuin Priski mandi, habis itu kamu juga mandi dulu. Kemarin bilangnya mau ganti baju, tapi tidur masih pake baju kemarin pula,” omel Ibu.
Sammy melihat pakaiannya dan baru sadar jika dia belum mengganti pakaiannya. Dia meletakkan ponselnya di atas meja makan. Lalu, beranjak dan menggandeng tangan Priski ke kamar mandi di dekat dengan halaman belakang rumah. Sedangkan, ayah juga menuju kamar mandi dekat dapur. Ibu juga melanjutkan masak.
Setelah mereka semua membersihkan diri selama lima belas menit, mereka kembali ke ruang makan dan duduk dengan hidangan yang sudah tersaji. Ibu juga sudah menata piring dan gelas di atas meja. Wewangian keluarganya yang sudah mandi menambah suasana di ruang makan jadi lebih terasa nyaman. Hanya tinggal sop merah saja.
“Nambo gak pulang, Bu?” Sammy mengambil nasi dari bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Ibu hanya mengangkat bahu.
“Kayaknya dia gak bisa pulang dulu. Kampusnya juga mau ada UAS.”
Ibu mematikan kompor dan mengangkat panci berisi sop merah yang baru matang dengan kain lap. Diletakkan di tengah meja makan. Mereka berempat mulai mengisi perut. Cukup tenang karena tidak ada pembahasan yang berat.
Terdengar suara knalpot dan memarkir motor di depan rumah. Suara knalpot seperti motor tahun 70-an ini seperti milik Nambo, pikir Sammy. Suara ceklekan pintu depan yang terkunci tidak bisa dibuka. Ibu meletakkan mangkok milik Priski dan berdiri untuk membuka pintu depan, tetapi ketukan dari pintu geser samping dekat dengan dapur terdengar.
“Kak, Nambo!” cengingis Priski menunjuk pintu itu.
Laki-laki dengan rambut panjang yang lurus sepinggang itu menggantung dengan wewangian mentol di sekitarnya. Setelan kaos dan celana jin serta yang sederhana dia gunakan. Tas gitar dan ransel yang di bawa bersamaan itu di letakkan di depan pintu. Melepas sepatu dan masuk ke arah dapur.
“Hmm, aroma masakan Ibu tercium dari luar.”
Dia langsung menghampiri masakan itu dengan wajah yang penuh dengan debu jalanan dan keringat.
“Nambo, apa Ibu bilang jangan langsung nylonong gitu aja kalo masuk rumah,” omel Ibu. “Bersih diri sana dulu. Kotoran di jalan nempel semua itu.” Ibu menepuk dengan keras pada punggung Nambo.
“Argh. Iya Bu, iya,” keluh Nambo. Dia mengambil kembali barang bawaannya yang dia taruh di luar. Nambo pergi menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Sammy. Seluruh keluarga melanjutkan makan sambil menunggu Nambo selesai mandi.
Selama sepuluh menit berada di meja makan tersebut tidak ada bahan obrolan sama sekali kecuali Ibu dan Priski yang harus bersabar untuk menyodorkan makanannya. Ibu melihat dua orang laki-laki di depan matanya yang memasang wajah seperti menumpu rasa lelah terlihat begitu jelas. Beban yang tak terlihat itu menjadi sangat berat bagi mereka untuk dijinjing.
“Hei, hei, hei!! Yuhuu. Nambo datang!” kata Nambo yang berlarian dari kamarnya. Dia memecahkan fokus seluruh keluarga. Menarik salah satu kursi kosong yang ada di meja. Mata Nambo menangkap aura dari ayah dan kakaknya sangat tidak enak untuk dipandang.
“Ini pada ngapain kalian? Kenapa wajah keluarga ini suram? Rumah hantu jadi kalah pamor dengan keluarga ini,” ceplos Nambo yang duduk dan mengambil piring kosong di meja makan.
“Nambo!” bentak ibunya dengan menjajalkan sesendok sup pada Priski.
“Apa? Aku salah, ya?” tanya Nambo dengan percaya diri jika dia tidak melakukan kesalahan sama sekali. Ibu hanya menggelengkan kepalanya.
“Ini deket sama UAS, kok kamu pulang?” tanya ibu. Mencoba untuk mengalihkan topik agar suasana di ruangan tersebut tidak suram.
“Apa? Aku tidak diizinkan untuk pulang ke rumah?” ungkap Nambo yang sedikit mengejek untuk bercanda. Ibu lelah mengajak bicara pada Nambo.
Ayah mengerti jika Ibu menyadari tentang suasana ini. Dia pun membuka suaranya dan bertanya pada Nambo, “Gimana kuliahmu?”
“Ya, kuliah ya gitu-gitu aja. Apanya yang gimana?”
“Skripsimu? Apa juga gitu-gitu aja?” tanya Ayah langsung to the point. Nambo belum membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan itu.
“Yaahh,”—dia berdiri untuk menjangkau nasi—“gak gitu juga sih,” jawab Nambo. Lalu, dia duduk kembali setelah nasi yang dia ambil cukup memenuhi piring kosong itu.
Sammy menghabiskan dengan lahap makanannya. Tiba-tiba Sammy berkata pada Nambo, “Nam, ntar abis makan bawa barang-barangmu ke kamarku.” Sammy menyela obrolan antara ayah dan Nambo tanpa melihat situasi.
“Aku tunggu.” Sammy meninggalkan meja makan itu dan kembali ke kamarnya.
“Apa-apaan itu, selalu saja tak berperasaan. Adiknya baru aja sampe rumah kaga disapa, kaga disambut, main asal suruh aja,” keluh Nambo. “Anjing, lah.”
“Heh. Mulutmu, Nam. Ada Priski ini di sini,” omel ibu padanya.
“Ya, emang dari tadi ada Priski di sini. Ya kan, Dek?” Nambo mengajak ngobrol ke Priski. Priski yang tak mengerti apa-apa itu juga hanya mengangguk dan mengunyah makanannya.
Ya Tuhan, ini anak-anak ini pada ngikut siapa sih sifatnya, pikir ibunya. Tangannya mengelus dahi melihat kelakuan Nambo yang terlalu blak-blakan dan Sammy yang cuek dengan keadaan. Ayah juga hanya memasang wajah cuek dan tidak peduli akan urusan anak-anaknya ini.
***
Di suatu kamar VIP-C di rumah sakit, Ren yang menunggu di ruang inap Dika pergi keluar sebentar untuk mencari makanan dan mengisi perutnya. Semalam hanya rokok saja yang masuk ke tubuhnya. Menutup kembali ruangan tersebut dan pergi ke lorong kanan.
Saat Ren pergi meninggalkan ruangan tersebut, datang seorang laki-laki dengan masker dan rambut yang semir kecoklatan melangkah ke depan ruangan VIP C. Pria itu memegang gagang pintu dengan sarung tangan dan masuk ke kamar tersebut. Dia berdiri di samping tempat tidur atas nama pasien ‘Dika’. Melihat Dika berbaring dengan infus yang terpasang di tangannya dan ventilator di mulutnya.
“Yah, Bro, kalo kamu tetap diam aja. Urusan gak bakal runyam begini,” kata laki-laki itu sambil membuka masker.
Orang yang cukup dicari oleh Gavin dan juga kepala redaktur di tempat Wawan bekerja.
Keheningan menyertai kamar itu. Hanya ada suara elektrokardiogram saja yang menciptakan kondisi detak jantung Dika. Wajah yang berbaring itu sangat lelap dan sangat tenang di kasur rumah sakit. Pakaian putih yang memeluk erat pada tubuhnya yang tertidur.
“Apa ini? Harusnya kamu masih bisa nikmatin hidup, Dik,” ungkap Dyaksoo pada Dika yang tak sadarkan diri.
“Padahal, Jyana sudah membolehkan kita melakukan sesuka hati kita sebelum giliran kita datang. Kenapa kamu malah mau mati duluan. Apa itu memang keputusanmu?” Dyaksoo lantas berjalan dan memilih duduk manis di depan tempat tidurnya serta menundukkan kepala.
“Kamu terlalu cepat mengambil keputusan ini dengan bulat. Kita memang menuruti semua perkataan Jyana, tapi kalo dikata anak buahnya juga tidak. Kita juga memiliki pemikiran sendiri.” Dia mengangkat kepalanya lagi dan menatap ke jendela.
“Aku masih ingat, saat pertama kali kamu ikut bergabung dengan program milik orang ini. Kamu pernah mengatakan ‘aku tidak sudi hidup dalam genggaman tangan manusia yang kotor’”—Dyakso mengeluarkan sebungkus permen karet dari kantong celananya—“ya, cara Jyana cukup kotor oleh orang sepertimu yang sangat meyakini sebuah keadilan. Apa? Membunuh manusia-manusia sampah yang tak berguna bagi masyarakat sekitar,” kata Dyaksoo.
Dika masih diam termenung di sana. Obrolan satu arah yang tidak dapat dijangkau olehnya.
Dyaksoo membuka bungkus permen karet itu lalu mengunyahnya perlahan. “Tapi nyatanya, memang harus membutuhkan penjahat untuk menangkap penjahat, prinsip yang digunakan oleh Jyana. Benar adanya, orang seperti Jyana cukup kita kagumi. Menghabisi seluruh manusia sampah itu agar dunia menjadi damai.”
“Tujuan kita memang satu, menciptakan dunia tanpa ada kejahatan,” jelas Dyaksoo.
“Miji, dia memang baru saja naik daun, tapi baru segitu aja sombongnya setengah mati membuat dia sangat senang membully dari kalangan rakyat jelata hingga orang-orang terkemuka. Saat orang-orang itu membalas perbuatannya, dia tak bisa menerimanya dan termotivasi untuk bunuh diri. Orang seperti itu memang tak pantas untuk hidup. Lalu Maria, cukup mengejutkankan, kesehatan mentalnya juga lemah dalam menghadapi keadaannya dia sendiri. Hingga membuatnya membunuh dan membakar ayahnya. Akhirnya juga Jyana membunuhnya,” ujar Dyaksoo yang masih dengan permen karet terkunyah di mulutnya. Dia mengembus napas berat.
“Well, apa kamu juga butuh bantuan, Dik?” tanya Dyaksoo. “Sepertinya, iya,”—dia berdiri mendekati ventilator yang terpasang di mulutnya—“aku bantu ya, biar kamu lebih ringan dan tidak ada beban.”
Dyaksoo mencabut alat bantu pernapasan tersebut dari mulut Dika dan mencabut infus yang tertancap di tangannya.Ia pun lalu keluar dari ruangan tersebut.
“Selanjutnya adalah … Wawan.”
____________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro