Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

Sasuke benci mengakui hal ini, namun ia berpikir kalau dirinya adalah lelaki tolol yang sama dengan bertahun-tahun yang lalu. Seharusnya, seseorang belajar dari kesalahan sehingga tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Namun tampaknya ia jatuh lagi untuk kali kedua.

Lagi, ia mencintai perempuan dengan cara yang sama. Ketika ia mencintai seseorang, ia siap menyerahkan jiwa dan raganya untuk sang terkasih. Tak satu pun perempuan yang mengisi hatinya selain perempuan yang ia cintai. Di matanya, tak ada seorang pun yang menarik atensinya melebihi perempuan itu.

Ketika ia jatuh cinta, ia tak begitu memperhatikan fisik sang perempuan. Dia di masa lalu maupun Sakura bukanlah perempuan tercantik yang pernah ia temui. Namun baginya, perempuan itu memiliki hati paling cantik yang pernah dilihatnya, setidaknya sebelum realita terkuak.

Ia berpikir kalau dirinya lebih rasional ketika bersama Sakura, namun sebetulnya ia merasa takut di saat yang sama. Bagaimana kalau mereka bersama dan pada akhirnya perempuan itu meninggalkannya? Bagaimana kalau tak ada lagi yang menarik dari dirinya? Bagaimana kalau ia menyatakan perasaannya dan perempuan itu bersama dengannya bukan untuk dirinya, melainkan untuk apa yang ada pada dirinya.

Mendadak Sasuke tersadar akan suatu hal. Haruskah ia menaruh kepercayaan pada perempuan untuk kedua kalinya dan membiarkan perasaannya bertumbuh? Atau lebih baik melindungin dirinya sendiri dengan menekan perasaannya?

Membahas perempuan, ia tak menampik bahwa ia memiliki sisi sensitif di mana ia berharap menemukan seseorang yang sungguh menginginkan dirinya, lalu menjalin hubungan jangka panjang dan membangun keluarga yang stabil. Kalau sampai memiliki anak, ia tak ingin anaknya melalui apa yang ia alami. Ia tak ingin sang anak merasakan kehidupan keluarga yang tidak jelas, di mana ayah dan ibunya berganti-ganti, bahkan tak diketahui secara pasti berapa anggota keluarga yang sesunguhnya.

Sasuke bahkan tak begitu yakin berapa jumlah anak yang dimiliki ayahnya sesungguhnya. Ia pikir sang ayah hanya memiliki dirinya dan Itachi sebagai anak, namun rupanya masih ada beberapa anak yang tak pernah ditemuinya. Mereka semua hidup dalam persembunyian saat ini, dan mungkin akan muncul ketika sang ayah tiada.

Rasanya begitu sulit mempercayai perempuan ketika ia sendiri memiliki begitu banyak memori tidak menyenangkan dengan perempuan, pada para kekasih ayahnya, juga pada ibunya sendiri. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengubah persepsinya dan membiarkan dirinya jatuh cinta, ia pun harus berakhir dengan menelan pil pahit.

Beberapa hari telah berlalu dan ia memutuskan fokus terhadap pekerjaannya. Setiap waktu bekerja, Sakura bersikap layaknya seorang bawahan. Ia merasa lega, perempuan itu seolah mengingatkan dirinya sendiri akan batas melalui tindakannya sehingga ia bisa menghentikan perasaannya.

Namun ia lah yang bertindak berlebihan. Sore ini, ketika berjalan bersama perempuan itu di luar pekerjaan, lagi-lagi ia memerhatikan penampilannya sendiri. Ia bahkan memakai parfum berlebih lagi.

Ketika berjalan beriringan, ketika samar-samar menghirup aroma parfum lembut dari tubuh perempuan itu, ia tersenyum dalam diam. Ia merasa begitu senang karena perempuan itu memakai parfum pemberiannya.

Rasanya ... bahagia baginya begitu sederhana kali ini. Ia menikmati berjalan di jalanan yang ramai seraya sedikit berdesakan, meski sesungguhnya tak perlu begitu.

Sore ini ia menyaksikan wajah asli Sakura tanpa polesan kosmetik sedikitpun. Tampaknya perempuan itu sengaja tak memakainya. Namun anehnya atensinya hanya tertuju pada Sakura dan ia berpikir perempuan itu menarik.

"Makanan yang kelihatan renyah itu menarik. Aku mau beli. Kau mau?"

Ucapan Sakura menyadarkan Sasuke yang sejak tadi fokus pada pemikirannya sendiri. Sejak tadi ia bahkan hampir kehilangan sosok Sakura berkali-kali.

"Oh? Iya?"

Sasuke sebetulnya merespon dengan heran karena tak fokus sepenuhnya, namun ucapannya malah terdengar seperti pernyataan tampaknya. Perempuan itu bahkan menyentuh pergelangan tangannya secara refleks, menariknya ke salah satu stan makanan pinggir jalan dengan wajan besar berisi minyak panas.

Sentuhan pada pergelangan tangannya membuat wajahnya sedikit merona. Tangan itu sedikit kasar untuk ukuran perempuan, namun hangat dan meninggalkan sensasi tertentu.

Perempuan itu langsung melepasnya begitu saja begitu mereka sudah menepi tepat di depan penjual. Ketika Sakura melepasnya, diam-diam Sasuke menyentuh pergelangan tangannya, sedikit merindukan sensasi di kulitnya beberapa detik yang lalu.

Sakura mencoba berbicara dengan bahasa Inggris pada pedagang itu, namun pedagang itu mengernyit keheranan. Ia melirik Sasuke sekilas, berpikir ingin meminta bantuan sebelum mengurungkan niat. Sejak bertemu Tuan Zhang, ia tahu kalau lelaki itu bisa berbahasa Mandarin.

Ia memutuskan membust gestur angka dua pada penjual makanan itu. Namun sebelum ia sempat berkomunikasi, lelaki itu langsung mengambil alih.

"Aku mau dua," kata Sasuke dalam bahasa Mandarin.

"Oke."

Sakura merasa kebingungan. Memangnya berapa harga makanan itu? Apa Sasuke sudah menanyakannya? Ia tak memahami bahasa Mandarin lisan.

Sakura baru saja berniat mengeluarkan uang dua puluh yuan. Ia pikir seharusnya uang itu cukup untuk membayar dua makanan, kalau membandingkan dengan harga barang lain.

"Aku yang bayar."

Sesaat Sakura tertegun ketika lelaki itu mengeluarkan uang seratus yuan dan membayarnya pada si pedagang. Pedagang itu mengamati mereka lekat-lekat, lalu mengeluarkan kembalian 55 yuan.

"Eh? Makasih."

Sakura mengamati sekilas dan merasa aneh. Apa iya makanan di pinggir jalan semahal ini? Sepertinya makanan itu hanya adonan tebal dengan permukaan renyah. Ketika menggigitnya pada gigitan pertama, ia menemukan rasa bawang yang lumayan kuat.

Rasa makanan itu lumayan enak menurutnya. Sakura bahkan menikmati sambil berjalan, memperhatikan aneka makanan lain yang terlihat menarik.

"Ah, aku juga mau coba sate itu," ujar Sakura. Ia menoleh ke belakang, namun tak lagi mendapati sosok Sasuke. Lelaki itu telah lenyap ditelan kerumuman manusia yang berjalan bagaikan semut beriringan.

Ia baru saja akan berbalik arah, namun pejalan kaki yang melintas malah menubruk tubuhnya lumayan keras. Secara refleks, Sakura langsung berusaha menepi dan memegang tasnya erat-erat.

Bagaimana ini? Haruskah ia menelpon Sasuke sekarang? Di tengah kerumunan, bagaimana kalau lelaki itu menjadi sasaran kejahatan karena memegang ponsel?

Sakura memutuskan untuk kembali ke tempat di mana ia membeli roti renyah dan berharap bisa menemukan Sasuke di sana. Ketika ia menemukan sosok lelaki itu yang terlihat agak mencolok, ia langsung melambaikan tangan tinggi-tinggi dan menghampiri lelaki itu.

"Astaga! Kukira kau menghilang."

Sasuke memegang ponselmya, mematikan telepon pada Sakura. Ia melirik perempuan itu lalu berucap, "Kupikir kau yang hilang."

"Kupikir kau berjalan di belakangku. Tadinya aku berniat membeli sate. Satu tusuk cuma enam yuan."

Sasuke menatap sekeliling, memperhatikan kerumuman pejalan kaki yang didominasi lelaki. Ini pertama kalinya ia berada di kerumunan dan merasa sedikit heran sekaligus tidak nyaman.

Ia memang pernah mendengar soal kebijakan satu anak di China dan kebanyakan keluarga yang berharap memiliki anak.laki-laki sebagai penerus marga. Ia tahu negara itu memiliki lebih dari satu milyar penduduk, namun tidak menyangka jalanan akan begitu ramai sampai berdesakan begini.

"Omong-omong, sepertimya di sini ramai. Kalau bisa jangan pakai HP," tegur Sakura.

"Iya."

Sasuke tidak menyangka kalau perempuan itu mengkhawatirkan dirinya. Ia berpikir.kalau perempuan itu yang justru berbahaya karena rentan menjadi sasaran kejahatan. Insting lelakinya muncul, ia ingin melindungi perempuan itu dari predator.

Sakura menatap heran ketika lelaki itu mengulurkan tangan padanya. Apa lelaki itu mau menggandeng tangannya? Tidak, tidak. Dia pasti mulai terpengaruh drama romantis. Kalau yang mengulurkan tangan Uchiha Sasuke, pasti maksudnya berbeda. Jangan-jangan mau menagih uang makan tadi?

"Uangnya kubayar kalau di hotel nanti, ya. Maaf."

Sasuke tertegun. Ia merasa kecewa dan berniat menarik tangannyabyang terulur. Perempuan itu rupanya salah memahami maksudnya.

"Aku tidak ingin kau hilang di keramaian lagi."

Selesai berucap, Sasuke langsung memegang tangan Sakura dan mengenggamnya. Sakura terkejut menyadari telapak tangan lembut itu menyentuhnya. Namun ia berpikir kalau lelaki itu cuma tidak ingin terpisah lagi. Ia tidak tahu kalau sebetulnya jantung Sasuke berdebar begitu keras.

Wajah Sasuke lagi-lagi memerah. Entah karena kurang pengalaman, atau karena belum pernah sungguhan berpacaran, namun bergandengan saja membuatnya gugup setengah mati.

"Mau sate? Kali ini kutraktir."

Sakura menoleh begitu mereka berada di dekat penjual sate yang tadi diincar Sakura. Sasuke merasa sungkan, bagaimana bisa seorang bawahan mentraktirnya?

"Biar aku yang bayar."

"Kau bilang, di luar jam kerja kita bukan atasan dan bawahan. Jadi, kau bukan atasanku sekarang."

Sakura tak mempedulikan reaksi Sasuke. Ia segera memesan dua tusuk sate berukuran besar dan cepat-cepat membayar.

Ucapan Sakura membuat Sasuke merasa semakin kesulitan menentukan batas. Ucapannya pada perempuan itu berubah menjadi boomerang yang menyerang dirinya sendiri.

Sekarang, Sakura bukan lagi memandangnya sebagai Uchiha Sasuke, sang bos. Perempuan itu memandangnya sebagai seorang kenalan pribadi. Apakah itu artinya segala tindakan perempuan itu dilakukan karena memandangnya sebagai kenalan? Ia jadi berharap kalau perempuan itu memang tulus padanya, dan ia mulai semakin berharap lebih.

.
.

Gadis merah muda itu sudah kalap. Setiap kali menemukan jajanan yang menarik, ia langsung memutuskan membeli tanpa memikirkan apakah ia bisa menghabiskan semuanya. Sekarang tangannya sudah dipenuhi plastik berisi macam-macam jajanan. Ia pun sudah menghabiskan sate miliknya, juga segelas minuman.

Berlawanan dengannya, sejak tadi Sasuke malah belum makan sama sekali. Ia bahkan memasukkan satenya ke dalam kemasan kertas berisi kue bawang renyah yang kininsudah mendingin.

Lelaki itu tak biasa menikmati makanan sambil berjalan, apalagi di keramaian. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Sakura dan orang-orang lain melakukannya?

Perempuan itu seolah membawanya menemukan hal-hal baru yang tak pernah ia temui sebelumnya, atau hal yang semula dianggapnya tidak signifikan sehingga diabaikan, namun rupanya menarik. Ia jadi sedikit teringat dengan Naruto, sosok yang agak berbeda dibanding masyarakat kelas atas lainnya.

Meski demikian, tetap saja karena lelaki itu juga berasal dari kalangan yang sama dengannya, ada saatnya lelaki itu menjaga image di depan publik dan menjadi diri sendiri di situasi privat. Ia masih ingat kalau ia membelalakan mata dan mengoceh karena menemukan beberapa cup ramen instan di kamar lelaki itu, namun Naruto tetap menikmati fine dining dengan tata krama yang baik.

Sasuke tak pernah sadar sebelumnya bahwa kalangan yang ia kira kurang memahami tata krama makan yang baik dan benar rupanya dipengaruhi oleh situasi dan pola pikir. Setelah mengamati Sakura dan berinteraksi, ia menyadari kalau sebagian kalangan mengutamakan kepraktisan.

"Ya ampun, aku kalap. Kurasa aku tidak bisa menghabiskan semuanya kalau terus membeli," ujar Sakura dengan suara sedikit keras karena keramaian yang meredam suara mereka.

Suara mereka sebelumnya tersamar dalam teriakan penjaja makanan yang menawarkan makanan maupun pejalan kaki yang bercakap-cakap. Sakura tak memiliki pilihan selain mengeraskan suara.

"Mau pulang?" tawar Sasuke.

"Iya. Kita makan di hotel saja, ya?"

"Oke."

Sasuke merasa begitu lelah hanya dengan berada di kerumuman selama lebih dari satu jam, lalu lanjut naik kendaraan umum bermodal nekat bersama Sakura. Ia berpikir kalau naik kendaraan umum di daerah asing begitu berbahaya, namun perempuan itu seolah tak peduli.

Kata Sakura, daerah ini agak sulit diakses dengan mobil. Mencari tempat parkir bisa jadi merepotkan, maka mau tak mau ia menurut dengan naik MRT yang cukup padat. Ia bahkan sampai harus berdesakan di jam enam sore dengan aroma tubuh yang membaur.

"Naik taksi, ya."

Sakura menyadari kalau sebenarnya ia mengajak orang yang kurang tepat. Apa yang biasa baginya barangkali terasa seperti mimpi buruk untuk lelaki macam Sasuke.

"Oke. Bagi dua, ya."

"Aku yang bayar."

Sasuke terlihat bersikeras dan Sakura tak memiliki pilihan selain mengiyakan lelaki itu. Di matanya, Sasuke sudah terlihat begitu lelah dan tak ingin berdebat.

.
.

"Argonya cepat sekali! Sepertinya kita ditipu," keluh Sakura tepat ketika ia turun dari taksi.

Sasuke yang baru saja selesai membayar dan memasukkan dompetnya memutuskan menanggapi, "Kupikir cuma perasaanku. Atau argo taksi memang begini?"

Sakura terkejut dengan reaksi lelaki itu. Sepanjang perjalanan, Sakura memutuskan diam dan menyalakan aplikasi map yang berfungsi di China. Ia memperhatikan jalan dan menyadari argo yang begitu cepat.

"Tumben kau menyadari hal begini."

"Dulu aku pernah naik taksi. Tadi aku juga memperhatikan argonya."

Sakura merasa puas. Sepertinya Sasuke mulai lebih sedikit memiliki common sense berkat menghabiskan waktu bersamanya.

"Kurasa sewaktu membeli kue bawang panggang kita juga ditipu. Masa makanan itu lebih mahal dari dimsum yang pakai daging?"

Sasuke bahkan tak begitu menyadari hal semacam itu. Ia bahkan tak terpikir untuk bertanya karena berpikir makanan pinggir jalan pasti lebih murah dari restoran.

"Kurasa harganya memang segitu."

"Kau tanya harganya?"

Sasuke menggelengkan kepala, membuat Sakura merasa frustasi. Ia meringis seraya berjalan memasuki lobi hotel.

"Aduh, harusnya kau tanya. Mereka bisa saja sengaja menjuak dengan harga berkali-kali lipat karena kita turis."

"Iya?"

Sakura tak lagi peduli kalau pria ini atasannya di kantor. Entah kenapa, kalau sudah menyangkut hal semacam ini, Sasuke begitu bodoh dan tidak bisa diandalkan.

"Sayang uangnya. Kita bisa beli beberapa makanan lainnya."

"Biarkan. Kita juga tidak mampir lagi."

Sakura bersiap menggerutu, namun menahan diri. Pola pikir lelaki ini memang berbeda, mungkin karena menghasilkan uang juga lebih mudah untuknya.

"Iya, sih. Namun rasanya sayang karena aku bisa mendapat lebih banyak makanan dengan uang yang sama."

Sasuke sedang malas menanggapi perempuan itu. Ia ingin segera menikmati makanan yang sudah ia beli sebelumnya.

Ia segera menjawab, "Anggap saja donasi."

Elevator bergerak naik dan keheningan berlangsung di antara keduanya. Sakura menatap Sasuke dalam diam, lalu meremas tangannya sendiri.

Entah kenapa, ia masih mengingat telapak tangan lelaki itu yang baru mengenggamnya selama lebih dari satu jam. Siapapun yang melihat mereka, pasti mengira kalau mereka adalah pasangab kekasih, meski penampilan Sasuke terlalu rapi untuk sekedar berjalan-jalan menikmati street food.

Satu hal yang bisa ia kagumi dari lelaki itu, meski sebenarnya ia yakin Sasuke tampak tidak nyaman, lelaki itu tidak marah-marah atau menyuruh untuk segera pulang. Lelaki itu hanya diam, menemaninya pergi ke manapun yang ia inginkan meski kalau sedang sendirian, pasti Sasuke akan pulang kurang dari setengah jam.

Ia merasa tidak enak. Rasanya Sasuke seolah menjadi pengawal yang mengikutinya ke manapun hari ini. Namun yang spesial, pengawal yang satu ini tidak perlu dibayar, bahkan terkadang bisa ikut membayar.

Sakura berusaha menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak seharusnya terlalu memikirkannya, toh cuma kebetulan mereka memiliki waktu kosong bersama dan Sasuke mau ikut. Kalau tidak bergandengan, nanti hilang di kerumunan.

Namun ... ia jadi berharap suatu saat nanti setidaknya bisa menyebut lelaki itu sebagai 'teman', bukan sekedar atasan atau kenalan.

-TBC-

--------------------
Author's Note :

--------------------
Sepertinya ... berkat 2 gelas kopi + lebih dari 1 liter teh jasmine yang kunikmati kemarin membuat ideku lancar & aku jadi kuat begadang.

Aku menulis ini jam 12 malam sampai jam 4 pagi. Ideku beneran lancar kali ini, jadi lebih panjang ketimbang biasanya juga.

Ini bab terakhir yang bisa ku-update. Selanjutnya tersedia di PDF. Kalau nanti kelar, bakal ku-announce.

Makasih sudah membaca karyaku sampai bab ini. Maaf buat comment yang ga bisa dibalas satu per satu. Aku merasa bersemangat membaca kolom komentar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro