Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Ternyata Telah Berubah


Mengapa melangkah jika tak ingin pergi.
-Jeon Jungkook-
***

Terhitung sudah sepekan salju turun. Dan sepekan itu pula Lee Jieun seolah-olah terkubur bayang-bayang masa lalu. Jieun tak punya banyak alasan untuk mengenangnya, karena sekuat apapun ia menolak, bayangan itu akan hadir dengan sendirinya. Seolah-olah adalah kutukan karena dosa-dosa yang pernah ia lakukan pada seseorang yang sekarang pun masih membayang walau telah seminggu pertemuan mereka berlalu.

Dulu ... kala salju telah turun, mereka akan turun ke pekarangan. Menggunakan mantel tebal dengan kupluk warna-warni. Mereka akan membuat bola salju besar, bermain kejar-kejaran seperti sepasang merpati yang sedang di mabuk asmara. Mereka akan tertawa bersama dan kemudian menghabiskan hari dengan telentang di bawah salju menggerakkan kaki dan tangan seperti anak-anak yang kegirangan. Mereka akan berlomba menghitung seberapa banyak salju yang turun walau pada kenyataannya tak pernah mampu mereka hitung.

Dan kala malam tiba mereka akan pergi ke toko Bibi Choi hanya untuk membeli dua cangkir coklat hangat. Tak ada yang lebih baik daripada menikmati bintang di antara hamparan putih salju dan beberapa rintiknya dengan segelas cokelat hangat dan sebuah api unggun. Apalagi Jungkook sangat pandai mendongeng, dan kala Jungkook mulai menceritakan kisahnya, Jieun akan merebahkan kepalanya di pundak sang pria dan ikut terhanyut bahkan sesekali tertawa karena ceritanya yang menggelitik.

Memilih menghela napas, Jieun memalingkan wajahnya. Karena pada kenyataannya itu semua hanya masa lalu, yang persentase terulang kembalinya sangat minim bahkan nyaris tidak ada.

Jieun memilih menyeduh kopi hangatnya. Menghalau dingin dengan uap-uap panas kafein yang melewati kerongkongannya.

Ternyata sebanyak apapun ia menengguk kopi itu, hangat tak pernah menyusup ke hatinya. Tak sama seperti saat ia kembali bertemu dengan Jeon Jungkook beberapa hari lalu. Menyadari bahwa tetap diam di sini tak akan mengubah apa pun, Jieun berdiri dan mulai melangkah ke luar dari toko kecil ini, toko Bibi Choi yang sengaja ia kunjungi karena masih penuh akan kenangan. Ia berdiri di depan pekarangan, kembali merentangkan kedua tangannya seperti yang lalu-lalu pernah ia lakukan. Mungkin jika ia melakukan ini lagi, Jungkook akan datang.

Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Beberapa menit terlewati, dan Jieun akhirnya mengaku bahwa berdiri diam di bawah rintik salju tanpa pergerakan memang mempercepat dingin menggerogoti tubuh. Jadi, memilih untuk bergerak, Jieun mulai mengumpul salju-salju di tanah. Membentuknya bulat, dan kemudian menumpuknya menjadi tiga. Membuat boneka salju seperti yang dulu sering ia lakukan bersama Jungkook. Jieun selesai dengan bola-bolanya, ia hanya butuh dua ranting guna menjadi tangan si boneka.

"Hai. Masih suka membuat boneka salju?"

Jieun menoleh. Ia mengenali suara tersebut. Suara yang bahkan menjadi alasan ia melakukan kegiatan ini.

"Hm. Selama salju turun, cukup banyak kenangan yang bahkan tak bisa kulupakan." Jieun berdiri, memilih berhadapan dengan Jungkook.

"Oh. Oke. Ku kira kau sudah lupa tentang bola saljunya yang segitiga." Jungkook melirik boneka salju yang memiliki tubuh segitiga. Seperti dulu-dulu yang pernah mereka buat. Sedikit tak menyangka memang, karena bagi Jungkook, Lee Jieun pasti sudah melupakan semua hal tentang mereka.

"Haha. Tak ada sedikit pun tentang kenangan kita yang kulupa, kalau mau tau." Jieun terkekeh kecil nyaris sumbang. Ada sedikit getir kala menyebut kalimat yang Jieun rasa sudah tak pantas ia ucapkan. Tapi ... apakah memang setak pantas itu? Jieun hanya tak ingin membohongi hatinya lagi.

Jungkook terlihat menerawang, dan kemudian menganggukkan kepalanya lambat, "Kukira semua hal tentang kita yang pernah terjadi tak pernah punya arti."

Memilih menghela napas pelan, Jieun tak mampu membantah kalimat Jungkook. Karena ia tahu, pasti Jungkook menganggap semua ketulusan yang mereka ukir dulu hanya palsu, "Maaf."

"Maaf. Sejujurnya aku sangat menyesali hal bodoh yang pernah kulakukan dulu. Aku ... ternyata aku baru sadar kalau kau begitu berarti." Kembali ditariknya udara melewati hidungnya. Jieun rasa tak ada gunanya menutupi penyesalannya.

Jungkook memasukkan tangannya ke dalam saku mantelnya, sedikit tak percaya bahwa Jieun yang baru saja berbicara, "Jadi ... kau menyesal? Dan minta aku memafkan?"

"Tidak. Aku tak pernah berharap kau memaafkanku, karena pada kenyataannya aku memang tak pernah pantas untuk dimaafkan. Aku sudah menyakitimu melebihi apa pun yang menyakitkan di dunia. Jadi, aku tak punya alasan untuk dimaafkan. Aku hanya ingin kau setidaknya tahu, bahwa aku menyesal telah menyakitimu. Biar penyesalan ini jadi hukuman untukku. Untuk itu ... aku tak akan pernah pantas untuk dapat maaf-"

"Dimaafkan." Jungkook tersenyum kecil menatap wajah Lee Jieun yang bahkan tak mengalihkan pandangannya dari butir salju di ujung sepatu. "Itu hanya masa lalu, Lee Jieun. Semua yang sudah berlalu pantas dilupakan. Aku sudah memafkanmu bahkan sebelum kau benar-benar pergi bersama pria Min itu. Kalau kau memikirkan sakitnya, tentu saja sakit. Bahkan aku hancur, Ji. Tapi karena semua itu untukmu, kupikir tak apa bila sedikit terluka agar orang yang kau cinta bahagia."

Jieun menegakkan kepalanya, menatap manik Jungkook berkaca-kaca. Bahkan Jungkook pernah berkorban sebesar itu untuknya, dan kenapa ia tak pernah melihat? Jieun memang sudah buta, "Jungkook ... seandainya aku bisa memutar waktu, mungkin aku akan mengubah takdir yang pernah terjadi pada kita agar kita tetap bersama. Agar aku tidak bodoh meninggalkanmu demi pria brengsek itu."

"Jangan. Jangan pernah memutar waktu. Karena bagiku ... apapun yang terjadi di masa lalu adalah yang terbaik untuk sekarang. Tak perduli seberat apa aku harus menghapus kenangan kita, dan pada kenyataannya itu memang tinggal kenangan, Lee Jieun. Jangan terus melihat ke belakang, karena apa yang ada di depanmu pastilah lebih baik. Aku sudah melupakan semua, dan sekarang saatnya bagi kita untuk memulai hidup masing-masing."

Jieun membuka mulutnya, namun beberapa saat terhenti dan kalimatnya menggantung di udara. Mengamati wajah pria itu lamat.

"Apakah ... memang sudah tak ada kenangan yang tersisa?" Jieun menatap Jungkook penuh harap. Berharap Jungkook akan mengatakan bahwa semua kenangan mereka masih ada.

Lagi pula ... memangnya apa yang Lee Jieun harapkan jika Jungkook mengatakan ada? Semua tak akan kembali seperti semula, sesederhana bayangannya.


Jungkook memilih bungkam, kemudian mengendikkan bahunya dan menggelengkan kepalanya kecil.

Jadi ... memang sudah tak ada ya?

Dan kini sepenuhnya Jieun menyadari bahwa ia memang sudah tak punya tempat lagi di hidup pria ini.

"Dulu ... mengapa melangkah jika tak ingin pergi?"

Jieun bungkam. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan yang Jungkook lontarkan. Karena tak ada gunanya juga ia menjawab pertanyaan itu. Memang benar adanya. Dulu ia memilih pergi meninggalkan Jungkook bersama Min Yoongi, dan sekarang mengapa Jieun masih ingin tinggal seolah-olah di antaranya dan Jungkook tak pernah ada yang terlukai?

"Hai, Jung! Ternyata di sini. Aku sudah mencarimu ke mana-mana, tahu!"

Seorang gadis berlari menghampiri Jungkook kemudian memukul lengan si pria kuat.

"Ampun, Ji! Aku cuma bosan di dalam," ringis Jungkook kemudian tawa terkembang di mulutnya.

Tawa tertulus yang pernah Jieun lihat sejak terakhir kebersamaan mereka. Apa ... Jieun memang benar-benar sudah tak berarti lagi, ya? Memilih diam dan menunduk. Jieun tak sanggup melihat tawa dua insan di depannya yang terlalu hangat.

"Dasar nakal! Besok-besok aku tidak mau kau ajak jalan lagi." Si gadis yang Jieun duga bernama Jikyung ini merengut lucu. Jieun saja kalo tidak mengingat situasi mungkin sudah mencubiti pipi si gadis karena gemas.

"Hei-hei. Ayolah, aku kan cuma ke luar sebentar. Janji ... setelah ini akan kubelikan es krim tiga rasa porsi jumbo. Bagaimana?"

"Mm. Tidak!" Si gadis tampak menimang-nimang kemudian berujar lagi, "Tiga mangkuk!"

"Yak, Kim Jikyung! Kau mau sakit perut atau bagaimana?"

"Tiga mangkuk atau tidak sama sekali."

"Iya-iya. Dasar curang! Mencari kesempatan dalam kesempitan!" Jungkook menggerutu-gerutu tak jelas, sementara Jikyung bersorak kesenangan.

Jieun terasa terabaikan. Yah, memangnya apa yang bisa mengalihkan perhatian sepasang pemuda yang tengah dimabuk asmara? Bahkan benalu seperti Lee Jieun pun tak akan pernah bisa.

Jadi, memilih mengalah, Jieun berbalik dan pergi.

"Hei! Jangan pergi dulu!"

Jieun menghentikan langkahnya, berbalik dan kembali menghadap mereka.

"Kita belum kenalan, kan? Kau pasti temannya si Jeon bodoh ini, kan? Kenalkan, aku Kim Jikyung," ujarnya ramah kemudian mengulurkan tangan berbalut sarung tangan cokelatnya pada Lee Jieun.

"Lee Jieun!"

Jadi memilih membalas jabatan tangan si gadis, Lee Jieun menyebutkan namanya sambil mengamati wajah gadis yang sudah menggantikan posisinya di hati Jeon Jungkook ini.

Senyum indah terpatri di wajah cantiknya. Senyum manis layaknya lelehan karamel yang baru saja Jieun panaskan, kemudian ia tuang di atas ice cream warna warni penghias etalase toko ice cream bibinya.

Dan barulah Jieun sadar bahwa ia memang benar-benar sudah tidak akan punya tempat lagi di hidup Jungkook karena nyatanya gadis di hadapannya ini jauh lebih baik dan sempurna dari apa pun yang ada pada dirinya.

Jadi, apalagi yang Jieun harapkan? Jungkook memilihnya yang jelas-jelas dulu dengan tega mencampakkannya, kemudian meninggalkan gadis secantik dan sebaik Kim Jikyung? Yang benar saja. Tak ingin berpikir lebih jauh lagi, Jieun memilih undur diri dengan senyum kecil terselip di bibirnya, "Aku pergi dulu." [ ]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro