Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28. Pandora

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

"Bisa, silakan masuk." Arza kemudian mempersilakan Tari masuk bersama Cakra yang mengikutinya dalam diam.

Rasa gugup yang tiba-tiba dirasakan oleh Tari itu semakin terasa ketika ia masuk ke dalam ruangan. Dua orang anggota band itu menatapnya dengan heran. Bergantian antara teman mereka, dan Tari. Cakra yang ikut masuk kemudian melangkah untuk berdiri di dekat salah satunya. Gestur mereka tampak akrab, sampai kemudian pertanyaan itu keluar dari bibir Cakra.

"Jadi, kamu mau menanyakan apa, Tar?"

Tentu pertanyaan itu membuat kedua manik Tari membola menatap lelaki yang beberapa saat lalu berdiri di belakangnya itu. Kenapa Cakra bertanya seolah ia berada di posisi sebaliknya?

"Ini ada apa, Cakra?"

"Bukannya dia...."

Tunggu, kerutan di kening Tari semakin dalam melihat bagaimana akrabnya orang-orang yang disatroninya ini dengan Cakra. Tatapannya kini mengarah pada Cakra yang menjaga ekspresinya tetap tenang dengan senyuman samar.

"Apa-apaan ini?" pada akhirnya pertanyaan itu ia tujukan pada Cakra. Mengambil napas panjang, Cakra berjalan mendekati tiga orang lainnya. Lalu ia tersenyum lembut pada Tari yang masih tak melepaskan tatapan tajamnya.

"Karena sudah begini, gue akan menjelaskannya. Tar, lo tau gue penyanyi juga kan. Lo pasti tau karena hari pertama kita bertemu." Cakra mengatakannya dengan pelan namun rasanya berbeda seperti biasanya.

"Kenalin, ini Arza, ini Riyan, dan Dion. Mereka adalah temen-temen gue."

Tari menutup mulutnya tak percaya, menatap tak percaya pada Cakra. "Lalu kenapa lo bersikap seolah nggak tau apa-apa sebelumnya?"

"Lo nggak menanyakan hal itu ke gue."

Tari memejamkan matanya sebentar, ia butuh mengerti situasinya. "Lo hanya sekedar kenal atau lo emang kenal dekat dengan mereka?"

"Gue deket dan satu grup dengan mereka."

"Tapi lo nggak pernah ada tiap mereka perform di sini."

"Karena Arza udah bisa mengisi tempat gue sebagai vokalis."

Tari berdecih, ada kekecewaan dan kemarahan yang tergambar jelas di matanya. Ia merasa dibohongi dan ditipu oleh Cakra. Bagaimana mungkin lelaki itu bersikap seolah tak tahu apa-apa setelah semua ini?

Tiga yang lain hanya diam mengamati bergantian antara Tari dan Cakra. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Namun, mereka tahu bahwa Tarilah perempuan penghuni meja tujuh belas yang sering dibicarakan oleh karyawan My I.

"Jadi tujuan lo melakukan semua ini untuk apa? Oh, berarti lo tau dari mana lirik yang mereka nyanyikan tadi?" Tari bangkit dari kursinya lalu berjalan mendekati Cakra, napasnya sudah memburu naik turun menahan emosinya. "Lirik itu kalian ambil dari mana?" tunjuknya pada Cakra.

Tari berusaha keras untuk tidak meninggikan suaranya, bahkan menahan air matanya yang mengancam turun saking kesal dan kecewanya. Namu, berbanding terbalik dengannya, Cakra justru begitu tenang menatapnya. Dan itu membuat Tari semakin kesal.

"Akan gue jelasin tapi nggak di sini." Cakra meraih pergelangan tangan Tari, mengajak perempuan yang dikuasai emosi itu untuk ikut dengannya. Ia menoleh pada teman-temannya. "Perkenalannya sampai sini dulu ya, kalau pacar gue udah tenang kita bisa kumpul lagi. Thanks untuk perform kalian malam ini, luar biasa seperti biasanya," ucapnya dengan senyuman hangat pada ketiga temannya sebelum berjalan keluar bersama Tari yang berusaha melepaskan diri.

"Lepasin gue!"

Cakra melepaskan genggaman tangannya pada Tari setelah mereka sampai di parkiran My I. Jujur, ia tidak suka melihat Tari seperti ini. Mengingatkannya pada sosok Tari beberapa bulan yang lalu. Apalagi kali ini ia yang menjadi penyebabnya.

"Jelasin ke gue sekarang juga, Cakra! Maksud lo dengan semua ini apa?" Tari tak lagi menahan diri, suaranya naik menjadi lebih tinggi bersamaan dengan jatuhnya air bening dari sudut matanya. "Lo membohongi gue dengan pura-pura nggak tahu apa-apa selama ini?"

"Ikut gue dulu. Gue jelasin."

"Nggak!"

Menghela napasnya pendek, Cakra menatap Tari dengan serius. "Gue nggak pernah berniat membohongi lo atau pura-pura."

"Lo bisa langsung bilang ke gue kalau mereka teman-temen lo, dan nggak bikin gue berpikir lebih jauh. Jawab dengan jujur Cakra. Lirik yang ada di lagu kalian tadi, dari mana asalnya? Gue yakin itu adalah kata-kata yang pernah gue tuliskan. Gue ingat setiap kalimatnya sama persis!"

Tari memang yakin kalimat dalam lirik lagu tadi adalah tulisannya. Namun, ia meragukan asal Cakra mendapatkannya. Ia yakin sudah menyobek dan membuang tulisan-tulisannya. Jadi, bagaimana bisa kalimat itu sama persis? Ia bahkan selalu memastikan bahwa ia sendirian saat menuliskannya. Tak ada orang lain di dekatnya yang bisa melihatnya.

"Lo bingung kenapa kalimatnya bisa sama persis? Lo nggak punya bukti lebih untuk mengatakan kalau ini penjiplakan?" Ucapan Cakra itu sontak membuat Tari yang menunduk langsung menatapnya.

"Gue nggak bisa menjelaskan detailnya sekarang. Tapi lo perlu tau, Tar. Gue melakukan ini bukan dengan maksud buruk."

"Tentu nggak ada maksud buruk. Jelas, karena lo hanya akan mendapat keuntungan dari lagu ini dengan menjual kesedihan yang gue rasakan. Lo nggak berhak, Cakra! Bahkan jika itu rasa sakit, itu tetap milik gue, hak gue! Lo nggak punya hak untuk mengambilnya begitu aja!" 

Suara Tari kini semakin bergetar karena emosinya meluap, bahkan beberapa orang yang melewati mereka menatap dengan heran. "Gue nggak menyangka, lo adalah orang yang bisa melakukan hal jahat kayak gini, Cakra!"

"Oke, gue minta maaf. Gue nggak ada niat seperti yang lo tuduhkan sama sekali, Tari. Gue melakukan ini buat lo, gue bikin lagu ini buat lo!"

Tari tertawa kosong, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Lagu buat gue? Kita baru kenal dua beberapa bulan terakhir, Cakra. Dan gue menuliskan semua itu jauh sebelum kita bertemu. Jadi apa maksud lo? Cukup kebohongan yang lo buat. Lo berhasil membuat gue jadi orang bodoh, Cakra."

Setelah mengucapkannya, Tari mengusap air matanya kasar lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Cakra dengan langkah cepat. Ia merasa bodoh.

"Tari, tunggu. Gue anter lo pulang."

"Jangan sentuh gue!" Tari menepis tangan Cakra yang hendak menggenggam tangannya.

"Ini udah malem, jangan pulang sendirian. Gue anterin."

"Berhenti memperlakukan gue seperti mainan lo. Nggak perlu lagi lo bersikap baik sama gue."

Dengan cepat Tari berlari ke arah jalan dan menghentikan taksi yang lewat. Ia harus segera pergi dari tempat ini dan tak ingin melihat Cakra. Begitu di dalam taksi, tangisannya pecah kembali. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

Kenapa Tuhan melakukan ini padanya? Di saat ia mulai percaya untuk dekat dan berteman dengan Cakra. Nyatanya, Cakra juga menipunya, membohonginya.

Yang lebih sakit adalah kenyataan bahwa lelaki itu menggunakan kesedihannya sebagai alat untuk keuntungannya. Tari merasa malu, merasa kecewa, marah, dan tak berdaya. Bahkan kesedihannya yang paling menyakitkan pun tak bisa menjadi miliknya sendiri.

Ia benci semua ini. Ia benci Cakra mencuri lukanya. Ia benci Revan yang menciptakan luka. Ia membenci dirinya sendiri yang membiarkan hatinya terluka dan dilukai lagi.

Ia selalu melakukan segala hal dengan sempurna dalam hidup dan tujuannya. Lantas kenapa Tuhan justru memberinya kecacatan sedemikian besar dan menjadikannya tak sempurna?

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro