Bab 15. Indelible
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Loh, Tari? Ngapain di sini? Sama siapa?"
Suara yang tak asing itu mengagetkan Tari yang sudah menyerah dan bersiap untuk pulang saat ia melihat Danu, pria yang dulu merupakan rival Revan dalam mendekati dirinya. Pria itu masih sama, terlihat percaya diri dan sedikit angkuh.
"Danu."
"Sendirian?" Danu menolehkan kepalanya ke sekeliling, mencari indikasi orang yang mungkin bersama Tari. "Beneran sendirian? Oh, lupa gue kalau lo sama Revan udah nggak bareng lagi."
Senyum tipis muncul di wajah Tari. "Iya, ini tadi sendirian, baru mau balik. Gue duluan ya, Danu." Tari buru-buru mengambil tasnya, ia tak ingin basa-basi dengan Danu di saat seperti ini.
"Ngapain buru-buru, sih, Tar? Lo pasti butuh tempat sharing, kan. Lo bisa cerita-cerita sama gue." Danu tiba-tiba meraih tangan Tari, mencoba menahannya agar tak pergi.
"Maaf, Danu. Gue beneran harus pulang."
"Gue cuma mau ngomong sebentar, Tar. Karena gue nggak pernah punya kesempatan untuk ngobrol sama lo selama ini. Gue ikut sedih sama apa yang udah terjadi sama lo." Danu masih menggenggam tangan Tari meski si empunya sudah berusah melepaskan diri.
"Makasih, Dan. Tapi gue nggak apa-apa, kok."
"Harusnya lo dulu pilih gue daripada Revan, Tar. Gue nggak akan ninggalin lo kayak apa yang udah dia lakuin sama lo."
Tari tahu arah pembicaraan Danu mengarah ke mana. karena itu ia kini menggunakan satu tangannya yang bebas untuk melepaskan genggaman Danu. "Maaf, Danu, gue nggak mau membicarakan hal itu sekarang."
Seolah tak mendengar apa yang Tari katakan, Danu bahkan menarik Tari untuk lebih dekat dengannya. "Apa sih Tar kurangnya gue daripada Revan? Lo nggak pernah peduli sama usaha gue mendekati lo, karena lo hanya melihat Revan. Tapi sekarang lo liat, Tar. Pria yang lo pilih itu justru ninggalin lo saat kalian udah mau nikah."
"Apa sih, Danu? Lo nggak perlu membahas apa yang menjadi masalah gue. Lo nggak tahu apa-apa."
"Gue cuma mau lo sadar, Tar, kalo pilihan lo salah. harusnya gue yang lo pilih."
Tari merasa tak nyaman, kesal dan tak suka ketika orang lain mejelekkan Revan terlepas apa yang sudah dilakukan pria itu padanya. "Lepasin tangan gue!"
Tari tak ingin menarik perhatian, namun genggaman tangan Danu sangat kuat sehingga ia harus meronta untuk melepaskan diri. Beberapa orang di dekat mejanya menatap ingin tahu.
"Lo nggak seharusnya kasar sama perempuan, Dan." Seseorang datang dan mencengkeram tangan Danu hingga ia melepaskan tangan Tari.
"Lo nggak perlu ikut campur, Cakra. Lagian ngapain lo tiba-tiba ke sini?" Danu menyentakkan tangan Cakra.
"Karena lo mengganggu kenyamanan orang lain." Cakra melirik sekilas ke arah Tari. "Dia udah minta untuk dilepas, kan?"
"Gue cuma mau ngobrol aja, nggak ada urusan sama lo. Silakan pergi," Danu menatap Tari, satu tangannya terangkat untuk menarik Tari, namun tiba-tiba Cakra menghalangi tangannya.
"Jangan buat keributan di sini. Lo tau aturannya, Dan."
"Lo apaan sih, Cakra? Nggak biasanya lo suka ikut campur, lo nggak kenal sama dia. Jadi gue minta lo pergi dari sini." Danu menatap tak suka dan mengedikkan dagunya sebagai isyarat agar Cakra pergi.,
"Sorry, gue nggak bisa membiarkan siapapun yang punya niat bikin keributan di My I."
Danu menatap tak suka, lalu mendekati Cakra yang berdiri tenang. "Dia kenalan gue, lo nggak usah ikut campur."
Cakra tersenyum miring menatap Danu, "Tapi dia tamu gue. Lagian, gue kenal dia. Iya, kan Tari?" tanya Cakra yang tiba-tiba menatap Tari dengan senyuman yang mengisyaratkan agar Tari mengikutinya. Tari hanya mengangguk, tanpa sadar ia menggeser posisi berdirinya di belakang Cakra.
Danu memicingkan mata melihat apa yang terjadi di depannya itu. "Oh, jadi setelah batal nikah, lo berusaha menggaet pria lain, Tar?" Danu berdecih meremehkan. "Pantesan lo percaya diri aja ke sini sendirian. Ternyata lo ngincer Cakra."
"Apa maksud..."
"Kalaupun Tari mengincar gue, apa peduli lo?" Cakra menyahut sebelum Tari menyelesaikan kalimatnya, entah kenapa tatapannya tenang dan tak terprovokasi oleh sikap Danu yang menantang dan terkesan meremehkan.
"Gue mengatakan ini karena kita berteman, Dan. Jangan bikin keributan atau melakukan hal yang gue nggak suka di tempat gue." Cakra tersenyum sambil memasukkan kedua tangannya di kantong. "Gue harap kita bisa menjaga batasan."
Danu menatap Cakra tak suka, terlihat dari matanya yang memicing galak serta gigi yang digertakkan. "Oke. Gue nggak tau ada apa sama lo sama Tari. Tapi, awas aja kalo lo menyesal. Perempuan gagal nikah biasanya bawa kesialan."
Setelah mengatakannya dengan tatapan tak suka, Danu kemudian berlalu pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua.
Jangan tanya bagaimana keadaan Tari sekarang. Ia menunduk dalam, mati-matian menahan emosinya yang menyesakkan karena apa yang Danu katakan.
Perempuan yang batal nikah adalah kesialan? Apa sekarang image seperti itu yang menjadi identitasnya di mata orang-orang?
Air matanya nyaris jatuh ketika mendengar suara Cakra. "Lo nggak marah? Tumben. Setau gue, tiap kali kita ketemu, lo marah-marah."
Tari mendongak, mengatur napasnya yang sesak dan berusaha agar air matanya tak jatuh. "Nggak usah sok tau. Gue, gue nggak pemarah," ucapnya tersendat, tiba-tiba ia merasa tak bisa berpikir saat menatap mata Cakra yang anehnya begitu tenang meski senyumnya menyebalkan.
"Makasih udah bantuin gue. Sorry, bikin kekacauan. Permisi." Tari menganggukkan kepalanya, tidak ingin berdebat setelah apa yang terjadi barusan. Rasanya ia kehilangan energinya. Jadi, ia memilih untuk segera pergi berlalu dari hadapan Cakra tanpa mengatakan apapun lagi.
Cakra hanya menatap kepergian Tari dalam diam. Ia berjalan satu langkah lalu memungut sesuatu dari lantai yang dijatuhkan oleh Tari. Tersenyum tipis melihat kartu kepegawaian yang ada dalam genggamannya.
"Ceroboh banget."
Mengantongi kartu yang ditemukannya itu, Cakra berjalan ke meja yang tadi ditempati oleh Tari. Menunduk lalu mengambil gumpalan g=kertas yang sudah remuk di lantai. Membukanya sebentar lalu dengan senyuman miringnya, ia berlalu mengantongi kertas itu lalu melangkah pergi.
Di perjalan pulang, Tari membiarkan emsoi yang ditahannya tadi luruh. Tangisnya pecah. Rasanya sakit ketika orang lain melemparkan fakta pahit di hadapannya dan tak bisa ia bantah. Ia ingin tegar, ia ingin kuat dan bertahan meski ia ragu pada dirinya sendiri. Apa yang orang lain harapkan darinya? Ia hanya seorang wanita yang gagal menggapai cintanya dan dikhianati tepat di depan matanya. ia hanya ingin dimengerti meski ia tak lagi punya kepercayaan pada orang lain. Rasa sakitnya tak boleh terlihat meski ia sekarat, hatinya yang hancur tak boleh dilihat meski nyatanya berserak. Ia hanya ingin bertahan menghadapi semuanya tanpa melukai orang tuanya. Tak bisakah orang-orang itu memberikan penghiburan dan membiarkan dirinya menjadi kuat?
Ia tak ingin merasakan hal ini. Kegagalan yang tak pernah ia inginkan hadir dalam hidupnya.
Kegagalan fatal yang tak bisa ia maafkan.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro