04. Lembar Baru
Kau ibarat buku, yang halamannya sudah terisi penuh dan rapi. Jadi, daripada merusaknya dengan menambah tinta, aku lebih baik membuka lembar yang baru.
-Lee Jieun-
***
Senja sudah mengawang sejak tadi. Pias-pias jingga masih tersisa di angkasa. Gumpalan-gumpalan awan itu mulai kelam tertelan malam. Biasanya, kala saga mulai menghilang, Jieun akan duduk di depan balkon kamarnya, kemudian mengenang kisah-kisahnya bersama Jeon Jungkook. Namun, karena Jieun sudah menekankan pada dirinya untuk menghentikan semua kegiatan yang akan mengingatkannya dengan Jungkook, maka sekarang Jieun lebih memilih pergi ke pusat perbelanjaan Daegu. Memenuhi ajakan Hong Yuchi, sahabatnya, untuk sekedar hang out bersama.
Jieun melajukan mobilnya membelah jalan-jalan kota Daegu yang agak sepi. Agaknya orang-orang malas berkeluyuran di tengah pekatnya udara dingin malam ini, lebih lagi katanya sekitar tengah malam nanti akan ada badai salju. Jika bukan karena Yuchi memaksanya untuk pergi dan mendesak Jieun datang karena gadis itu butuh ditemani setelah ditinggal pacarnya menikah, mungkin saat ini Jieun sudah bergelung di bawah selimut tebalnya. Yah, Jieun tidak ingin jadi teman jahat. Bagaimanapun, dia dapat merasakan bagaimana hancurnya perasaan Yuchi. Jadi, karena Yuchi menawarkan——lebih tepatnya memaksa——Jieun untuk menginap di apartmennya, maka dia putuskan untuk pergi.
Pusat perbelanjaan tak begitu jauh dari kediamannya, hanya butuh lima belas menit menggunakan mobil apalagi dengan kecepatan yang Jieun gunakan.
Dia sampai di sana, Daegu Mall, tapi tidak memasukkan mobilnya ke lantai parkir. Alih-alih begitu, Jieun menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di depan seseorang yang terlihat berantakan dan kepala menunduk lesu.
Jieun menurunkan kacanya. "Saljunya panas. Cepat masuk jika tidak ingin meleleh."
Yuchi mengangkat kepalanya. Memperlihatkan wajah kusut seperti baju yang baru keluar dari mesin cuci. Menatap Jieun berkaca-kaca dengan mulut terkatup yang bergetar-getar kecil.
"Di mana, sih, Hong Yuchi yang kemarin? Kenapa malah bocah cengeng ini yang di sini." Jieun berdecak, memasang wajah seolah-olah kesal.
"Yak! Lee Jieun. Aku sedang patah hati tahu!" pekik Hong Yuchi, kemudian segera tangisnya pecah.
Yuchi meraung seperti anak kecil sambil mengitari mobil Jieun, kemudian menarik pintunya setelahnya masuk ke dalam dan tetap menangis.
Jieun menggeleng kecil, menatap sahabatnya itu kasihan sebelum akhirnya menarik beberapa lembar tisu dari atas dashboard dan mengulurkannya.
"Park sialan! Pria brengsek! Bisa-bisanya dia bilang maafkan aku Chi, aku cuma bersenang-senang denganmu. Aku akan menikah minggu depan, jika tidak keberatan tolong datang. Bfftftt!" Yuchi meniup ingusnya keras-keras sambil terus berceloteh. "Brengsek! Bajingan! Semoga atap kamarnya runtuh waktu malam pertama! Bffftt——bffftt!"
Tidak ada yang bisa dilakukan jika sudah begini. Jadi, agar tidak terlihat terlalu apatis, Jieun menepuk-nepuk pundak Yuchi pelan dengan wajah turut berduka cita.
"Mau ke kelab semalaman?" tanyanya kemudian. Karena Jieun bukan termasuk orang yang pandai menghibur, juga tidak pandai merangkai kata-kata agar setidaknya tangis Yuchi reda, jadi pilihan paling realistis ya mengajaknya ke kelab dan minum-minum.
Tangis Yuchi terhenti sejenak, kemudian tatapannya teralih pada Lee Jieun. "Yak, Lee Jieun! Kau gila?!" lalu kembali menangis, "ayo kita mabuk semalaman," tambahnya di sela-sela tangis.
Jieun tertawa kecil, kemudian mengangguk. Dia sudah tahu jika Yuchi tidak akan menolaknya. Lalu, segera saja mobil itu melaju, membelah rintikan salju yang mulai turun satu per satu.
Jieun duduk di meja bar, menatap ke arah seseorang yang beberapa menit lalu menangis sedu sedan di sampingnya itu kini sedang berjoget heboh di antara kerumunan orang dengan sebotol minuman di tangan.
Jieun tersenyum seperti orang bodoh di tempatnya. Pikirannya sudah tidak tinggal di sini semua akibat beberapa gelas alkohol yang diminumnya. Sebagian mengamati Yuchi yang joget gila di sana, sebagian tentang Jeon Jungkook yang memakaikan sarung tangan padanya di bawah salju tempo hari. Yah, katakan jika Jieun gila sekarang. Tapi pada kenyataanya dia, pikiran bawah sadarnya, masih menginginkan Jeon Jungkook lebih dari apa pun.
"Yak! Jungkook-ah!" teriaknya kemudian menenggak lagi, lalu segera kepalanya jatuh ke meja bar. "Jungkook-ah. Jungkook-ah. Jungkook-ah. Sayang!" racaunya, kemudian tertawa terbahak seperti orang gila.
Kapan, ya, terakhir kali Jieun menghabiskan waktunya memperbanyak serotonin dengan bantuan alkohol begini? Ah, peduli amat. Karena, beberapa detik kemudian setelah tertawa terbahak-bahak, kepala Jieun mulai diserang rasa pusing hebat. Perutnya mulai terasa diaduk-aduk seolah-olah ada yang mendayung cepat di dalam sana. Jieun berdiri dari stoolnya dengan kesadaran yang tersisa. Membekapkan tangan ke mulut, berusaha membuka matanya yang berat lebar-lebar dan tangan lain meraba-raba dinding.
"Toilet~ Toilet~ Di mana kau~" racaunya sambil terus berjalan di antara dentuman musik yang begitu kuat sampai-sampai ikut membuat jantung di dalam sana berdentum-dentum juga. Lampu remang-remang yang berputar-putar liar itu membuat Jieun kesulitan melihat jalan. Sesekali bahkan dia menabrak tubuh seseorang, dan yang dia lakukan hanya tersenyum lebar sambil tertawa. Di detik terakhir, tubuhnya kembali menabrak seseorang, tapi kali ini bukan bahu. Jieun menabrak dada seseorang yang terasa keras, bidang, dan ... hangat. Seperti milik Jungkook.
Mengingat Jungkook, sontak Jieun memasang cengiran lalu mendongak. "Jung, ini kau? Benar! Ini Jeon Jungkook! Hakhak! Jungkook! Yeay!"
Orang itu menahan kedua bahu Jieun yang limbung, menatap gusar ke arah gadis gitu. "Aku bukan Jungkook," ujarnya datar.
Jieun memanyunkan mulutnya dan matanya menyipit, menatap pria itu lamat, lalu menggeleng tegas. "Tidak! Kau Jungkook. Hahaha," jawabnya kemudian menunjuk hidung pria itu lemah setelahnya menjatuhkan beban tubuhnya ke dada pria itu sepenuhnya.
Tubuh itu terasa kaku. Namun, Jieun tidak peduli dan mencari-cari posisi nyaman di dada bidang itu. Setelah menemukannya, tanpa ragu Jieun melingkarkan tangannya dengan erat ke pinggang si pria. Peduli amat dengan niatnya kemari untuk melupakan si Jeon Sialan Jungkook. Kenyataannya, tidak ada yang berubah pada perasaannya. Dengan bantuan serotonin, perasaan yang Jieun punya semakin membuncah adanya.
"He-hei!" Si pria berujar patah-patah. Menatap pucuk kepala gadis yang sibuk menggesek-gesekkan kepalanya di dadanya itu. Tidak bisa dipungkiri jika saat ini keadaan jantungnya berdegub hebat selain karena getaran musik keras.
Mendengar suara itu, Jieun tersenyum. Lalu mendongakkan kepala, memasang cengiran lebar. Tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan selain kembali ke dalam dekapan seseorang yang dicintai. Dan bagi Lee Jieun, kehadiran Jungkook di sini sudah lebih dari segalanya. Dapat merasakan hangat suhu tubuhnya. Memeluknya erat-erat. Sampai akhirnya satu kalimat itu terucap tanpa Jieun sadari yang didekapnya saat ini entah benar-benar Jeon Jungkook atau bukan. Kalimat yang mungkin akan dia sesali esok hari. Namun, karena Jieun berada di puncak kebahagiaannya saat ini, maka dengan mata terpicing dan senyum kecil itu dia berujar, "Jung, mau tidur denganku?" ujarnya sebelum berakhir kehilangan kesadaran sepenuhnya. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro