07. Tidak Punya Alasan
Aku tidak punya alasan untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi meski sangat ingin melakukannya agar kau tidak pergi.
-Lee Jieun-
***
Musim dingin memang bukan waktu yang enak untuk keluar-keluar ruangan apalagi jalan-jalan. Jangankan di musim dingin, di musim lain saja Lee Jieun malas untuk keluar ruangan. Hal ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Waktunya berakhir di dalam ruangan, bekerja di depan komputer seharian, atau melakukan pertemuan dengan klien di kafe-kafe dekat kantor atau kalau kliennya bersedia, maka mereka akan bertemu di kantornya saja.
Tetapi, agaknya hal itu tidak berlaku untuk Hong Yuchi. Gadis yang mengaku sedang patah hati beberapa hari lalu itu dengan bersemangat menyeret Jieun keluar kantor saat jam kerja telah berakhir dengan dalih minta temani membeli kopi ke mall. Jieun tentu sudah melakukan semua upaya yang dia bisa untuk menolak, dan lagi pula untuk apa sih hanya membeli kopi saja sampai harus pergi ke mall segala? Namun, yah, selain pemaksa, Yuchi selalu punya tatapan dan rengekan yang membuat Jieun akhirnya menyerah dan membuat dirinya sendiri berakhir di tengah keramaian ini.
"Kudengar kedai kopi yang baru dibuka ini punya rasa yang sangat spektakuler. Akhir-akhir ini sedang jari trend, apa kau tidak tahu?"
Jieun mengangkat alis, kemudian menggeleng, "Kopi di kantor lebih enak. Gratis pula."
"Ah, aku lupa kau sudah jadi kudet sekarang."
Lalu Jieun tidak sempat membalas ketika Yuchi menarik lengannya dengan cepat ke arah workshop kopi di bagian ujung yang antriannya lumayan panjang.
"Kau saja yang antri, aku gerah," ujar Jieun kemudian mulai menjauhkan diri dan duduk di salah satu kursi.
Yuchi tentu saja tidak akan membantah. Dia menyatukan ibu jari dan telunjuknya, mengangkatnya sejajar dagu sambil tersenyum kemudian mulai mengambil nomor antrian.
Setengah jam kemudian, Yuchi kembali dengan dua buah kopi dalam kresek di tangan kiri dan entah makanan apa itu di tangan kanan.
"Akhirnya aku bisa pamer di Instagram!" seru gadis itu mengangkat kantong belanjaannya, membuat Jieun yang lelah menunggu merotasikan bola mata.
"Sudah bisa kita pulang?" tanya Jieun retoris. Namun, Yuchi mengangguk semangat sebagai balasan.
Jieun benar-benar tidak habis pikir mereka menghabiskan waktu satu jam hanya untuk membeli kopi. Itu belum termasuk waktu berkendara pulangnya. Ah ... Hong Yuchi ini benar-benar.
"Ini punyamu." Yuci mengulurkan satu cup kopi pada Jieun beserta satu paperbag yang dipegangnya di tangan kanan. "Dan aku juga membelikanmu donut," ujarnya.
Jieun mengambilnya, kemudian berbalik, bersiap untuk pergi. Namun, ketika menyadari Yuchi tak kunjung mengikutinya, Jieun berbalik lagi. "Ada apa?" tanyanya.
"Eum ... Ji."
"Ya?"
"Aku tidak bisa pulang bersamamu. Aku harus bertemu seseorang. Tidak apa-apa, kah?"
Jieun melongo di tempat. "Seseorang? Siapa?"
Namun, Yuchi tak kunjung menjawab dan alih-alih bicara, gadis itu hanya menggigit bibir bawahnya. Di titik itu, Jieun langsung mengerti "seseorang" yang dimaksud di sini itu siapa.
"Park Jimin?"
Jieun menunggu sebentar, agak terkejut ketika Yuchi menggeleng. Namun, di saat bersamaan Jieun bersyukur itu bukan Jimin. Yah, Jieun tahu, bahkan Yuchi sendiri sadar jika Jimin itu brengsek. Tapi anehnya Yuchi tetap saja mau menerima Jimin kembali berulang kali dan memaafkan pria itu lagi. Jujur, Jieun sangat benci ketika Yuchi selalu menangis dan mengadukan hal yang sama kepadanya. Tentang Jimin dan segala kebrengsekannya. Namun, kali ini berbeda.
"Siapa?" tanya Jieun lagi.
Yuchi memasang senyuman tersipu. "Seseorang ... yang luar biasa," jawabnya membuat Jieun nyaris tertawa terbahak-bahak di tengah dinginnya udara musim dingin.
"Oh! Itu dia!" Tak lama Yuchi berseru, dan mulai melambaikan tangannya. "Kak!" katanya keras-keras tanpa peduli orang melihat ke arah mereka.
Seorang pria dengan potongan rambut belah samping, beserta mantel panjang berwarna cokelat membalas lambaian tangan Yuchi sambil tersenyum lebar kemudian menghampiri mereka.
"Hei!" sapanya, kemudian mereka berpelukan. Dan tentu saja Jieun akan tetap diam di tempatnya.
"Ji, kenalkan ini Kim Taehyung, pacarku. Kak, kenalkan ini Lee Jieun, sahabat terbaikku selamanya."
Kim Taehyung menatap Jieun, kemudian tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya, "Taehyung," katanya dengan suara berat yang dalam.
Jieun membalas uluran tangan pria itu dan menyebutkan namanya.
Dari penampilannya, Lee Jieun rasa Kim Taehyung terlihat seperti pria baik-baik. Semoga saja penampilan dan hatinya sama baiknya.
"Mau pergi sekarang? Filmnya pasti akan segera mulai." Yuchi yang sudah bergelantungan di lengan Kim Taehyung bertanya dengan suara yang dilembut-lembutkan.
Kim Taehyung mengangguk, kemudian menoleh ke arah Lee Jieun. "Bagaimana dengan Jieun?"
Yuchi tersenyum lebar, kemudian melambaikan tangannya. "Jieun sudah mau pulang, dia tidak suka tempat ramai begini. Benar, kan, Ji?"
Jieun yang segera mengerti kode tersirat sahabatnya itu, langsung mengangguk-ngangguk. "Ya, benar, aku akan segera pulang. Jadi nikmati waktu kalian yaa." Lalu melambai-lambai ke arah Yuchi yang mulai melangkah pergi bersama Kim Taehyung.
Jieun menghela napas berat ketika dua manusia itu sudah tak terlihat lagi, kemudian kembali duduk ke kursinya yang tadi, memasang pipet pada kopinya dan sedikit mengernyit ketika menyeruput. Ternyata kopinya pahit. Bisa-bisanya Yuchi rela mengantri untuk kopi-pahit-sedikit-tidak-enak ini hanya untuk mengikuti trend. Namun, yah, boleh jugalah kopi pahit ini. Toh setidaknya bukan hanya hidup Jieun yang pahit. Haha.
Apa Lee Jieun sudah terlihat menyedihkan sekarang?
Jieun lagi-lagi menghela napas, kemudian berdiri. Yah, ada baiknya dia langsung pulang dan segera menghempaskan diri ke tempat tidur. Untung saja dia membawa mobilnya atas usul Hong Yuchi, yang Jieun rasa memang sudah direncanakan oleh gadis itu. Yuchi dan segala akal liciknya itu ... memang sesuatu.
"Lee Jieun?"
Seseorang baru saja menyebut namanya, dan suaranya familiar, jadi Jieun berbalik.
Benar saja. Itu dia. Memang Jieun sempat terdiam beberapa detik, tapi dia segera mengendalikan situasi dengan sedikit menunduk hormat. "Hallo, Pak Jeon. Selamat malam," sapanya.
"Ji, ayolah."
Jieun menaikkan alis. "Ya?"
"Jangan bersikap seformal itu padaku. Kita sedang tidak di kantor tahu," setelahnya Jeon Jungkook tertawa kecil.
Jieun sedikit terkejut Jungkook bisa tertawa semanis ini dan berlaku hangat padanya setelah sebelumnya dia kira pria itu sudah melupakannya, memutuskan segala hubungan mereka yang ada dan hanya menyisakan bagian atasan dan bawahan saja.
"Kupikir kau tidak melihatku di kantor tadi. Kau ... terlihat berbeda."
"Bagaimana mungkin aku tidak melihatmu di ruangan sekecil itu, Ji. Hanya saja ... yah, aku akui aku memang berbeda di kantor. Aku jadi ... lebih berkharisma?" Jeon Jungkook menaik turunkan alisnya, membuat Jieun tanpa sadar ikut tertawa.
Jungkook terdiam sebentar. "Ah, sudah lama sekali tidak melihat kau tertawa, Ji. Dan itu masih saja memukau," ujarnya kemudian, membuat Jieun sedikit bersemu.
Tidak bohong, Jieun akui hatinya tiba-tiba merasa sangat hangat meskipun udara dingin saat ini. Jungkook melakukannya hanya dengan beberapa kalimat dan Jieun sudah merasa seriang ini setelah sebelumnya kehilangan semangat.
"Hei, Ji!" Seseorang menghampiri Lee Jieun dengan wajah riangnya. "Jadi kembalikan bajuku? Ah, melihat dari wajahmu pasti kau lupa membawa, kan? Boleh aku jemput saja ke rumahmu?"
Jieun menatap datar.
"Tidak usah. Sudah kupaketkan."
"Yah, Ji. Kenapa sih bukan kau sendiri saja yang antar? Padahal aku ingin punya modus untuk bertemu denganmu."
Jieun tidak menyadari kapan ekspresi wajah Jeon Jungkook berubah menjadi murung. Namun, pria itu memaksakan sebuah senyum kecil. "Aku pergi dulu, ya, Ji," katanya.
Min Yoongi yang selesai berbicara, menoleh ke arah Jungkook. Lalu bersikap seolah-olah terkejut dan tidak melihat presensi Jeon Jungkook di sana sebelumnya. "Hei, aku mengganggu bincang-bincang kalian, ya? Maaf. Aku bisa pergi sekarang," katanya memasang wajah bersalah.
Jeon Jungkook menggeleng. "Tidak usah. Aku cuma lewat kok. Sepertinya pembicaraan kalian penting. Lanjutkan saja, biar aku yang pergi."
Kalimat Jieun baru sampai di ujung lidah untuk menahan pria itu, dan tangannya sudah terangkat. Namun, tidak ada yang terjadi karena waktu berikutnya, Jieun menahan diri dan membiarkan Jeon Jungkook pergi. Dia ... tidak punya alasan untuk menahan Jungkook di sini. Dia juga tidak punya hak untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu meski Jieun sangat ingin menjelaskannya.
Pada akhirnya ... Lee Jieun hanya bisa menatap getir punggung yang mulai menjauh itu. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro