01. Tentang Salju
Karena bersama salju, semua kenangan tentang kita, aku dan kamu bisa terulang. Pun begitupula semua dosa yang pernah ku tuang padamu. Aku hanya penyesal yang tak pantas menyesal karena semua luka ini, aku yang mengawalinya.
-Lee Jieun-
***
Pun beribu kali Lee Jieun mencoba menghapus kenangannya akan Jeon Jungkook, nyatanya kala beribu salju turun, kenangan itu akan menguap, mencair bak balok es di kutub yang meluah membanjiri lautan memori yang sudah hampir mengering. Semuanya kembali terbayang dan terasa nyata. Jieun tak akan pernah sanggup menghapusnya, karena sekuat apapun ia mencoba, hempasan gletser itu tak akan sebanding dengan hatinya yang begitu kecil dan rapuh.
Tak banyak yang bisa Lee Jieun lakukan, kecuali hanya duduk di bawah rerimbun derasnya hujan salju sambil merentangkan kedua tangannya dan memejamkan mata. Seperti yang tengah ia lakukan sekarang di kala salju pertama baru mulai menjatuhi kota Daegu.
Mengingat ngilu semua bayang-bayang masa lalu, berharap kala ia membuka mata sang pria akan datang dan berdiri di sebelahnya, kembali menggenggam tangannya seperti dulu-dulu yang pernah mereka lakukan. Namun, Jieun rasa bayangan itu hanya akan hidup dalam benaknya saja. Karena pada kenyataannya ialah yang berperan menghancurkan semua ikatan yang pernah ada di antaranya dan Jungkook.
Ia yang telah merenggut hati pria itu dan kemudian menghancurkannya dengan rudal berkecepatan ribuan cahaya. Hancur. Berkeping-keping. Tak tersisa. Dan Jieunlah tokoh antagonis di balik semuanya.
Dulu Jieun dibutakan akan cinta yang ia sebut nyata sungguh adanya. Ia terpikat akan kumbang yang bahkan terbang di luar pekarangannya. Jieun berlari dan memilih pergi bersama Min Yoongi, pria lain yang membuat mata hatinya buta bahwa cinta yang Yoongi beri hanya racun tersembunyi yang dituang dalam anggur merah terbaik. Ia memilih meninggalkan Jungkook yang jelas-jelas ada dan selalu mencintainya kapan pun dan di mana pun.
Jieun tak hiraukan akan permohonan Jungkook untuk tetap tinggal. Yang ia pikir hanya ia telah menemukan cinta yang sebenarnya bersama Min Yoongi, dan bersama Jungkook pasti hanya ada seribu duri. Jieun memang sebuta itu dulu. Ia dibutakan hanya karena memandang Min Yoongi yang memiliki segalanya, bahkan di matanya nyaris sempurna. Ada yang bilang, kumbang tetangga lebih merdu dengungannya daripada kumbang sendiri. Dan Jieun sudah pernah melewatinya. Ia memilih mengubur mimpinya bersama Jungkook untuk menunggu fajar terbit, kemudian mereka mekar bersama. Jieun pergi bersama Min Yoongi yang bahkan baru Jieun sadari bahwa ia bukanlah satu-satunya bunga yang Yoongi punya. Ia hanya koleksi. Pelengkap tangkai demi tangkai bunga yang pernah Yoongi miliki.
Jieun menyesal. Dan ketika ia menyesal, barulah ia sadar bahwa Yoongi tak ubahnya daun kering yang gugur sendiri, kemudian ia tertiup angin dan terselip di antara pucuk-pucuk muda. Jieun sempat silau akan kilaunya, kilau palsu yang membutakan matanya. Bahkan, Jungkook tak akan pernah bisa ia bandingkan dengan mereka.
Jungkook adalah cahaya, dan Jieun baru sadari itu ketika ia telah kehilangan semua dari sisinya.
Jieun menyesal. Jieun akui dia bodoh. Kini Jieun percaya, bahwa kita akan merasa kehilangan ketika sesuatu itu telah tiada. Jungkook sudah bukan dalam genggamannya lagi. Dan untuk mengharap kembali, Jieun rasa Jungkook tak akan pernah sudi. Bagaimana pun Jieun sadar diri, dialah penyebab cahaya itu ditempa mendung. Dia yang sudah mencampakkannya. Dan kini, apakah pantas ia berharap waktu akan berputar lagi?
Jieun masih terus memejamkan matanya menatap langit yang memutih dipenuhi awan salju. Menengguk salivanya getir, dan mengigit bibir pucatnya yang sudah mengering. Tak peduli sederas apa badai salju menempa tubuh ringkihnya, tak peduli sedingin apa udara yang menusuk kulitnya, karena Jieun pikir, hanya ini yang bisa ia lakukan agar setidaknya rindunya akan kenangan bisa menghilang.
Membayangkan wajah Jungkook yang pias karena udara yang dingin, mantel coat panjang coklat kotak-kotaknya, dan syal merah yang pernah ia berikan sebagai hadiah ulang tahun ke-23 pria tersebut membelit leher indah jenjangnya saja sudah bisa membuat hatinya menghangat.
Jieun membuka matanya kala ia merasa bahwa salju berhenti mengalir karena tak lagi menerpa wajahnya. Jieun membisu. Tak mungkin doanya terkabul secepat itu? Tapi tidak bisa dibilang cepat juga, karena Jieun selalu melantunkan doa yang sama sejak dua tahun lalu. Dan kini ... ia---Jeon Jungkook, berdiri menjulang di hadapannya bak menara sembari memegangi payung coklat yang sekarang sedang menutupi kepalanya dari salju.
"Hei, Lee Jieun, kau bisa sakit jika begitu terus. Mau mencoba adegan di drama, hm? Ayo berteduh."
Bahkan Jieun tak pernah percaya jika ia akan mendengar kembali suara merdu itu. Apakah Lee Jieun bermimpi? Jika ia, tolong jangan bangunkan. Ia masih ingin melihat asap mengepul yang keluar dari mulut pria itu karena kedinginan. Ia masih ingin menatap rahang tegas itu beberapa waktu. Ia masih ingin mendengar suara berat dan merdu itu lebih lama lagi.
"Hei, ayo berdiri. Jangan jadi boneka salju di sini." Dengan senyum manis yang sama, Jungkook tersenyum. Sorotnya penuh kehangatan, tak sama dengan yang Jieun sedang tampilkan.
"J-jungkook?" ujarnya sedikit tebata-bata masih tak percaya.
"Hm. Ini aku. Tolong jangan menatap begitu. Aku tak bermaksud mengganggu, aku hanya tak ingin kau sakit, Ji."
Salju membasahi rambut coklatnya karena payung yang tadi ia gunakan sudah berpindah memenuhi kepala Jieun. Ah, pasti ia lupa menggunakan kupluknya. Selalu sama saja.
Pun rambutnya yang hampir memutih tertutup salju ia biarkan saja. Jieun tak berniat untuk meraih tangan sang pria, memilih menajamkan imajinasi. Membayangkan rambut Jungkook yang memutih, kemudian ia berdiri di sampingnya dan menggenggam tangannya. Tertawa bersama dengan gigi yang tinggal berapa. Ah, Jieun benar-benar gila.
Memilih menggelengkan kepalanya, membuat lamunan tadi memburam. Jieun memaksakan sebuah senyum terbit. Senyum yang ia usahakan setulus mungkin karena ini kali pertama Tuhan mengabulkan doanya. Pun segera diraihnya tangan bersarung merah muda berpadu biru milik Jungkook yang sejak tadi terulur padanya.
"Terima kasih," ujarnya sedikit parau. Jieun baru sadar jika kerongkongannya bisa sekering ini.
"Sama-sama. Hei, kau tak memakai sarung tangan? Kemana IQ 150-mu, Lee Jieun? Bahkan saat badai begini tanganmu bisa membeku meski sudah memakai sarung tangan. Aish ...."
Jungkook tiba-tiba menggerutu kala menyadari Jieun tak mengenakan sarung tangan di tengah dinginnya udara yang bahkan bisa membekukan tubuh dalam beberapa menit. Dan Jungkook tak pernah tahu berapa lama Jieun berada di bawah sini, dan kenapa Jieun tak membeku. Setidaknya untuk poin terakhir Jungkook berani mengucap syukur. Karena gadis ini tidak membeku.
Lee Jieun hanya tergugu. Dan kemudian tawa kecil keluar dari bibir mungilnya. Jieun tak menyangka akan mendengar ocehan yang dulu selalu Jungkook lantunkan ketika ia melakukan sebuah kesalahan, seperti sekarang. Pria ini ... benar-benar tak pernah berubah, ya?
"Ini, pakai ini!" Jungkook melepas sarung tangannya kemudian memberikannya pada Jieun dengan raut yang masih terlihat kesal, "Besok tolong jangan tinggalkan benda kecil ini ke mana pun kau pergi. Pun jika kau ingin memperagakan drama seperti tadi. Kau bisa sakit hanya karena benda kecil ini terlupa, Ji."
"Maaf."
"Aish. Bukan maaf, tapi ambil ini. Ayo pakai, mau sampai berapa lama lagi membiarkan tangan kecilmu itu membeku?"
Jungkook mengacung-acungkan dua sarung tangan lucu dalam genggamannya yang bergoyang-goyang sambil menggerutu. Sadar tak mendapat respon, Jungkook meraih tangan Lee Jieun dan memakainya.
Jieun terlonjak kala Jungkook dengan tiba-tiba meraih tangannya. Hangat. Bahkan tangan pria ini selalu hangat. Baik dulu, maupun sekarang. Jieun rasa Jungkook tak pernah ada perbedaannya. Bahkan ... Jungkook tidak terlihat membencinya. Apakah Jungkook sudah melupakannya? Sudah menghapus semua kenangan tentang mereka hingga luka yang pernah ia toreh pun sudah hilang adanya?
"Terima kasih, Jeon Jungkook."
Yah, setidaknya Lee Jieun harus mengucapkan kata-kata itu, walau ia tahu setelah ini Jungkook akan pergi dan pertemuan mereka hanya tiba di sini. Karena seperti yang Jieun katakan, Jungkook sudah tidak dalam genggamannya lagi.
"Hm." Jungkook menatap Jieun lama. Jungkook tak pernah menyangka akan bertemu gadis ini lagi. Gadis yang beberapa tahun lalu pernah membuat hidupnya berwarna dan secara bersamaan juga mengantar badai yang sempat memporak-porandakan hidupnya. Jungkook tak pernah menyalahkan Lee Jieun, karena bagi Jungkook ialah yang tak cukup sempurna untuk Lee Jieun. Makanya ia membiarkan Jieun pergi bersama seseorang yang bahkan mampu membuat Jieun tertawa lebih banyak dari pada yang ia bisa. Jieun berhak mendapat yang tebaik. Dan Jungkook akan bahagia ketika Jieun bahagia. Ia telah sepenuhnya mundur dan mengalah, walau belati-belati itu tak pernah berhenti menusuk hatinya kala ia teringat kenangan akan mereka. Jungkook hancur dan tak bersisa. Namun, ia tetap berusaha tegar agar ia tak menghilang kala tawa Jieun merekah, dan itu bukan bersamanya. Untuk itu, Jungkook lebih memilih pergi ke Amerika guna mengobati hatinya. Ia rasa untuk melupakan Jieun ia harus pergi ke tempat yang tidak pernah mengukir kenangan mereka. Dan Jungkook rasa ... semuanya berhasil. Atau belum?
Jieun menunduk, dan kemudian menghela napas pelan mengeluarkan asap-asap putih yang mengepul. Udara dingin menyelimuti mereka namun Jieun selalu merasa hangat kala Jungkook tetap berdiri di hadapannya.
"Senang bertemu lagi. Bagaimana kabarmu?"
Bahkan Jieun merasa apakah ia pantas mengucap kalimat ini kala ia mengetahui seberapa buruknya kondisi Jungkook sejak terakhir ia melihatnya sebelum pria ini menghilang.
"Hm. Seperti yang kau lihat." Jungkook tak banyak berekspresi, dan kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku dengan senyum kecil yang bahkan dulu Jieun tak sadari betapa menawannya.
Seperti yang Jieun lihat? Tampan dan lebih menawan.
Memilih mengabaikan bisikan-bisikan dalam kepalanya, Jieun tersenyum kecil dan mengangguk kemudian menunduk. Ternyata canggung ini masih ketara adanya di antara mereka.
"Kau sedang apa di sini? Menunggu seseorang?" kini Jungkook tampaknya ingin menghapus kecanggungan itu. Ah, siapa lagi kalau bukan seseorang, batinnya merasa bodoh karena menanyakan pertanyaan itu.
Jieun hanya menggeleng kecil.
"Hm. Ok-"
Getar dari balik saku mantel Jungkook membuat ia menghentikan kalimatnya. Kemudian meraih dan menempelkan benda pipih kecil itu ke telinganya yang nyaris tertutup sempurna oleh syal.
"Halo. Hm ... ada apa Jikyung? Oh, kau sudah sampai? Oke, tunggu sebentar, aku akan ke sana."
Setelah itu sambungan diputus dan Jungkook buru-buru menghadap Jieun, "Ah. Oke, Lee Jieun. Sepertinya aku harus pergi."
Jieun hanya tersenyum. Dan benar semua praduga yang sempat terlintas di benaknya. Pria ini akan pergi meninggalkannya lagi, mungkin menemui seseorang yang agaknya begitu spesial bernama Jikyung itu di suatu tempat. Yah, Jieun memilih mengangguk kecil. Karena pada kenyataannya Jungkook memang sudah tidak dalam genggamannya lagi dan mungkin tak akan pernah bisa ia raih lagi. Masih ingat betapa bahagianya Jungkook ketika berbicara dengan yang Jieun duga seorang gadis tadi melalui telepon. Jieun agaknya benar-benar sudah terhapus dan tergantikan di sana, di hati Jeon Jungkook. Memangnya Jieun mau mengharap apa lagi setelah ia yang menghancurkan dan mencampakkan Jungkook?
Semua salahmu, Lee Jieun, dan tak akan pernah bisa berubah menjadi salah siapa pun. Kau tak akan bisa meraihnya lagi. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro