Bab 42. Senyum Yang Telah Kembali
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Kamu nggak mau angkat teleponnya?" Angga melirik pada ponsel Cakra yang ada di atas meja sementara si pemilik berusaha memejamkan matanya di sofa. Mereka masih di Rumah sakit. Mencoba meletakkan rasa lelah setelah berhasil membujuk Ibu mereka untuk beristirahat di hotel.
Angga juga tampak lelah karena dia yang terus bolak-balik mengurus laporan kecelakaan, sementara Cakra dan Ibunya memantau perkembangan sang Ayah di Rumah sakit. Selain Ibunya, Cakra adalah orang yang merasa paling cemas. Hubungannya yang tak terlalu baik dengan sang ayah menjadi ketakutan tersendiri padanya jika terjadi hal buruk pada ayahnya. karena itu Angga membiarkan dua orang paling cemas itu berada di sisi sang Ayah.
Namun, Angga baru menyadari kalau Cakra sepertinya menghindari koneksinya dengan Tari. Dia melihat banyak panggilan dari Tari maupun notifikasi pesan dari gadis itu yang diabaikan oleh adiknya.
"Beneran nggak mau angkat? Atau Mas aja yang angkat?" Angga mengulurkan tangannya berniat meraih ponsel, namun si pemilik langsung bangun dan merebutnya.
"Mas! Please, jangan."
"Kenapa?"
"Gue pusing, gue bingung."
"Iya, Mas paham. Tapi apa hubungannya dengan Tari? Padahal kamu mau aja angkat telepon dari teman band kamu dan juga anak-anak kafe. Apa bedanya?"
"Itu kan karena kerjaan, Mas."
"Kalau Tari? Karena hati?" Angga tersenyum melihat Cakra yang terlihat bingung itu, ternyata adiknya bisa begini masalah hati.
"Gue bingung. Sebenarnya dari kemarin gue pengen banget ngabarin dia. Tapi gue takut konsentrasi gue terpecah antara Ayah dan dia. Rasanya gue nggak bisa menahan diri, kalau gue sama dia. Gue pengen mengatakan semuanya tentang perasaan gue, pemikiran gue, dan di saat yang sama gue akan terlihat lemah. Saat ini dengan kondisi Ayah yang masih seperti ini, gue nggak bisa lemah, kan, Mas? Gue dan lo harus kuat demi Ibu juga."
Cakra memejamkan matanya, menghela panjang dan menyandarkan kembali punggungnya di sofa. Sejujurnya ia merindukan Tari.
"Mau denger pendapat Mas, nggak?" Angga memajukan posisinya hingga ia bisa bicara dengan suara pelan pada Cakra. "Menurut Mas, sebaiknya kamu angkat telepon dan balas pesan dari Tari. Kalian udah dekat, dan yang paling penting, kamu tahu kan masa lalu Tari? Dia punya trauma ditinggalkan. Menurutmu, apa yang Tari pikirin selama tiga hari ini kamu menghilang tanpa kabar? Kamu yakin dia mau mengerti alasan kamu saat kembali lagi nanti?"
"Mungkin, perempuan lain masih bisa menerima alasan kamu sekalipun marah. Tapi situasi Tari beda, Ka. Kamu nggak bisa kayak gini sama dia. Mas yakin, kamu justru akan jadi salah satu orang yang bikin dia makin trauma."
Cakra masih menutup matanya, namun ia mendengarkan ucapan Angga. Hatinya mulai goyah. Bukan maksudnya membuat Tari trauma, ia ingin fokus pada kondisi Ayahnya saat ini. Tapi, jika keputusannya ini justru menyakiti Tari seperti yang Angga katakan, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Gue harus gimana?" Ia langsung merubah posisinya menjadi duduk dan menatap sang kakak.
"Ya jawab dong itu Tarinya. Ngomong dan jelasin alasan kamu ngilang ini apa. Dia pasti ngerti kalau kamu bilang sekarang karena besok atau lusa dia pasti akan terlanjur kecewa. Soal Ayah, kamu nggak perlu khawatir sendirian. Ada aku sama Ibu juga."
"Tapi Mas, gue merasa khawatir banget soal Ayah. Lo tahu sendiri kalau hubungan gue sama Ayah nggak sebaik itu. Gue belum minta maaf dan berbakti sama Ayah, gue takut kalau ada hal buruk terjadi sama Ayah, gue bakal durhaka sama Ayah...."
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Ka. Bangun pikiran positif biar jadi kekuatan dan doa buat Ayah. Harapan dan doa terbaik kamu buat kesadaran Ayah yang terpenting, dan Ayah pasti mengharapkan itu juga. Jadi, jangan merasa bersalah dan terbebani, ngerti?" Angga menepuk pelan bahu adiknya itu. "Udah sana buruan hubungi Tari. SeCakra tersenyum tipis, meraih ponselnya lalu pamit keluar kamar pada Angga yang merasa lega melihat keputusan adiknya.
***
Tari memandangi layar ponselnya, pasrah. Ia sudah mencoba menghubungi Cakra berkali-kali, namun lelaki itu sama sekali tak membalas atau menerimanya. Apa benar Cakra memang hanya mau memanfaatkan untuk mendapatkan persetujuannya atas hak lirik lagu? Lalu, setelah mendapatkan itu, Cakra meninggalkannya?
Sesak. Itu yang dirasakan tari saat ini. Ia sendiri yang tak ingin menamai perasaannya pada Cakra. Nyatanya kehadiran lelaki itu bisa memberikan dampak padanya, membuatnya menyadari ada rasa kecewa yang ia rasakan karena hilangnya presensi Cakra.
Ingin menangis, tapi Tari sadar ini kebodohan perasaannya. Ia malu harus menceritakan hal ini pada Nadia atau orang tuanya. Lagi-lagi ia salah menjatuhkan hati. Apa setidak pantas itu ia mendapatkan bahagia? Baru berputus asa dan berniat menenangkan hatinya, ponsel dalam genngamannya itu berdering. Menampilkan satu nama yang sudah ia tunggu muncul kembali.
Cakra is calling.
"Halo? Cakra?"
"Hai, Tar. Iya, ini aku. Maaf ya, baru menghubungi kamu sekarang."
Tari tercekat, ia merindukan suara ini. Suara yang terdengar berbeda karena lebih lirih dan tak seperti biasanya. "Kamu ke mana aja? Kamu kenapa pergi nggak bilang-bilang?" Sungguh Tari sendiri berusaha agar suaranya tak bergetar karena menahan emosi.
"Maaf, ya. Udah bikin kamu khawatir." Ada jeda sebelum Cakra kembali bicara. "Aku sekarang ada di Surabaya. Ayahku mengalami kecelakaan dan sampai sekarang masih dalam keadaan koma. Situasinya sedang nggak baik jadi aku nggak bisa kabarin kamu. Maaf ya, Tar."
Hati Tari mencelos begitu mendengar penjelasan Cakra. Keluarganya mengalami musibah, dan Tari sempat berpikir negatif tentangnya? Seketika Tari merasa menyesal dan merasa bersalah. Ia terburu menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kecelakaan, Ka? Aku turut berduka mendengarnya. Semoga ayah kamu segera diberi kesadaran dan pulih, ya." Hanya kalimat penghibur seperti itulah yang bisa Tari katakan sekarang.
"Keadaan kamu gimana, Ka. Pasti ini berat banget, kamu harus kuat ya."
"Iya, Tar. Makasih."
Ada jeda lagi beberapa saat. Keduanya memilih diam dan larut dalam perasaan masing-masing.
"Tari."
"Hm?"
"Kamu nggak marah ke aku?
"Udah nggak. Awalnya sih iya, kamu tiba-tiba hilang tanpa kabar."
"Iya, aku minta maaf. Aku nggak mau kamu khawatir." Cakra terdiam. "Tari."
"Iya?"
"Kayaknya aku akan ada di sini sementara waktu sampai Ayah kembali sadar. Untuk sementara aku nggak akan bisa ketemu kamu."
Tari menggigiti kuku jarinya. Ia bingung dengan perasaan yang ia rasakan. Ada rasa kehilangan membayangkan Cakra tak ada untuknya.
"Iya, nggak apa-apa. Aku ngerti kok, utamakan kesehatan ayah kamu dulu. Fokus ya, Ka."
"Iya. Tar, aku rindu ketemu kamu."
Tari memejamkan matanya begitu mendengar ucapan Cakra. Ada rasa debar yang juga membawa aliran listrik dalam tubuhnya. Rasa yang tak asing namun juga dirasakannya dari orang yang berbeda.
"Aku juga," jawabnya pelan namun disambut tawa kecil dari Cakra.
"Akhirnya aku bisa denger kalimat itu dari kamu. Makasih, Tar," ucap Cakra yang membuat pipi Tari merona. "Kamu mau nunggu aku, kan? Menahan rindu sampai keadaan di sini lebih baik dan Ayah pulih lagi. Saat itu aku akan datang menemui kamu."
Tari mengangguk meski Cakra tak bisa melihatnya. "Iya, aku akan tunggu kamu, Ka."
Sore itu, di tempat yang berbeda, dua orang merasakan hal yang sama. Tersenyum dengan hati berbunga atas pencapaian yang sudah lama mereka tunggu. Rasa yang tak mudah didapatkan dan kini terasa lebih manis ketika telah dirasakan.
***
"Taaaaaarr! Liat ini! Buruan liat ini!"
Nadia membuka pintu ruangan dengan heboh dan berlari ke meja Tari. Sementara Tari hanya menatap heran pada temannya itu.
"Ada apa?"
"Lo kudu liat ini!" Nadia menyodorkan ponselnya yang sedang membuka laman Youtube. Tari ikut melihat, masih bingung.
Ada lagu yang sedang diputar. Ada official musik video berlirik yang kemudian muncul. Barulah saat itu Tari mengerti. Kedua tangannya menutup mulutnya tak percaya. Jantungnya tiba-tiba berdebar menyalurkan listrik kejut yang anehnya juga menghangatkan hatinya. Tari sudah tak asing lagi dengan melodi dan lirik lagu itu. Lagu yang pernah ia dengar sebelum ini. Alunan indah yang membawa perasaan hanyut dalam tiap liriknya.
Tanpa sadar air mata Tari menetes. Apalagi saat di akhir video ia menemukan sebuah pesan yang ditujukan pada sang inspirator, dirinya sendiri.
Lagu ini dibuat untuk seseorang yang pernah jatuh dalam luka hati tak bertepi. Untuk seseorang yang ingin sekali kubawa pergi dari lukanya. Dan melalui lagu ini, aku ingin mengatakan padanya bahwa ia berhak untuk kembali bahagia. Bahwa senyumnya bisa mengubah dunia. Bahwa lukanya bisa menjadi kekuatannya. Untuk Anantari, yang akan selalu menjadi inspirasi.
Hatinya tak bisa membendung lagi haru yang membuncah memnuhi dadanya. Air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa ia cegah.
"Gila, Tar. Gue nggak menyangka Cakra akan merilis ms=usik video dengan mencantumkan nama lo di sana. Gue ikut terharu," bisik Nadia yang menyeka ujung matanya.
Tari mengangguk dan tersenyum. Ia pun tak menyangka Cakra akan benar-benar memenuhi ucapannya. Diraihnya ponsel di atas meja, langsung dihubunginya kontak yang sudah sebulan ini menjadi panggilan favoritnya. Karena si pemilik sedang berada di Singapura.
"Halo."
"Hai, udah liat musik videonya?"
"Udah. Makasih banyak, Ka."
"Aku yang makasih, Tar. Kamu adalah hal terindah yang akan selalu jadi inspirasiku. Berkat kamu sekarang aku dan teman-teman memiliki karya yang bisa dikenal dan kami banggakan. Terima kasih, Tar."
"Cakra, kamu pulang kapan?"
"Hm? Bulan depan Ayah udah boleh kembali ke Indonesia. Kenapa?"
"Aku mau bilang langsung di hadapan kamu. Kalau aku cinta sama kamu, Cakra."
Senyum mengembang di bibir Cakra. "Tunggu aku, ya Tar. Aku sayang kamu."
.
.
END.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro