Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Efek Serotonin

Kita ternyata memang manusia. Meski sudah sebulat apa pun tekadnya, jika kita bertemu takdir, ya semua sia-sia. Dan kadang, takdir itu datang bersama mimpi buruk.

-Lee Jieun-

***

Seandainya, di dunia ini hal semacam masa lalu bisa didatangi lagi, mungkin Jieun sudah lama melakukannya. Seperti beberapa saat lalu ketika Jeon Jungkook dengan senyum cerahnya itu menatapnya saat baru keluar dari gedung universitas, menyambutnya dengan pelukan hangat, dan mengusap-usap punggungnya lembut. Membuat rasa letih seharian belajar menguras otak jadi menghilang. Dulu, hal semacam itu sudah lebih dari cukup bagi mereka berdua untuk sama-sama mengisi energi kembali sebelum akhirnya melanjutkan hari.

Tidak pernah ada hari membosankan. Bersama Jungkook yang menggenggam tangannya erat, sesekali meliriknya sambil memasang senyum manis, dan menyenangdungkan lagu-lagu pelan sambil berjalan bersama di sepanjang trotoar. Sebelum akhirnya bayangan hitam itu datang, begitu besar, dan tertawa terbahak-bahak, membuat Jieun tersurut, kemudian tersentak ketika Min Yoongi dengan ekspresi iblisnya mengayunkan tangan besarnya.

Jieun berteriak keras. Sebelum akhirnya berhasil mendapati kesadarannya lagi. Ternyata yang tadi hanya ilusi, bunga tidur yang seharusnya indah malah berubah jadi menyeramkan gara-gara kehadiran Min Yoongi. Bahkan setelah tiga tahun pun Min Yoongi masih saja jadi mimpi buruk.

"Argh!" Jieun mengerang, mendudukkan diri, kemudian menyeka rambutnya ke belakang sebelum akhirnya rasa pengar mulai menyerang kerongkongannya.

Jieun meringis, menatap selimut putih yang menutupi tubuhnya.

Tunggu.

Seingatnya berwarna abu-abu kemarin. Sejak kapan ini berubah jadi putih?

Lalu hal-hal janggal lainnya mulai berdatangan menerpa indera penglihatannya. Ranjang besar dengan ruangan luas. Gorden biru muda yang menutupi kaca besar di dinding kirinya. Singgle sofa di sudut sana beserta televisi besar yang terlihat nyaman. Karpet bulu tebal membentang di bawah dan ornamen-ornamen sederhana yang anehnya memiliki kesan estetik. Ini jelas bukan kamar ukuran 3 x 3 meternya.

Jieun berdiri, menyingkap selimutnya. Lalu mendapati bajunya sudah berganti jadi kemeja putih oversize, bukan baju yang terakhir kali dia kenakan.

Tiba-tiba saja Jieun diserang rasa cemas dan berusaha mengingat hal apa saja yang sudah dilakukannya malam tadi sampai-sampai bisa berakhir di tempat ini.

Apa yang baru saja dia lakukan?

Di mana dia?

Ke mana Yuchi?

Dan pikiran-pikiran negatif lainnya.

Jieun berjalan cepat mendekati pintu dengan was-was, mengabaikan rasa pengar dan pening yang kembali menyerang.

Sebenarnya berapa banyak sih yang dia minum tadi malam?

Dia keluar, mendapati ruangan yang tak kalah besarnya dengan meja makan di tengah-tengah, dan ada pantry di sudut sana. Bukan hanya pantry kosong, tapi juga ada seseorang di sana. Sibuk berkutat dengan kompor dan entah alat apa itu di hadapannya.

Jieun tentu saja merasa was-was. Terbangun di tempat asing bukan hal yang tepat untuk membuat tetap santai. Ditambah lagi ada orang asingnya juga. Pria lagi.

Kebetulan, ketika Jieun asik bergelut dengan pikirannya, pria itu berbalik, menatap Jieun dengan mulut terkatup rapat. "Kau bangun?" sapanya.

Jieun membelalak di tempat.

Mimpi buruknya tadi ada di sini.

"Min Yoongi? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jieun cepat di sela keterkejutannya.

Yoongi mengerutkan kening. "Apa kau tidak salah tanya? Ini rumahku," jawabnya membuat Jieun yang sudah membuka mulut siap mencecarnya dengan pertanyaan kembali mengatupkannya rapat-rapat.

Benar juga.

Tidak. Tunggu.

"Rumahmu? Lalu, kenapa aku bisa sampai ke rumahmu?" Jieun menatap Yoongi memburu, memaksanya untuk segera menjelaskan situasinya.

Yoongi terkekeh pelan. Kemudian mengulum bibirnya seolah-olah menahan senyum. Dia bergerak, melepas apronnya, kemudian mengangkat panci yang mengepulkan asap——yang sialnya berbau harum——itu ke atas meja makan. Setelahnya, bersedekap menatap Lee Jieun yang berdiri sekitar tiga meter darinya.

"Kau lupa apa yang kau lakukan semalam? Ah, tidak, lebih tepatnya yang kita lakukan," ujarnya santai kemudian mengetuk-ngetukkan satu jari telunjuknya ke udara.

Lee Jieun memicingkan matanya di tempat. Berusaha keras untuk mengingat. Tidak. Dia tidak ingin berpikiran negatif dulu. Memangnya, apa, sih, yang dia lakukan semalam? Pasti cuma minum. Terus mabuk. Haha. Iya, kan?

Namun, pada akhirnya Jieun tidak dapat menyembunyikan raut gusar itu, berakhir dengan dia menggigit bibirnya kuat dengan tangan yang dikepal erat.

"Jadi kau sungguhan lupa?" tanya Yoongi retoris sembari memicingkan mata. "Ah, padahal semalam sangat ... errr. Augh! Aku tidak ingin horny lagi pagi ini dan bukannya berakhir sarapan, aku malah menerkammu di sini."

Jieun memerah. Apa sih maksudnya ini?!

Kenapa kata-katanya vulgar sekali?!

Di antara rasa frustrasinya untuk memikirkan apa yang terjadi malam tadi, Jieun mengerang. "Yak! Min Yoongi brengsek jangan mempermainkanku!" bentaknya.

Yoongi hanya mengangkat alisnya dengan mulut terbuka dan bahu terangkat. "Apa? Kenapa aku yang malah dikatai padahal malam tadi kau yang memulai. Kau bilang, mau tidur denganku? Memangnya aku harus jawab apa kalau kau sudah bicara pakai nada sensual yang menggod——"

"YAK!"

Lee Jieun berlari cepat, kemudian memburu Min Yoongi dan membekapkan tangannya ke mulut kurang ajar pria itu. "Min Yoongi——bajingan kau!" geramnya dengan napas yang naik turun tersengal.

Yoongi memukul-mukul tangan Jieun pelan, kemudian berkelit ke samping cepat, membuat bekapan tangan Jieun terlepas dari mulutnya.

Setelah berhasil membebaskan diri, Yoongi tertawa renyah, kemudian mendecih pelan, balas menatap gadis yang seolah-olah siap membunuhnya dengan tatapan tajamnya itu gemas. Yoongi berjalan mendekati meja yang sudah dipenuhi banyak makanan, menarik satu kursinya, lalu mendudukkan Jieun yang masih saja menyorotnya tajam itu ke sana. "Aku tidak sebrengsek itu, jadi tenanglah," katanya tenang, kemudian mengambil mangkok dan mulai menyendokkan sup ke sana, meletakkannya di depan Jieun.

"Bagaimana aku bisa tenang jika ada kau di sini!" hardik Jieun masih terus dengan kegusarannya.

Yoongi hanya tersenyum simpul, lalu mengitari meja dan duduk di seberang, berhadapan dengannya. "Lalu siapa yang kau harapkan? Jeon Jungkook? Ayolah, Ji."

Jieun mendengkus, semakin menatap Yoongi lebih tajam lagi.

"Beginikah caramu berterimakasih pada orang yang sudah menolongmu?" Yoongi melipat tangannya ke atas meja, mengamati wajah gadis itu. Gadis yang sudah lama tidak pernah ditemuinya lagi.

"Bagaimana aku akan berterimakasih jika aku baru saja terbangun di rumah pria asing! Tanpa mengingat apa pun kenapa aku bisa terdampar ke sini. Dan sialnya aku terdampar di rumah pria brengsek yang bisa melakukan apa saja padaku. Menurutmu bagaimana aku akan tetap tenang dan merasa nyaman?"

"Bukankah itu agak keterlaluan, Ji?" Yoongi memicingkan sebelah matanya, menarik kepalanya ke samping dan menimang-nimang. "Aku akui aku memang brengsek, tapi aku tidak melakukan apa-apa padamu."

"Lalu bagaimana bajuku bisa ganti jadi hanya sehelai kemeja?!" Jieun membentak. Ah, otaknya benar-benar kacau, tidak bisa berpikir jernih tentang situasi saat ini.

"Eum——itu kau muntah semalam dan mengotori bajumu. Jadi, kupikir kau akan masuk angin jika mengenakan baju basah dan——yah, sebenarnya kau tidak benar-benar mengenakan sehelai kemeja. Ada pakaian dalam di baliknya. Namun, aku tidak menggantinya juga karena ya——kau tahulah aku ini pria, jadi tidak punya stok dalaman wanita."

"Yak! Bajingan——" Jieun meraih gelas kosong di samping mangkoknya, mengayunkannya ke udara, bersiap melemparkannya dengan mata berapi-api.

Yoongi segera memasang benteng perlindungan diri dengan menyilangkan tangan di depan kepala, setelah beberapa detik tidak kunjung mendapati hal yang diperkirakan akan menumbuk kepalanya, dia mengintip di antara silangan tangan, lalu tertawa lagi.

"Ah, kenapa sih kau masih saja semenggemaskan ini, Ji?" ujarnya masih tertawa gemas, lalu menurunkan tangan. Setelahnya mengayun-ngayunkan kedua telapak tangannya ke atas. "Tenang, Ji, tenang. Bukannya sudah kubilang jika aku memang brengsek, tapi aku tidak akan jadi bajingan pengecut yang memanfaatkan wanita tidak sadarkan diri untuk mencuri keuntungan. Lebih baik——kau makan dulu. Aku tahu kau masih pengar. Jadi jangan keras kepala, dan mari kita makan saja," ujarnya kemudian menginsutkan sepiring omelet ke arah Jieun.

Jieun masih tidak mengalihkan tatapan menyelidiknya dari Min Yoongi. Namun, dia mulai kembali duduk. Ya ... tidak bisa dipungkiri juga, sih, jika perutnya amat sangat lapar saat ini.

"Hey, aku berasa sedang makan dikelilingi singa tahu. Berhenti menatapku begitu, Ji." Yoongi mendengkus, kemudian terkekeh pelan. Menyumpit sepotong omelet dari piring dan memakannya. "Kita masih bisa bicarakan ajakan tidur bersamamu semalam setelah kita makan, kok," ujarnya lagi.

"Yak! Bisa tidak mulutmu itu tidak terus bicara hal kotor, hah? Dasar bajingan tukang selingkuh!"

Dan di sanalah akhirnya tawa Yoongi benar-benar pecah. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro