Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

Gadis merah muda itu menatap pantulan wajahnya di cermin setelah ia menghapus riasan wajahnya, yakni foundation, concealer dan bedak tipis. Kantung matanya mulai sedikit menghitam dan ia merasa miris.

Padahal belum satu bulan bekerja, namun ia sudah begitu kelelahan. Ia jadi bertanya-tanya, mengapa Sasuke yang juga cukup sibuk bisa terlihat biasa saja? Ia yakin lelaki itu pasti tak pernah tidur larut sekalipun dan melemparkan hampir semua pekerjaan padanya.

Ponselnya mendadak bergetar dan ia segera meraihnya. Ia mengucapkan sumpah serapah dalam hati sebelum menekan layar untuk menerima panggilan, "Halo."

"Semua furniture sudah siap. Kau bisa mulai memindahkan barangmu besok."

Sakura terkejut mendengarnya. Ia sungguh tidak menyangka semuanya akan siap dalam waktu yang begitu cepat. Padahal belum satu minggu berlalu sejak Sasuke menanyakan opininya soal furniture

"Saya akan langsung pindah besok. Bolehkah?"

"Hn. Kartu aksesnya kuserahkan besok."

"Terima kasih, Pak," ucap Sakura dengan nada riang secara refleks. Sesudahnya ia sendiri merasa kaget karena untuk pertama kalinya ia terdengar begitu bersemangat saat berbincang dengan lelaki itu.

Sasuke bahkan tak menjawab apapun dan langsung mematikan panggilan, membuat Sakura sedikit kaget karena ia pikir lelaki itu setidaknya akan mengatakan sesuatu.

Namun ia tidak peduli. Ia merasa senang karena lelaki itu tidak menelponnya soal pekerjaan dan memberi kabar yang menyenangkan. Pakaiannya sendiri juga tidak begitu banyak karena ia juga berhemat dan tidak begitu mengikuti tren berpakaian terkini. Besok ia akan membawa semua barangnya dalam satu tas besar dan langsung berpamitan meski seharusnya ia pindah di akhir bulan.

.

.

Sakura memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar sebelum menarik seleting dan menutupnya. Ia mengamati sekeliling dan memastikan bahwa ia tak membawa apapun yang bukan miliknya dan tak meninggalkan barang sama sekali, seolah ingin menghapus seluruh eksistensinya di rumah itu.

Ia merasa begitu bersemangat hingga bangun begitu awal sebelum sang mentari mulai menyingsing langit biru yang membentang luas. Sedikit emosi membuncah karena bagaimanapun juga ia telah menghabiskan bertahun-tahun di kamar sempit itu dan berjuang di dalamnya, mulai dari membaringkan tubuh di atas kasur lipat yang usang itu setelah kelelahan bekerja seharian dan duduk di atasnya seraya meletakkan buku di meja kecil portable dan mengerjakan tugas maupun belajar di tengah malam.

Sesudahnya ia segera membawa tas itu serta menutup pintu dan menuruni tangga dengan suara perlahan. Baik paman, bibi maupun kedua sepupunya bahkan belum terbangun dan sedikit terbersit niat untuk pergi begitu saja tanpa berpamitan.

Ia segera mengurungkan niatnya seketika setelah menyadari bahwa tindakan semacam itu sesungguhnya tidak sopan. Ia segera melangkahkan kaki menuju dapur secara refleks karena merasa lapar dan berpikir untuk membuat sarapan untuk keluarga pamannya sekalian.

Ia baru saja hendak meraih pegangan kulkas untuk membukanya dan mengecek bahan makanan yang tersedia, namun sebuah suara yang menegurnya membuatnya terkejut dan seketika menoleh ke belakang.

Ia mendapati bibinya berada di belakangnya dan menatapnya dengan raut wajah sinis, membuatnya merasa sedikit terkejut seolah pencuri yang tertangkap basah.

"Ah, selamat pagi. Aku berencana membuat sarapan sekalian untuk semuanya," sapa Sakura. Ia memutuskan berbasa-basi dengan pemikiran bahwa ini adalah kali terakhir dalam hidupnya harus berurusan dengan keluarga itu.

"Tumben bangun pagi. Biasanya kau menganggap rumah ini seperti hotel saja. Apa yang ingin kau lakukan?"

Benar-benar tidak ramah, ya. Sakura mengeluh dalam hati. Ia segera menatap wajah wanita itu lekat-lekat dan menyahut, "Seperti yang kubilang, membuat sarapan."

"Ya sudah. Lumayan mengurangi pekerjaanku."

Sakura tak menyahut dan sang bibi kembali ke dalam kamarnya. Ia mengambil beras dan membilasnya beberapa kali sebelum memasukkannya ke dalam panci, menambahkan air serta menanak nasi.

Ia begitu menikmati proses memasak kali ini meski sebetulnya ia tidak terlalu sering memasak. Tak ada paman, bibi maupun kedua sepupunya saat ini sehingga dapur terasa seperti milik sendiri. Mulai besok, ia akan memiliki dapur sendiri dan bisa melakukan berbagai percobaan memasak yang selama ini hanya bisa ia impikan.

Ia membuka kulkas dan mendapati sekotak tahu serta daging sapi berbentuk lembaran. Seketika ia terpikir untuk membuat hidangan yang mudah saja, yakni gyudon dan tahu yang dimasak dengan saus teriyaki buatan rumah yang menggunakan sake dan mirin sebagai bahan baku.

Ia segera mengambil semua bahan yang ia butuhkan serta mulai mencuci bahan-bahan, kemudian memotongnya satu persatu dan memulai proses memasak.

"Sakura?"

Lagi-lagi gadis itu menoleh begitu mendengar suara yang memanggilnya, kali ini suara seorang pria muda. Ia mendapati kakak sepupunya menatapnya, terlihat penasaran dengan apa yang ia lakukan.

Mungkin lelaki itu merasa kaget karena melihatnya sudah berpakaian rapi dan kini tengah menyiapkan sarapan meski jam bahkan belum menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia terlihat seolah sedang terburu-buru, dan faktanya memang begitu.

"Oh, Kak Sasori."

Lelaki itu diam sejenak dan mengamati Sakura dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menyadari keheranan lelaki itu, Sakura tersenyum tipis seraya berkata, "Kebetulan aku bangun terlalu pagi. Jadi sekalian saja membuat sarapan."

"Oh. Itu tasmu? Mau kemana?" tanya lelaki berambut merah itu seraya melirik sebuah tas kain besar dengan ekor matanya.

"Pindah. Kata bosku, aku sudah bisa pindah. Sesudah makan pagi aku ingin berpamitan."

Sasori menatap Sakura dengan kecemburuan yang terpancar di matanya. Ia hampir berpikir kalau adik sepupunya menjadi gundik sehingga hidupnya bisa berubah dala waktu singkat. Namun ia teringat soal surat kontrak itu dan kini merasa penasaran di bagian apa sesungguhnya gadis itu bekerja dan bagaimana bisa berinteraksi langsung dengan sang CEO yang bahkan tak pernah dilihatnya secara langsung.

"Bosmu? Siapa?"

Sakura sadar bahwa Sasori pasti sengaja bertanya begitu. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, namun merasa sedikit ragu. Bagaimana kalau lelaki itu entah bagaimana berniat menghancurkan kariernya dengan menyebar fitnah? Waktu itu ia sudah menyesal karena memberitahu tempat kerjanya.

"Astaga!" pekik Sakura dengan suara pelan seraya melirik tahunya yang mulai berwarna kecoklatan dan cepat-cepat membaliknya. Ia sengaja mengabaikan Sasori dan memutuskan untuk mempersiapkan bahan gyudon serta memasaknya.

Sasori sadar bahwa perempuan itu sengaja tak menjawabnya dan dalam hati ia memaki perempuan pongah itu. Rasanya ia tak rela melihat sang sepupu berada di dekat posisi puncak ketika ia sendiri berada di posisi bawah.

.

.

Suasana makan pagi terasa lebih hening ketimbang biasanya. Sang bibi yang biasanya berbincang dengan sang suami dan kedua putranya kini hanya diam saja dan sesekali melirik Sakura.

Sakura merasa sangat tidak nyaman. Entah kenapa ia bahkan kesulitan menelan nasi yang telah dikunyahnya. Tenggorokannya terasa seolah tercekat. Rasanya ia ingin segera bangkit berdiri, berpamitan dan kemudian meninggalkan rumah itu.

"Kau sudah selesai membereskan barangmu? Butuh bantuan?" tanya Sasori seraya kembali melirik tas Sakura yang terletak di samping tembok dekat pintu.

"Sudah," sahut Sakura. Tumben sekali lelaki itu berbaik hati menawarkan bantuan tanpa diminta?

"Kau yakin sudah membawa semua barang milikmu? Tidak membawa sesuatu dari rumah kami, kan?" timpal perempuan paruh baya itu seraya mengambil sepotong tahu dengan sumpitnya sendiri.

Sakura merasa sedikit emosi. Memang apa yang bisa ia bawa dari rumah itu? Satu-satunya yang bisa ia bawa adalah sebuah kasur lipat yang sudah dipakai selama lebih dari sepuluh tahun. Namun Sasuke bahkan sudah menyediakan spring bed tebal yang tampak mahal. Kalaupun Sasuke tak membelikan furnitur apapun, ia juga tak sudi mengambil kasur itu.

"Silahkan cek isi tasku. Kalau perlu aku akan melepaskan seluruh pakaianku di sini sekarang juga. Paman juga bisa mengecek isi kamar itu maupun segala sudut di rumah ini," sahut Sakura dengan sinis.

Sang paman menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak perlu. Aku percaya padamu. Toh tidak ada barang yang hilang."

Sang bibi menatap suaminya dengan jengkel. Ia tak mengerti mengapa sang suami cenderung membela keponakannya sendiri. Mungkin lelaki itu memiliki maksud lain.

"Tidak masalah. Justru malah lebih enak kalau kalian mengeceknya sekarang. Aku malah tidak enak kalau mungkin saja ada sesuatu yang ternyata hilang dan beredar kabar kalau aku mengambil sesuatu sebelum pergi," tandas Sakura.

Sakura terdengar sangat serius dan tegas ketika mengucapkannya. Sebelumnya ia tak pernah bersikap seperti ini kepada mereka. Jangan-jangan ia tanpa sadar mulai meniru sikap Sasuke yang terlihat tegas setelah menghabiskan terlalu banyak waktu bersama.

Suasana mulai sedikit tidak nyaman. Gaara, adik sepupunya, hanya bertukar pandang dengan sang kakak sejenak sebelum menatap ke arah Sakura. Lelaki itu terlihat tidak peduli sama sekali soal sikap keluarganya pada Sakura maupun soal perempuan itu sehingga biasanya ia tidak banyak berkomentar.

Nafsu makan Sakura sudah menghilang sepenuhnya dan ia bersyukur karena mengambil sangat sedikit nasi. Nasi itu hanya memenuhi sepertiga mangkuk dan ia hanya mengambil sepotong tahu serta dua lembar daging sapi.

Kini semua makanan yang tersisa di mangkuknya sudah habis. Ia segera menyatukan kedua telapak tangan dan berkata, "Terima kasih atas makanannya."

Kemudian ia bangkit berdiri seraya mengambil mangkuk dan sumpit serta berjalan menuju wastafel serta mencuci manguk dan sumpit itu. Sambil mencuci, ia berpikir untuk membuka tasnya meski tidak diminta. Namun ia khawatir hal itu hanya menimbulkan keributan yang tidak perlu. Sudah cukup bersikap terus terang dan tegas begini.

Sang paman mempercepat makannya dan tergopoh-gopoh berdiri serta berkata, "Kau sudah mau pergi, Sakura?"

"Iya. Terima kasih atas bantuan semuanya selama ini," ucap Sakura sambil membungkukkan badan dengan maksud berbasa-basi. Toh seharusnya ini adalah kali terakhir mereka bertemu. Tidak masalah bersikap sedikit ramah meski hatinya menginginkan sebaliknya.

"Di mana tempat tinggal barumu? Kapan-kapan kami mungkin akan berkunjung," tanya sang paman.

Pertanyaan itu membuat Sakura merasa tidak nyaman. Justru ia malah sangat tidak berharap mereka tidak berkunjung. Kalau perlu menganggapnya tidak ada malah lebih baik.

Sakura menyentuh belakang lehernya secara refleks dan menjawab, "Itu ... aku juga belum tahu alamatnya. Sore ini baru akan diantar ke tempatnya."

"Aneh. Masa tidak tahu alamat baru sendiri," sindir Sasori dan sukses membuat Sakura jengkel. Sungguh mengherankan, memangnya untuk apa mereka ingin tahu alamatnya?

Sakura tak mau menyahut dan ia segera meninggalkan meja untuk meraih tasnya yang terletak di dekat pintu. Tanpa menunggu mereka semua selesai makan, ia cepat-cepat memakai sepatunya dan berpamitan.

.

.

Begitu meninggalkan rumah itu, ia menarik napas dan menghembuskannya keras-keras. Ia merasa begitu lega terbebas dari rumah itu dan segera memesan taksi daring menuju kantornya.

Ia menunggu sekitar lima menit sebelum sebuah mobil datang untuk menjemputnya dan ia segera masuk ke dalam. Ia yakin orang kantornya pasti merasa heran karena mendadak ia datang dengan membawa tas super besar, namun ia tak peduli. Pokoknya ia hanya ingin cepat-cepat meninggalkan rumah itu.

Ia beruntung karena jam masih menunjukkn pukul setengah delapan kurang. Ia mungkin tiba sekitar jam setengah delapan dan kantor belum terlalu ramai. Kalau seseorang bertanya, ia tinggal mengaku saja kalau ia hendak pindah. Agar lebih efisien, ia memutuskan berkemas di pagi hari dan langsung menempati rumah baru sepulang kerja. Kalau mau lebih sederhana, ia hanya perlu sedikit berbohong.

Jalanan tidak begitu ramai di pagi hari karena umumnya para karyawan berangkat dengan kereta. Perjalanan menuju kantor bahkan hanya lima belas menit ketika biasanya ia perlu waktu lebih dari setengah jam saat berangkat dengan kereta.

Sakura segera turun dari mobil dan membawa tasnya begitu sampai dan ia segera meletakkan tasnya melewati mesin pemeriksa. Penjaga keamanan yang semula menatapnya dengan heran merasa semakin heran setelah melihat isi tasnya melalui layar pada mesin. 

Namun ia tidak peduli dan segera berjalan menuju elevator setelah terlebih dulu menempelkan kartu karyawannya pada gerbang. Sesuai dugaannya salah seorang karyawan laki-laki menyapanya dan menanyakan apa isi tasnya. Ia memutuskan berbohong bahwa ia hendak menginap di rumah teman selama beberapa hari sepulang kerja.

Ia beruntung karena lelaki itu tak bertanya lebih banyak dan ia segera menekan tombol menuju lantai ruangan kantor Sasuke. Di dalam elevator hanya ada dirinya, si karyawan lelaki dan dua karyawan lainnya yang tampak meliriknya sekilas namun tak terlihat peduli dengan apa yang ia bawa.

Satu persatu dari mereka meninggalkan elevator di lantai ruangan kerja mereka dan Sakura sendirian hingga pintu terbuka di lantai ruangan Sasuke dan ia cepat-cepat menuju ruangan lelaki itu. Ia mengetuk pintu tiga kali sebelum memutuskan membukanya.

Sakura menyadari bahwa Sasuke baru saja menelungkupkan kepala di atas meja. Namun lelaki itu cepat-cepat mengangkat kepala serta merapikan rambutnya dengan tangan serta menatapnya dengan heran.

"Selamat pagi, Pak," sapa Sakura seraya tersenyum tipis.

"Itu ... apa yang kau bawa?" Sasuke bertanya tanpa menjawab sapaan Sakura sama sekali.

Sakura melirik tasnya sendiri dan menyadari bahwa ia lupa meletakkannya di bawah mejanya sendiri.

"Itu barang-barang pindahan saya."

Sasuke mengernyitkan dahi melihat isi tas itu. Memang tas itu terlihat penuh dan tampak berat, namun untuk ukuran pindahan jelas sangat sedikit. Perempuan itu bahkan tak membawa perabot apapun ke dalam rumah.

Sesungguhnya Sasuke penasaran mengapa Sakura tampak tergesa-gesa, namun ia mengurungkan niat begitu menyadari bahwa hal itu bukan urusannya. Mau sekarang atau nanti, pada akhirnya perempuan itu juga akan pindah.

"Benda itu menganggu."

Sakura menundukkan kepala dan merasa tidak enak hati. Ucapan lelaki itu ada benarnya, bagaimana jika seseorang memasuki ruangan dan melihatnya?

"Maaf, saya akan memastikan tas ini tidak terlihat siapapun."

"Tidak," tukas Sasuke seraya mengeluarkan ponselnya, "Akan kuminta supir menaruh tas itu di bagasi."

Sakura terdiam sejenak. Otaknya mencerna kata bagasi sebelum menyadari maknanya dan berseru, "Tunggu! Maksudnya di bagasi mobil Bapak?"

Sasuke sedang malas menanggapi Sakura, namun akhirnya ia balas bertanya, "Ada masalah?"

Sakura cepat-cepat menggeleng dan kali ini lelaki malas itu segera menelpon supirnya sendiri. Padahal Sakura sudah mengira kalau lelaki itu akan meminta bantuannya untuk menelpon seseorang.

Ia sungguh berharap agar mereka tidak perlu pulang bersama sore ini dan menjadikan dirinya sebagai bahan gosip dadakan. Nanti sore ia harus menghindar bagaimanapun caranya.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro