Bab 27. Tak Asing
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Beneran nggak perlu ditemani sampai selesai?"
"Nggak usah, Nad. Gue makasih banget karena lo udah mau anterin gue ke sini." Tari tersenyum dan meyakinkan Nadia bahwa ia tak apa-apa.
"Kok gue merasa nggak tenang, ya."
"Beneran, gue nggak apa-apa. Udah sana balik lo, ditungguin nyokap lo, kan?"
Menatap Tari ragu, akhirnya Nadia mengangguk dan pamit untuk pulang duluan. Tari menatap mobil Nadia sampai menghilang di belokan jalan. Senyum di bibirnya masih bertahan saat kakinya melangkah masuk ke tempat yang terasa ramah untuknya itu.
Biasanya ia berjalan cepat tanpa memperhatikan kanan kiri menuju meja favoritnya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari seseorang yang dilihatnya sedang berada di meja bar sedang bicara dengan sang bartender. Tatapan mereka bertemu dan ada kejut aneh dirasakan olehnya.
"Hei!"
"Hai, lama nunggu?"
"Nggak sih, gue juga baru datang kok." Cakra tersenyum lalu mengajak Tari ke meja yang sudah ia pesan sebelumnya.
"Sibuk banget hari ini?" Tari tanpa sadar justru menanyakan hal yang langsung ia sesali. Kenapa gue nanaya, sih? Ketahuan banget kepo sama urusan dia.
Mereka memesan beberapa menu yang kemudian diantar oleh pramusaji.
"Capek banget ya hari ini? Kata Mas Angga bakalan ada pameran."
"Iya, pekan depan. Pak Angga suka sharing kerjaan juga?"
"Kadang-kadang kalo dia capek bakalan cerita."
Tawa kecil tak bisa disembunyikan oleh Tari membayangkan bagaimana Pak Angga bisa capek. "Tapi Pak Angga tuh, keren. Gue selalu kagum sama Beliau."
"Apanya yang dikagumi dari dia. Lebih keren gue padahal."
Tari hanya menggelengkan kepalanya heran sambil menahan senyum. Cakra ini tipe orang yang memiliki kepercayaan diri lebih. Ia juga bisa bicara dengan santai tentang apa yang ia pikirkan.
"Lo kenapa nggak kerja di kantor seperti Pak Angga? Oh atau lo di kantor cabang lain?"
Pertanyaan lain keluar dari bibir Tari membuatnya terkejut. Untungnya Cakra cepat menguasai diri dengan senyuman tipis.
"Bukan. Gue nggak ngurus kerjaan cabang manapun. Gue nggak mau pusing dengan segala macam urusan kantor. Gue kerja senyaman aja."
Tari mengangguk, paham. Tepat saat itu pesanan mereka datang dan diantar ke meja mereka. Bersamaan dengan itu, ramai terdengar. Membuat Tari menoleh dan mendapati kedatangan band pengisi.
"Oh, hari kamis ya." Cakra mengikuti arah pandang Tari pada teman-temannya yang baru datang.
Ia mengangguk kecil ketika tatapannya beradu dengan Arza. Hari ini ia sengaja mengajak Tari untuk bertemu di My I . Satu lagunya telah selesai disempurnakan dan diselesaikan. Ia ingin Tari mendengarnya.
Seperti teringat sesuatu, tatapan Tari langsung beralih padanya. "Saat pertama kita ketemu, lo perform di sini, kan?"
Cakra mengangguk masih dengan senyum tipisnya.
"Beneran bisa nyanyi?"
"Menurut lo aja deh, gue lipsync gitu?"
Tari meringis, "Nggak gitu. Soalnya gue cuma liat sekali aja. Abis itu, lo nggak pernah perform lagi."
"Pernah kok."
Kedua alis Tari mengerut, berusaha mengingat apakah Cakra pernah tampil lagi di My I setelah pertemuan mereka dulu.
"Nggak ada, gue nggak inget lo perform lagi. Gue setiap hari ke sini tapi gak pernah liat."
Iya, Cakra tak pernah naik panggung lagi sejak ia menemukan kertas-kertas yang dibuang oleh Tari. Ia sibuk mengamati dan mencari tahu tentang Tari secara diam-diam. Lalu membuat lagu dari lirik yang Tari tuliskan tentang patah hatinya. Oh, ia pernah meminta Arza dan yang lain untuk menampilkan lagunya di sini saat masih belum sempurna.
"Selamat malam semuanya. Senang sekali kita bisa lagi malam ini dalam keadaan yang bahagia." Suara Arza di atas panggung mulai menarik perhatian mereka dan pengunjung lain.
"Malam ini spesial. Beberapa waktu lalu kami pernah menampilkan lagu baru kami di sini. Sekarang, kami kembali dengan lagu itu dalam versi yang sempurna."
Tepuk tangan meriah dan sorakan menyambut kalimat Arza. Tatapannya kembali beradu dengan Cakra, lalu ia tersenyum.
"Lagu ini spesial. Semoga kalian semua menyukainya."
Cakra tersenyum tipis. Ia ingin tersenyum bangga atas karyanya itu. Namun, ia menahan dirinya di depan Tari. Ia ingin tahu reaksi perempuan manis di hadapannya itu.
Sementara Tari begitu fokus memperhatikan Arza dan yang lain bersiap untuk penampilan mereka. Perasaannya tiba-tiba berdebar tak nyaman, entah kenapa.
Setelahnya, terdengar suara petikan gitar yang mengalun indah. Berpadu dengan suara keyboard dan drum yang kemudian terdengar harmonis.
Hanya dari alunan musiknya, terlihat semua orang terbuai dan menikmati. Apalagi ketika Arza mulai bernyanyi dengan suara merdunya. Meski baru mendengar lagunya, para pengunjung ikut bergerak pelan ke kiri dan ke kanan mengikuti irama pelan dan terasa menyentuh itu.
Tari menyukai lagu yang dibawakan namun perasaan tak nyaman itu masih terasa mengganggunya.
Hingga saat masuk refrain, kedua mata Tari membola. Ia bahkan menutup mulutnya. Liriknya. Lirik yang dinyanyikan itu. Ia mengenalinya sebagai kata yang pernah ia tulis saat patah hatinya.
Kenapa bisa?
Ini membangkitkan ingatannya. Ia pernah mendengar lagu yang dibawakan oleh mereka beberapa waktu lalu. Ia juga merasa tak asing dengan liriknya namun ia menganggap itu hanya sebuah kebetulan.
Tidak.
Kali ini bukan kebetulan.
Refrain lagu itu memang menggunakan tulisannya. Ia yakin.
"Mau ke mana?" tanya Cakra saat Tari beranjak dari duduknya.
"Gue mau ke backstage."
"Ngapain?"
Tari berbalik menatap Cakra. Wajahnya sarat emosi antara marah dan ingin menangis. Dengan satu tarikan napas panjang, ia berusaha bicara.
"Gue mau tanya sama band yang perform. Darimana mereka dapat inspirasi liriknya. Gue... gue merasa lirik ini nggak asing."
Oh, dia menyadarinya?
"Gue tau ini terdengar konyol tapi gue merasa bagian liriknya adalah milik gue." Tatapan mata dengan kesedihan itu kembali dan kali ini Cakra melihatnya secara langsung.
"Gue menuliskan beberapa kalimat patah hati setiap gue ke sini. Gue yakim udah gue buang. Tapi, yang tadi dinyanyikan punya kalimat yang sama. Gue mau memastikannya."
Setelahnya Tari benar-benar berjalan cepat menuju ruangan berdinding kaca yang digunakan Arza dan lainnya bersiap sebelum tampil.
Cakra mengejar Tari. Ia tidak panik, masih memasang ekspresinya yang biasa. Hanya saja ia sedikit terkejut karena Tari langsung menyadarinya lebih cepat dari dugaannya.
Tari mengetuk pintu kacanya, terlihat Arza yang baru meneguk air mineralnya itu menoleh lalu membukakan pintu.
"Iya?"
"Maaf, apa bisa kita bicara sebentar?"
Tari meremas jari-jarinya gugup, ia bingung harus memulai darimana agar tidak menimbulkan keributan nantinya.
Sementara Arza juga bingung mekigat Tari bersama Cakra yang berdiri di belakangnya. Ia melempar tatapan bertanya pada Cakra yang dibalas dengan anggukan pelan.
"Bisa, silakan masuk." Arza kemudian mempersilakan Tari masuk bersama Cakra yang mengikutinya dalam diam.
Tatapan bingung juga terlihat dari Ryan yang bergantian menatap mereka. Cakra kemudian melangkah untuk berdiri di dekat Àrza saat Tari sudah duduk.
"Jadi, kamu mau menanyakan apa, Tar?"
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro