Chapter 2
Sakura masih tak percaya jika interview kemarin adalah realita, bukan mimpi. Ia bahkan sudah membaca begitu banyak panduan demi memastikan bahwa ia menjawab pertanyaan dengan benar, namun tak satupun pertanyaan tersebut diajukan.
Yang lebih mengherankan, lelaki bernama Uchiha Sasuke itu bahkan tidak bertanya mengenai alasannya bekerja di perusahaan atau pengetahuannya mengenai perusahaan sama sekali.
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin dan merasa sedikit asing. Selama hidupnya, inilah kali pertama memotong rambut sependek ini.
Ia mungkin tak lagi terlihat feminin, namun di sisi lain kepalanya jadi terasa lebih ringan dan ia tak perlu berpikir soal tatanan rambut.
Bibirnya yang terpoles lipstik berwarna merah muda natural terangkat seketika seraya memandang sekeliling kamar berukuran 1,5 x3 meter itu.
Ia merasa senang membayangkan bahwa sebentar lagi ia bisa meninggalkan rumah paman dan bibi dari pihak ayahnya yang terpaksa menampungnya ketika kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan tujuh tahun lalu.
Paman dan bibinya tidak begitu ramah dan bahkan terang-terangan menyebutnya tidak tahu diri. Bahkan mereka menyebutnya sebagai beban di rumah mereka, karena itulah ia berusaha belajar sekeras mungkin agar bisa mendapat beasiswa dan mengambil berbagai pekerjaan waktu demi mengumpulkan uang agar bisa segera hidup mandiri.
Mulai hari ini kau tinggal di rumahku. Rumah orang tuamu akan menjadi milikku sebagai kompensasi atas segala kebutuhanmu. Hanya itu yang dimiliki orang tuamu.
Itulah hal pertama yang dikatakan oleh bibinya di hari kremasi orang tuanya dan ia tak memiliki pilihan selain setuju.
Sakura yang saat itu masih di bawah umur tak bisa tinggal sendirian dan paman maupun bibinya adalah satu-satunya keluarga yang ia milki.
Bulan depan, ketika ia mendapat gaji pertamanya, ia akan memiliki uang cukup untuk menyewa apartemen serta membayar uang jaminan di muka untuk menyewa.
Ia segera meninggalkan kamar dan mendapati kedua sepupunya tengah menikmati sarapan bersama dengan paman dan bibinya.
"Selamat pagi," sapa Sakura dengan maksud berbasa-basi.
Pamannya hanya mengiyakan, sedangkan bibinya hanya menoleh dan berkata, "Makan."
Sakura mengangguk dan ia mengamati sarapannya. Setidaknya mereka masih berbaik hati menyediakan sarapan yang sama untuknya.
"Kudengar kau sudah diterima bekerja di perusahaan ...." Jeda sejenak sebelum bibinya melanjutkan ucapannya, "...,perusahaan apalah itu. Kapan kau akan pindah dari rumah ini?"
Sakura menyadari pengusiran yang dilakukan secara terus terang dan ia segera menjawab,"Ah, aku memang berencana membahas ini dengan Bibi. Aku sedang mencari tempat dan berencana pindah bulan depan jika menemukan tempat yang cocok."
"Kau pasti punya hari libur, kan? Gunakan waktu luangmu untuk segera mencari tempat."
Untuk pertama kalinya sang paman mendelik dan berseru, "Hey, Shiori. Jangan begitu!"
Sang istri memperlihatkan ketidaksetujuan dan sang paman segera beralih padanya, "Maafkan bibimu ini. Seperti yang kau tahu, kami berdua keluarga sederhana. Menambah satu mulut untuk diberi makan secara rutin selama bertahun-tahun cukup membebani keuangan kami kalau boleh jujur. Karena itu bibimu begitu."
Sakura hanya mengangguk. Tentu saja ia cukup realistis dan tak merasa marah meski di sisi lain ia merasa sedih akan pengusiran secara tak langsung. Ia sadar bahwa tak.ada yang cuma-cuma di dunia ini, meski saudara sekalipun.
Sebagian diri Sakura merasa marah. Padahal jelas ia tidak tinggal secara cuma-cuma di sana. Bibinya tidak mengeluarkan banyak uang untuknya selain biaya makan, kebutuhan sekolah dan uang jajan dengan jumlah standar layaknya anak sekolah pada umumnya. Ia bahkan kuliah dengan beasiswa sehingga sebetulnya harga rumah itu masih lebih dari cukup.
"Memangnya kau bekerja di mana?" tanya Sasori, kakak sepupunya.
Sakura merasa malas membayangkan paman dan bibinya akan berpura-pura baik begitu tahu di mana sesungguhnya ia bekerja.
Ia segera menjawab, "Mm ... aku mendapat pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan kecil. Namun karena adanya kontrak yang melindungi dari pelecehan seksual, aku menerimanya."
Bibinya segera menyeringai sinis, "Kasihan, ya. Sudah belajar mati-matian masih bekerja di perusahaan kecil. Lihat putraku, bekerja di perusahaan afiliasi U&C Company loh. Bukan perusahaan sembarangan yang tidak jelas. Padahal belajarnya biasa saja, tidak sok sibuk kerja sambilan."
Sakura hampir tertawa di dalam hati. Ia tidak keberatan jika mereka menghinanya. Setidaknya ia masih percaya akan kebahagiaan dan yakin kalau ia akan hidup bahagia setelah bekerja keras.
.
.
Sakura melangkahkan kaki meninggalkan elevator, memasuki ruangan yang kemarin dikunjunginya.
Ia mengetuk pintu tiga kali dan segera membukanya serta menundukkan kepala, "Selamat pagi, Tuan Uchiha."
"Sasuke," ralat lelaki itu.
Sakura merasa heran karena lelaki itu sudah berada di kantor meski jam baru menujukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.
Sebenarnya jam berapa lelaki itu tiba di kantor? Lelaki itu sendiri terlihat sedang berbaring di sofa dan tampaknya sedang beristirahat ketika ia tiba.
"Ah, maaf."
"Hn."
Sasuke segera mengubah posisi duduknya dan menatap gadis berambut merah muda itu. Gadis itu berpenampilan persis seperti yang ia perintahkan.
"Maaf sebelumnya, bisakah anda menjelaskan apa saja yang harus saya lakukan?"
"Di luar ada meja dengan komputer. Itu mejamu. Tugasmu menyusun jadwalku, membantu membuatkan surat dan yang lainnya. Kau akan menjadi asistenku, paham?"
Sakura menganggukan kepala. Intinya ia harus membantu lelaki itu mengerjakan pekerjaannya meski ia tidak benar-benar paham seluruhnya.
"Password komputernya kukirimkan melalui Whatsapp. Jangan disebar pada siapapun."
"Ya."
Sakura baru saja akan beranjak ke mejanya ketika lelaki itu segera berkata padanya, "Sekarang belikan dua gelas kopi di Starbucks lantai dasar. Satu hot americano tanpa gula, dan satu lagi terserah."
Lelaki itu segera meraih sakunya dan mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu yen.
"Terserah? Apa saja?" Sakura mengernyitkan dahi.
"Hn."
Sakura berniat meletakkan tasnya di atas mejanya dan meninggalkan ruangan. Ia merasa agak sebal karena ia harus repot-repot meminta tolong pada resepsionis untuk mengantar hingga kartu karyawannya selesai dicetak besok.
"Pakai ini," Sasuke menyerahkan kartu miliknya sendiri, membuat Sakura sedikit terkejut.
"Oh, terima kasih."
Sesudahnya ia segera bergegas meninggalkan ruangan dan menatap kartu yang berada di tangannya.
Kartu itu memiliki warna yang berbeda dengan milik sang resepsionis. Jika kartu milik sang resepsionis berwarna silver, maka kartu di tangannya berwarna hitam dengan huruf berwarna keemasan di atasnya.
Ia pikir kartu milik semua karyawan sama saja, ternyata tidak. Ia jadi penasaran, seperti apa kartu miliknya nanti?
Sakura menekan tombol lantai dasar dan elevator segera bergerak turun. Ia menatap nama dan foto yang tertera di kartu itu.
Di foto itu, Sasuke terlihat menawan dengan jas hitam dan kemeja abu-abu serta dasi berwarna hitam yang sedikit.kontras dengan pinggiran foto berwarna putih.
Begitu elevator terbuka, ia segera keluar dan memegang kartu dalam genggamannya dengan hati-hati. Ia takut karyawan yang menunggu elevator memerhatikan kartu di tangannya dan membuatnya menjadi objek atensi.
Ia bahkan sengaja membalik kartu di tangannya ketika akan tap out dari gerbang sehingga.tidak ada yang akan melihat nama dan foto pemilik kartu yang sebenarnya.
Ia berpikir jika Starbucks pasti berada di mall sebelah yang tersambung dengan kantor. Di luar dugaan, ternyata coffee shop itu benar-benar ada di lantai dasar gedung kantor.
Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah Starbucks akan laris ketika segmen konsumennya terbatas?
Di luar dugaan, ternyata ada juga orang yang sedang mengantri untuk membeli kopi dan ia memutuskan melihat-lihat daftar menu.
Ia tak tahu untuk apa Sasuke memintanya membeli dua gelas kopi. Ia pikir mungkin lelaki itu ingin meminum dua gelas kopi sendirian sehingga ia memutuskan menyamakan pesanan kedua gelas kopi itu.
.
.
Sakura kembali dua puluh menit kemudian dengan dua gelas kopi di dalam paper bag berlogo kedai kopi tersebut.
Ia masih tak terbiasa keluar masuk di ruangan sebesar ini dan ia merasa gugup ketika melangkahkan kaki di ruangan ini. Ia merasa seolah berada di tempat yang salah.
"Ini kopi yang anda minta. Dan ini uang kembaliannya," ucap Sakura seraya meletakkan kantung kertas di atas meja kecil di depan sofa tempat Sasuke duduk.
"Ambil satu."
Sakura mengernyitkan dahi dan membalas tatapan lelaki itu dengan bingung.
"Kopi. Itu untukmu," Sasuke memperjelas dengan nada yang terkesan malas.
Sakura mengambil salah satu kopi dan segera berkata, "Sungguh tidak apa-apa?"
"Hn."
"Terima kasih," ucap Sakura dengan sopan. Dalam hati ia menyesal karena memesan kopi hitam tanpa gula. Padahal sebetulnya ia tidak suka kopi pahit, apalagi yang panas. Tahu begini seharusnya ia pesan latte saja.
"Nanti malam akan ada pesta penyambutan karyawan baru. Booking restoran untuk semua karyawan."
Sakura terkejut. Mem-booking restoran secara mendadak jelas bukanlah hal yang mudah.
"Berapa budget-nya? Untuk berapa orang?"
"Bebas. Lihat jumlah data pegawai di komputermu."
Sakura meringis mendengar permintaan tidak masuk akal begitu. Sepertinya dengan menjadi sekretaris Uchiha Sasuke sama saja dengan keharusan untuk bisa melakukan hal yang hampir mustahil untuk direalisasikan.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro