Chapter 14
Sasuke menatap dengan penuh rasa penasaran terhadap mangkuk plastik berukuran besar yang baru saja dibuka Sakura. Di dalamnya terdapat mangkuk dari bahan alumunium sekali pakai dengan isian berupa beras. Setelah mengangkat mangkuk alumunium itu, rupanya ada bermacam-macam bungkusan. Salah satunya adalah kemasan yang rupanya merupakan pemanas.
Sakura mulai memasukkan beras ke dalam mangkuk alumunium, lalu memasukkan sayuran kering dan hendak membuka bungkusan berisi daging. Namun seketika Sasuke langsung memegang tangan gadis itu secara refleks.
"Menurut panduan, kau seharusnya memasukkan daging sesudah memasak nasi," tegur Sasuke tanpa menyadari kalau ia sedang memegang tangan Sakura.
Perempuan itu tertegun sesaat ketika menyadari telapak tangan yang lebar namun lembut berada di atas tangannya. Seharusnya, ini akan menjadi adegan romantis di drama. Namun ia malah sedikit canggung dan langsung menyentak tangannya sambil berkata, "Ah, kurasa dagingnya bakal hangat kalau terkena panas. Sepertinya malah lebih enak kalau langsung dicampur. Saking penasaran aku sempat menonton video di Utube."
Sasuke menyadari Sakura baru saja menyentak tangannya dan ia cepat-cepat melepasnya. Ia merasa wajahnya sedikit memanas dan ia sedikit menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mungkin sedikit memerah. Ia berharap Sakura tak sempat melihat ekspresinya yang tak sempat ia sembunyikan selama sepersekian detik.
Pada akhirnya Sasuke mati-matian menahan diri agar tidak protes karena perempuan itu tidak mengikuti panduan. Ia memutuskan melepas plastik berisi penghangat sekali pakai lalu menuangkan air ke dalam mangkuk alumunium hingga takaran yang ditentukan sesuai panduan. Ia khawatir Sakura menuang air dengan takaran seenaknya dan makanan itu berakhir gagal.
Sakura segera mengaduk-aduk beras tersebut dan membuat kening Sasuke berkerut. Sejujurnya makanan itu terlihat sangat tidak menggiurkan dan ia bahkan tidak berniat mencicipinya. Bagaimana bisa beras dicampurkan dengan daging dan dimasak bersamaan?
Perempuan merah muda itu menuang air ke dalam mangkuk plastik besar berisi pemanas hingga takaran yang ditentukan, lalu meletakkan mangkuk alumunium dan tutupnya. Hampir semenit kemudian pemanas itu mulai bekerja dan terdengar suara. Sakura dengan sengaja menyentuh bagian bawah mangkuk plastik itu.
"Awas! Panas!" Sasuke berseru secara refleks seraya menyentuh telapak tangan Sakura dan menjauhkannya.
Sakura tak mampu menahan diri untuk tidak mengernyitkan dahi dan menatap sang bos dengan tatapan keheranan. Sejak tadi pagi lelaki itu agak aneh, rasanya lebih perhatian ketimbang biasanya. Apa ia baru saja melihat sisi lelaki itu yang selama ini disembunyikan? Lelaki itu bahkan bergerak refleks memegang tangannya.
"Oh, ini belum panas, kok. Aku cuma memastikan pemanasnya berfungsi atau tidak. Ternyata sungguhan berfungsi."
"Menurut panduan, kita perlu menunggu lima belas menit sampai nasinya matang."
Sakura tersenyum, "Iya, memang. Ternyata produk ini sungguhan keren."
Sasuke memberanikan diri mendekatkan sedikit tangannya ke mangkuk plastik itu dan merasakan panas bahkan sebelum telapak tangannya menyentuh bagian bawah mangkuk itu. Terdengar suara air mendidih yang semakin keras dan ia pun merasa produk ini sungguhan keren.
"Aku baru tahu produk semacam ini ada."
Kali ini Sakura membelalakan mata karena terkejut. Ia pikir Sasuke justru malah lebih tahu ketimbang dirinya soal ini.
"Lho? Kupikir kau malah sudah tahu. Maksudku ... kau sudah pergi ke banyak negara, kan?"
Sasuke tidak mengangguk ataupun menggeleng. Sejauh ini, ia sudah pernah pergi ke lebih dari sepuluh negara, entah untuk urusan pekerjaan atau berlibur. Namun ia belum pernah membeli makanan seperti ini. Dulu orangtuanya sangat anti dengan makanan instan karena dianggap tidak sehat. Pola pikir ini terbawa menjadi kebiasaan dan kalau ia merasa lapar, ia akan memilih makan buah ketimbang makanan instan.
"Aku malah belum pernah mencoba makanan begini," ujar Sasuke, memutuskan mengaku dengan jujur meski ia tahu kalau Sakura bakal menyebutnya kekurangan common sense.
"Duh ... jangan bilang kau belum pernah makan mie instan."
Sasuke menggelengkan kepala, membuat Sakura meringis. Sakura benar-benar tak habis pikir, rasanya sulit untuk percaya bahwa di dunia ini ada orang yang belum pernah makan mie instan. Kalau begini, pantas saja lelaki itu kurang common sense.
"Serius?"
Sasuke menjawab dengan anggukan. Ia malah merasa heran, memangnya kenapa orang-orang memakan makanan yang tampak tidak sehat begitu?
"Biar kutebak, pasti kau merasa heran kenapa orang-orang makan makanan instan begini."
Mata Sasuke seketika terbelalak. Rasanya ia tidak menyuarakan pemikirannya sama sekali dan perempuan itu bisa langsung tahu. Apa dia ... peramal?
"Ekspresi wajahmu sungguh terbaca kali ini," jelas Sakura sambil tersenyum. Ia meneguk ludah sesaat kemudian melanjutkan ucapannya, "Orang-orang makan makanan instan begini karena harganya murah dan bisa dimasak dengan cepat. Cuma perlu menambah air, makanannya langsung matang sendiri. Kalau masak mie instan, kau juga cuma butuh air panas. Cepat dan mudah, kan?"
"Tapi ... tidak sehat, kan?" Sasuke bersuara pada akhirnya.
Sakura menahan diri mati-matian untuk tidak berdecak. Ia melanjutkan ucapannya, "Kalau kau sedang sibuk lalu lapar, paling cepat ya membuat makanan instan begini. Lalu harganya juga murah. Selama tidak sakit, artinya baik-baik saja."
Sasuke tidak menyahut. Atensinya teralihkan pada uap panas yang keluar melalui lubang di penutup kemasan nasi instan itu. Ia jadi teringat dengan nasi yang dimasak dalam rice cooker.
"Ini mirip rice cooker."
"Iya, kan? Sepertinya sebentar lagi bakal matang."
Sasuke mulai sedikit penasaran dengan makanan instan itu. Sakura meliriknya sekilas lalu berkata, "Kalau kau memang ingin tahu, setelah kembali nanti pokoknya kau harus mencoba mie instan. Ada banyak rasa yang enak, sayang kalau kau belum pernah mencoba sekali pun."
Sakura lalu melanjutkan ucapannya, "Nanti juga akan ada jadwal kosong setelah jam lima sore, kan? Aku berencana pergi berbelanja lalu mencoba street food sendirian kalau tidak ada pekerjaan. Kurasa kau juga harus mencoba. "
Sasuke tak pernah sekali pun mencoba makanan di pinggir jalan. Ia membayangkan makanan itu begitu kotor karena terkontaminasi dengan orang-orang yang berlalu lalang. Ia merasa risih, kalau boleh jujur.
"Kurasa nasinya matang."
Sakura segera tersadar karena ucapan Sasuke. Ia hampir lupa mengecek jam dan kini ia segera membuka tutupnya. Uap panas seketika menguar dan ia segera menuangkan saus ke dalam nasi yang sudah matang lalu mengaduknya dengan sendok plastik yang disediakan hingga merata. Aroma yang begitu wangi menguar dan membuatnya tergoda untuk segera mencicipinya.
"Ternyata porsinya besar, ya," ucap Sakura seraya mengaduk nasi itu.
"Hn."
"Sebentar, aku ambil piring dulu."
Tanpa menunggu lebih lama, Sakura bergegas mengambil piring. Ia sama sekali tak menemukan piring makan sehingga memutuskan mengambil piring dan sendok yang sebetulnya merupakan sendok teh.
Sasuke melirik piring dan sendok yang dibawa Sakura, lalu mengajukan protes secara refleks.
"Kau mau makan pakai itu?"
Sakura mengangguk, "Iya. Ini kan piring dan sendok?"
"Itu alas cangkir dan sendok teh, bukan untuk makan nasi. Kurasa kita harus meminta sendok dan piring makan."
"Ah," Sakura menyahut, "Yang penting piring dan sendok, kan?"
Sasuke mengernyit, namun tak berniat protes. Sakura tak terlihat berniat menelpon bellboy dan ia juga sedang malas menelpon. Ia merasa tidak nyaman dan berpikir kalau keluarganya melihat ia makan dengan cara begini, ia pasti akan ditegur. Kalau perlu, ia akan dikirim kembali ke sekolah tata krama.
Sakura memutuskan mengambil nasi dan memindahkannya ke piring, lalu memberikannya pada Sasuke. Lelaki itu menerimanya dan mengucapkan terima kasih, namun ia merasa canggung menikmati makanan dengan peralatan yang tidak seharusnya.
"Boleh tukar sendok?"
Sakura yang hampir selesai memindahkan nasi ke piringnya sendiri menghentikan gerakannya sejenak, lalu memberikan sendok itu pada Sasuke. Sasuke menerima sendok plastik itu dan merasa canggung, namun setidaknya masih lebih baik ketimbang memakai sendok teh yang begitu kecil.
Sasuke memutuskan menunggu Sakura selesai memindahkan nasi, lalu mengucapkan selamat makan. Ia merasa aneh saat merasakan sensasi plastik yang masuk ke dalam mulutnya. Ternyata sendok plastik begitu ringan, berbeda dengan sendok yang biasa ia gunakan. Nasi yang ia rasakan jadi terasa aneh, namun ternyata nasi itu tidak seburuk yang ia bayangkan.
Nasinya matang sempurna dengan rasa gurih yang meresap. Dagingnya juga terasa seperti daging sungguhan, begitupun dengan jamurnya yang renyah. Tentu saja makanan itu berbeda dengan makanan di restoran, namun ternyata ia sanggup menghabiskan suapan pertama.
Sebenarnya Sasuke merasa risih ketika sendoknya menyentuh bagian tengah piring yang seharusnya merupakan tempat khusus untuk gelas. Ia membayangkan piring itu kotor karena seharusnya merupakan alas gelas sehingga mengurangi kenikmatan bersantap. Namun ia juga tidak enak menyisakannya.
"Gimana? Rasanya enak?" tanya Sakura seraya melirik Sasuke yang makan dengan begitu hening. Melihat cara lelaki itu yang makan dengan elegan meski menikmati makanan seperti ini membuatnya merasa begitu kasar. Di matanya, lelaki ini begitu anggun layaknya bangsawan.
"Boleh juga," sahut Sasuke setelah selesai mengunyah. Ia bahkan sampai mempercepat mengunyah nasinya karena tidak enak membiarkan perempuan itu menunggu terlalu lama.
"Iya, kan? Aku tidak menyangka rasanya bakal seenak ini. Nanti aku mau mampir ke minimarket lagi dan membeli buat bawa pulang, ah."
Sasuke memutuskan mengambil sendok nasi kedua dan mengunyahnya, kali ini lebih perlahan ketimbang sebelumnya. Ia jadi bertanya-tanya, apakah rasa nasinya memang seenak ini? Atau jadi terasa enak karena dinikmati bersama Sakura?
.
.
Tidak seperti biasanya, kali ini Sasuke memutuskan bangun lebih pagi ketimbang biasanya. Namun ia tidak berniat untuk langsung memulai hari dengan berolahraga ringan maupun langsung mengecek pekerjaan.
Ia malah melakukan hal yang sebetulnya konyol. Sesudah mandi, ia segera berpakaian setelah memastikan pakaiannya cukup rapi. Kalau biasanya ia hanya mengecek wajahnya sekilas dan memastikan semuanya sudah rapi, ia menghabiskan waktu lebih lama di depan kaca. Ia kemudian mengambil parfum dan menyemprotnya berkali-kali, lebih banyak ketimbang biasanya.
Bibirnya sedikit terangkat kalau saja ia tidak cepat-cepat mengulumnya. Dalam hati ia membayangkan Sakura. Apakah perempuan itu menikmati tidurnya? Apakah ruangannya cukup nyaman? Ia ingin bertanya, namun berusaha keras menyembunyikan rasa penasarannya.
Perempuan itu pasti akan menganggap dirinya aneh. Ia sendiri merasa dirinya begitu impulsif akhir-akhir ini. Ia bahkan tak begitu memikirkan efek tindakannya pada perempuan itu. Kemarin ia bahkan memegang tangan perempuan itu.
Sebenarnya, apa yang salah pada dirinya? Sakura hanya bersikap menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaan. Perempuan itu bahkan tidak berusaha terlihat anggun dan manis, namun ia malah merasa tertarik. Sakura pun bukan perempuan ekstra hangat dan baik seperti 'dia' yang pernah dicintainya bertahun-tahun lalu, namun ia merasakan perasaan serupa terhadap Sakura.
Kalau boleh berkata jujur, Sasuke akan mengakui kalau dia setidaknya tertarik pada Sakura dan sebenarnya berharap memiliki hubungan yang lebih pribadi ketimbang sekedar atasan dan bawahan. Ketika ia menunjukkan atensi maupun kekhawatiran yang tak bisa lagi disembunyikan, ia sungguh bertindak mengikuti hatinya. Sejenak, ia tak peduli bagaimana pemikiran Sakura selama perempuan itu akan baik-baik saja.
Sakura ... memikirkan perempuan itu membuatnya bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa khawatir kalau suatu saat ia akan melewati batas yang diciptakannya sendiri. Ini sungguh memalukan, rasanya seolah menjilat ludah sendiri. Ia jadi berpikir, bagaimana kalau perasaannya malah membuat Sakura kurang nyaman?
Sasuke mengepalkan tangannya sendiri, lalu meremasnya kuat-kuat. Mungkin ia perlu berjalan-jalan di luar sendirian sebentar dan menenangkan pemikirannya sendiri. Ia merasa takut sebetulnya, bagaimana kalau ungkapan 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' itu memang benar? Bagaimana kalau ia berubah menjadi pria mata keranjang karena dengan mudahnya tertarik pada perempuan, layaknya sang ayah yang berganti kekasih setiap musim?
Ia memutuskan menghampiri jendela di dalam kamarnya. Ia ingin segera pergi ke luar, namun langit bahkan masih gelap. Akhirnya ia berniat mengisi perutnya dengan minuman yang kemarin ia beli di minimarket.
Ia segera keluar dari kamar, lalu melirik sekilas pintu kamar Sakura yang masih tertutup. Di jam setengah enam pagi, mungkin perempuan itu masih terlelap. Ia berusaha sehening mungkin agar tidak membangunkan Sakura.
Lagi-lagi, ia memikirkan perempuan itu lebih dari yang seharusnya. Rasanya ia tak sabar menunggu momen berinteraksi bersama, meski hanya terkait pekerjaan. Sepertinya ... logikanya mulai mati.
-TBC-
-----------
Author's Note :
-----------
Berhubung ide lagi lancar, jadinya update 2x sehari. Namun sepertinya aku cuma bisa update sampai chapter berikutnya. Untuk chapter 16 hingga tamat akan tersedia dalam bentuk pdf berbayar.
Harganya 10 ribu per pdf, isinya dari prolog sampai bab terakhir. Namun saat ini masih tahap progress pengerjaan. Kalau pdfnya ready, bakal kuumumkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro