Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 36. Kepekaan Keluarga

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

"Mas, mobil Ayah boleh gue pakai, kan? Kan nggak dipakai juga, Ayah di Surabaya."

Cakra menghampiri Angga yang sedang berjemur bersama bayinya di teras depan dengan seringaian penuh arti alias ada maunya.

"Tanya sendiri sama Ayah sana, kenapa nanya ke aku?" jawab Angga cuek, sibuk membuat anak gemasnya itu tertawa dengan ekspresinya.

"Ya kan sama aja, lo yang di rumah mewakili Ayah. Ya, Mas? Boleh ya?"

Angga menoleh menatap adiknya uang tiba-tiba berubah sedikit tidak pecicilan itu. "Memangnya buat apa? Kamu selama ini nggak mau pakai mobil. Dulu ditawarin maunya malah motoran. Sekarang udah bosan pakai motor?"

"Nggak bosen, tapi ya gue nggak enak jemput Tari kalau bawa motor. Kasian ntar dia masuk angin kalau lama."

Angga membuka mulutnya membentuk huruf O tanpa suara, matanya menyipit penuh selidik pada Cakra yang salah tingkah.

"Ternyata buat antar jemput Tari, toh? Ini kalian udah sejauh mana sih hubungannya, kok Mas nggak bisa memprediksi gitu. Tari juga biasa aja di kantor."

"Emangnya lo berharap Tari bersikap gimana di kantor? Gue kan nggak ada di sana. Jelas nggak keliatan, lah," dengus Cakra.

"Ya kan ada Mas di kantor, biasanya kalo lagi jatuh cinta tuh bawaannya salting dan malu-malu kalo ketemu gebetannya atau yang deket sama di gebetan. Tari biasa aja sama Mas."

"Pemikiran lo tuh yang nggak biasa, Mas. Udah ah, ini boleh gue pakai kan? Bilangin ke Ayah, ya."

"Nggak mau. Bilang sendiri sana. Jangan kayak anak kecil ngambekan, cepet baikan sama Ayah. Izin pakai mobilnya terus bilang aja buat antar jemput calon mantu, pasti boleh."

"Mas! Lo ngeselin sumpah!" Kesal Cakra meninggikan suaranya refleks karena digoda oleh Angga yang kini tersenyum lebar puas bisa membuatnya salah tingkah.

"Wihh, siapaa nih yang bawa calon mantu? Lo ada pacar, Ka?" Manda yang baru datang ikut tersenyum lebar mendengar ucapan suaminya tadi. "Ada yang mau sama lo?"

Cakra mendengus makin kesal. Sepasang suami istri ini, kalau sedang duet menggodanya bisa sangat menyebalkan. "Mulutnya Manda emang suka ngawur, sama kayak Mas Angga."

"Loh, gue nanya padahal. Apa salahnya ya, Sayang?" ringis Manda yang meminta dukungan Angga.

"Ya tapi gue nggak sejelek itu sampai-sampai nggak ada yang mau. Awas aja ntar kalau gue beneran jadian."

"Loh, kamu sama Tari itu sebenernya udah jadian apa belum sih, Ka?" tanya Angga heran. "Bukannya dulu kamu bilang kalian pacaran ya."

Cakra meringis, keceplosan kan. Padahal dulu dia memang brrniat membohongi Angga dengan statusnya bersama Tari. "Ya, dulu itu pdkt buru-buru, ditolak sama anaknya. Sekarang udah jalan pelan-pelan. Makanya lo berdua tuh jangan usil. Doain biar gue bisa dapetin hatinya."

"Bohong banget. Padahal Mas udah kira kalian serius dari awal."

"Marahin, Yang, marahin."

"Manda kompor."

Dengusan kesal Cakra hanya dibalas tawa oleh Angga dan Manda. Di mata orang lain, mereka bertiga sering dianggap bukan saudara karena setiap pergi bersama selalu ada yang diributkan. Oh, mereka seakrab ini karena bersahabat sejak kecil. Dan akhirnya Manda menikah dengan Angga. Makanya, Angga udah biasa banget nitipin istrinya itu ke Cakra setiap dia pergi tugas ke luar kota.

"Ini kalian pagi-pagi udah ribut aja. Ngobrolin apa?"

Baru Cakra mau kabur, ibunya justru datang menyusul ke teras. Bisa panjang urusannya.

"Ini loh, Buk. Ngobrolin Cakra, bentar lagi bawa mantu buat Ibu."

"Mas! Ya ampun, lo kompor!"

"Beneran, Ka?" tanya Ibu yang langsung menoleh kaget pada bungsunya itu. "Kok nggak dikenalin ke Ibu?"

"Aduh, Ibu, nih. Jangan percaya sama Mas Angga. Bohong, itu. Cakra pakai mobil Ayah ya, Buk," pamit Cakra yang kemudian mencium tangan Ibunya dengan senyuman dan satu kedipan mata, lalu berlalu secepat mungkin supaya ia terhindar dari pertanyaan lanjutan ibunya.

Mengambil kuncinya dari laci, Cakra segera menuju garasi dengan hati yang senang. Entah karena godaan dari kakaknya atau bayangan Tari yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri.

***

"Kamu akhir-akhir ini sering nggak bawa mobil. Bareng Nadia?"

Tari yang sedang membuat roti panggang untuk sarapan segera menoleh pada Mamanya yang sedang membuat susu untuk mereka.

"Nggak sih, Ma. Kadang-kadang aja."

"Tapi Mama perhatiin sering akhir-akhir ini. Jangan dong, Nak. Kasian Nadia kalau kamu bareng terus. Bawa aja mobilnya, kan Papa pergi pakai motor dinas."

"Iya, Ma. Tari pakai kendaraan umum juga, kok. Biar hemat," jawab Tari dengan senyuman canggung. Karena sebenarnya bukan itu alasannya.

Sejak ia mengizinkan Cakra untuk dekat kembali, lelaki itu sering menjemputnya sepulang jam kantor.  Jadi, ia memutuskan untuk tidak membawa mobil sendiri supaya Cakra bisa ikut Cakra pulang dengan motornya.

Getar ponselnya di atas meja menyita perhatian Tari. Diambilnya benda pintar itu untuk melihat, dan terkejut melihat pesan dari Cakra.

Selamat pagi,
Kamu udah berangkat? Belum, kan?
Aku tunggu di depan rumah ya.
Nggak usah buru-buru, sarapan dulu aja.

Di depan rumah? Apa maksudnya Cakra ada di depan rumahnya sekarang?

Diletakkannya piring berisi roti panggang yang masih panas itu. Langkahnya lebar-lebar menuju ruang depan, melintasi teras dan halaman dengan cepat lalu membuka pagar. Dilihatnya mobil HRV hitam terparkir fi depan rumahnya. Kaca mobil diturunkan dan ia melihat Cakra dibalik kemudi.

"Hai, pagi."

"Kamu ngapain di sini?"

"Jemput kamu, emang mau ngapain lagi?

"Kok tiba-tiba? Biasanya jemput pas pulang aja." Tari merasa canggung dan malu dengan kedatangan Cakra yang tiba-tiba ini.

"Ya, mau aja anter sekalian pas berangkat. Nggak apa-apa, kan?"

Tari mengangguk sebagai jawaban. Matanya tak berani menatap langsung pada Cakra.

"Tari! Nggak sarapan dulu?" Teriak Mamanya yang menyusul dari depan pintu. "Itu siapa? Nadia ya? Ajak masuk sini sarapan sekalian!"

"Iya, Ma!"

Tari dengan kecanggungan yang bertambah, menunduk ke arah jendela.

"Mau masuk? Disuruh sarapan sama Mama," ucap Tari yang menahan malunya dalam situasi tak terduga ini.

"Eh? Nggak usah, kamu aja. Aku tunggu sini," tolak Cakra.

"Tari! Buruan keburu siang!" Lagi-lagi terdengar teriakan Mamanya lantang.

"Masuk aja, kamu denger kan, Mamaku udah teriak-teriak."

Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Cakra menunduk ragu. Ia tak berharap untuk bisa ikut sarapan dengan Tari. Niatnya memang hanya mau menjemput dan mengantar Tari pagi ini.

"Yuk, masuk." Malu-malu, Tari mengangguk dan meyakinkan Cakra untuk mengikutinya.

Ini benar-benar situasi tak terduga, Cakra akhirnya membuka pintu dan turun. Lalu melangkah pelan mengikuti Tari masuk ke rumah.

"Kamu itu, ini jam berapa kok pakai ngobrol lama. Kan keburu siang, iya kan Nad? Eh...?" Mama Tari yang sibuk menyiapkan piring, menoleh heran mendapati bukan Nadia yang dibawa masuk oleh putrinya.

"Ini siapa?" tanya Beliau menatap bergantian antara Tari dan Cakra.

"Kenalin Ma, ini Cakra. Temennya Tari." Sangat canggung menahan malu, Tari memperkenalkan mamanya pada Cakra.

"Halo, Tante. Saya Cakra, salam kenal."

"Halo Nak Cakra. Saya mamanya Tari. Salam kenal juga."

Cakra menjabat dan mencium tangan mama Tari dengan hormat. Sementara sang mama terlihat terkejut dan tak menyangka menatap pada putrinya dengan tatapan bertanya.

"Ini temen kerjanya Tari di kantor? Kok Tante nggak pernah liat, ya?"

"Saya...."

"Ini temen Tari dari divisi lain, Ma. Baru pindah, kebetulan tadi lewat jadi mampir," jawab Tari yang tentu saja berbohong. Ia memberikan tatapan pada Cakra supaya lelaki itu diam saja.

"Oh, baru... pantesan Tante nggak pernah liat. Sini duduk, ikut sarapan." Dengan senyum hangat mama Tari membawa Cakra untuk duduk di meja makan sementara Beliau menyiapkan.

"Kamu mau pakai nasi atau roti panggang seperti Tari?" Tawar sang mama pada Cakra yang sejak tadi diam.

"Roti panggang aja, Tante. Terima kasih."

Mama Tari mengambil dua potong roti untuk Cakra, juga segelas susu untuknya. Tari mengamati interaksi dua orang di hadapannya itu dengan berdebar. Ia tak terbiasa bohong pada mamanya, jadi sekarang ia merasa sangat bersalah.

Cakra mencuri pandang pada Tari yang juga balas menatapnya dengan pandangan meminta maaf.

Mereka berdua sama sekali tidak membayangkan akan berada di situasi secanggung ini. Namun, keduanya jelas memiliki perasaan berdebar yang sama.

"Jadi, sejak kapan kalian ada hubungan, udah lama?" tanya Mama Tari tiba-tiba membuat dua anak di hadapannya itu sukses tersedak air minum dan sama-sama saling menatap dengan panik.

Apa yang harus mereka jawab?

"Mama kok nanya gitu, Cakra jadi nggak nyaman." Tari berusaha mengalihkan perhatian mamanya. Wajahnya kini sudah merah menahan malu pada Cakra.

"Mama kan cuma tanya. Lagian sejak kapan kamu bolehin temen kamu ke rumah selain Nadia dan Revan? Kalaupun ada, sekarang ini udah pasti bukan hanya sekedar teman buat kamu, kan?"

Telak. Ucapan sang mama benar dan membuat Tari terdiam. Tak bisa memungkiri.

Jadi, bagaimana sekarang?

.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro