Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12. Rumah Sakit

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.

Happy reading! 💕

.

.

.

Cakra berdiri diam di depan pintu ruang rawat yang tertutup itu. Terlihat sepi dari luar, menjadikannya sedikit ragu apa ia sudah mendatangi kamar yang benar. Di tangannya sudah ada dua kantong makanan yang baru ia beli untuk sarapan. Tadi ia sudah menanyakan tempat dimana Bu Surita, dari yang ia ingat semalam, di rawat.

Baru mempertimbangkan apakah seharusnya ia mengetuk pintu atau kembali saja, tiba-tiba pintu di depannya itu terbuka dan sosok yang ia cari berdiri di hadapannya dengan bingung.

"Oh..."

"Lo, ngapain di sini?" tanya Tari skeptis dan jujur sedikit bingung melihat ada Cakra di depan pintu ruang rawat neneknya.

"Ini kan tempat umum, bebas gue ada di mana aja. Kebetulan aja ketemu lo."

Tari tidak menanggapi, hanya menatap Cakra dalam diam. Laki-laki itu tampak sedikit gugup, tapi sikap menyebalkannya terlalu mendominasi, membuat Tari sedikit kesal. Mengangguk seadanya, Tari beranjak pergi.

"Mau ke mana lo?" tanya Cakra yang menghentikan langkah Tari dan membuat perempuan itu menoleh heran.

"Kenapa, lo ada urusan sama gue?"

Cakra melihat Tari masih mengenakan kemejanya yang semalam terkena tumpahan kopi, berbekas kering di bagian depan.

"Nih, sebagai permintaan maaf dari gue semalem." Cakra mengulurkan satu kantong yang tadi dibawanya, meski enggan, Tari menerima dan melirik isinya yang ternyata adalah sebuah kemeja baru.

"Buat gue?"

Bukannya menjawab, Cakra justru membuang tatapan dari Tari, lalu mengulurkan satu kantong lain yang dibawanya pada Tari. "Nih, buat sarapan, sebagai ganti kopi semalem. Impas kan, gue udah minta maaf, ya. Bye."

Setelahnya, Cakra berlalu pergi bahkan sebelum Tari merespon ucapannya. Heran tentu saja, itu yang dirasakan Tari. Untuk apa dia repot-repot memberikan ini untuknya? Sebagai permintaan maaf? Ada perasaan aneh yang Tari rasakan setelah sosok laki-laki yang bahkan nggak ia ketahui namanya itu menghilang di belokan koridor.

Eh, tunggu.

Dia udah punya istri, kan? Ngapain ngelakuin ini semua buat gue yang orang asing?

Oh, no. Dia bukan tipe pria yang suka flirty dengan cara halus, kan? Gila, padahal istrinya sedang lahiran.

Tari menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia pikirkan. Lalu ia menatap dua kantong pemberian Cakra. Apapun niatnya, sayang kalau pemberian ini ditolak, kan. Jadi, Tari akhirnya memilih kembali masuk ke kamar neneknya untuk mengganti kemeja kotornya dengan pemberian Cakra dan menyantap sarapannya.

***

"Dari mana aja, ditungguin Ibu dari tadi."

Cakra mendecih mendengar omelan Angga, kakak laki-lakinya, yang baru datang sejam lalu dari luar kota. "Nyari sarapan,n tapi nggak jadi," kilsahnyas lalu menoleh pada Ibunya. 

"Kita pulang sekarang, Bu? Cakra ngantuk."

"Ajak Ibu sarapan dulu," ucap Angga lagi sambil duduk di tepi ranjang Manda, istrinya.

"Berisik. Udah, lo urus itu Manda sama ponakan gue, eh mana si ganteng?" Cakra melihat sekeliling tapi tidak menemukan bayi mungil yang telah lahir ke dunia semalam.

"Lagi dibawa suster ke ruang bayi, nanti balik lagi," jawab Ibu yang dari tadi hanya diam melihat perdebatan kedua anaknya. Ibu mendekat lalu mengusap kepala menantunya itu dengan sayang. "Ibu pulang dulu ya, nanti agak siangan balik lagi bawain keperluan kamu."

"Iya, Ibu istirahat aja dulu. Ada Angga yang jagain aku, nggak apa-apa," jawab Manda lalu mencium punggung tangan Ibu, begitupun Angga. 

"Kamu tadi kayaknya udah beli sarapan, kok pas balik nggak ada?" tanya Ibu pada Cakra begitu mereka berjalan keluar Rumah sakit. Sedikit kaget karana ternyata ibunya melihatnya membeli sarapan untuk Tari tadi, Cakra meringis lalu merangkul manja bahu Ibunya.

"Oh, tadi sarapannya nggak jadi kepengen masakan kantin. Jadi Cakra kasih ke orang, hehe. Kita makan di luar aja yuk, Bu!" ajaknya berusaha mengalihkan topik, dan berdoa dalam hati semoga ibunya tidak melihat saat ia memberikan sarapan itu pada Tari.

Kerutan diantara alisnya beg dalam saat Tari memicingkan mata demi melihat orang yang beberapa saat lalu bertemu dengannya kini sedang merangkul manja wanita lain yang lebih tua kelihatannya, yang jelas wanita itu bukan sosok melahirkan dari yang ia tahu semalam.

Apa dia benar-benar pria yang seperti itu? Bagaimana dia tega begitu sementara istrinya baru saja melahirkan?

Bergidik ngeri, Tari menatap kemeja pemberian Cakra yang sedang dipakainya. Lalu, ia buru-buru keluar untuk membeli pakaian lain. Dia tidak mau berurusan dengan pria seperti itu.

Ia sudah cukup menyedihkan karena masalah Revan, tidak perlu menambah masalah berurusan dengan pria hidung belang.

***

"Nad, gue udah cerita belum sih sama lo tentang pria aneh yang gue temuin di My I?"

'Hah, siapa? Lo nggak ada cerita-cerita ke gue ya. Ketemu siapa? Lo nggak kenapa-kenapa, kan?'

"Gue nggak apa-apa." Tari yang sedang berada di luar ruang rawat sedang menghubungi Nadia. Ia merasa tak nyaman sendirian gara-gara pria itu.

"Jadi, sebulan lalu gue pernah nggak sengaja ketemu seseorang di My I, kecelakaan sih, gue kepentok gitarnya. Kayaknya dia salah satu penampil di My I." Tari mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan. "Oh, dia juga yang anterin gue pas ban mobil gue kempes."

'Dan lo nggak cerita sama sekali ke gue, Tar?'

"Maaf, Nad, gue lupa karena ya gue pikir nggak penting. Tapi semalem gue ketemu dia lagi, pas gue ke Rumah sakit nyusulin Nenek. Istrinya lahiran, Nad."

'Terus apanya yang aneh, Tar?'

"Tadi dia ketemu gue terus ngasih kemeja sama sarapan, soalnya semalem dia nabrak gue dan numpahin kopi ke baju gue. Katanya sebagai permintaan maaf."

'Ya, bagus dong, kan dia niat baik, Tar.'

"Iya, gue pikir juga nggak apa-apa awalnya. Tapi barusan gue liat dia keluar Rumah sakit meluk wanita yang lebih tua dari dia. Yang jelas itu bukan istrinya yang baru lahiran, dong. Mesra banget masuk mobil, Nad."

'Lo yakin dia sama wanita lain? Bahaya nih, Tar, kalo lo asal tuduh.'

"Gue tadi liat pas di parkiran, Nad."

Nadia terdengar menghela napasnya panjang, 'Tari Sayang, coba dengerin gue. Menurut gue ya, lo nggak boleh negatif thinking dan asal judge orang gitu aja. Apalagi kalian nggak saling kenal. Ya, mungkin kalian ketemu bebrapa kali tanpa sengaja, tapi ya udah biarin aja.'

Tari hanya diam, maksudnya tadi mengatakan pada hal ini pada Nadia adalah bukan hanya karena dia asal menuduh saja. Ia juga bukan tipe orang yang suka ikut campur atau kepo dengan hidup orang. Tapi pria itu sedikit pengusik perhatiannya, seperti ada sesuatu yang berbeda hingga membuatnya penasaran. Memang salah sih, ia tak seharusnya penasaran dengan suami orang.

"Tar, maaf, bukan maksud gue bilang lo terlalu ikut campur atau kepo dan menyinggung perasaan lo. Tapi, gue harap penilaian lo sama cowok nggak berubah stelah apa yang Revan lakuin ke lo. Nggak semua cowok kayak Revan, Tar."

Kan, ujung-ujungnya memang semua hal kembali pada Revan. "Iya, gue tau kok, Nad. Thanks ya, udah ngingetin."

'Tar, gue gini karena gue sayang lo. Gue nggak mau penilaian lo jadi terpengaruh sama apa yang udah Revan lakukan.'

Sepertinya, Revan adalah sosok yang akan terus menghantui hidupnya. Karena sekarang ia melihat Revan di depan pintu lobi Rumah sakit bersama wanita yang familiar di ingatan Tari.

"Van..." panggilnya tanpa sadar, melangkah mendekati sepasang manusia yang kini menoleh dan menatapnya terkejut.

"T-tari...?" Revan yang menatap dengan kedua mata membola saking tak menyangka bertemu Tari di sini. "Kamu, ada apa ke sini?"

Tatapan Tari kini terarah pada tangan Revan dan wanita itu, saling menggenggam. Ah, rupanya rasa sakitnya masih sama, bahkan lebih menusuk melihat kenyataan di hadapannya.

"Kamu... setelah semuanya, kamu hidup dengan baik-baik aja, Van?" lirihnya menatap pada Revan yang salah tingkah.

"A-aku baik, Tar. Kamu sendiri, gimana?"

"Hancur, Van. Apa kamu nggak bisa liat itu?"

"Tar.. aku..."

"Revan, perut aku sakit, bisa cepetan nggak?" wanita itu merajuk pada Revan, sambil mengelus perutnya yang sedikit tampak membuncit, membuat Tari berdecih tanpa sadar.

"Harusnya aku yang kamu perlakukan seperti ini, Van. Harusnya aku."

Revan terlihat bimbang, tatapannya pada Tari seolah mengatak kalau ia masih memiliki rasa yang tersisa pada perempuan yang tiga tahun menemani hidupnya itu.

"Tari, maaf aku..."

"Ngapain kamu minta maaf, dia bukan perempuan spesial sepertiku yang bisa dapetin kamu, Van. Kalian udah selesai. Kamu suamiku, dan sekarang aku mau kamu anterin aku masuk Van." Wanita itu berkata dengan nada sinis dan sengaja menyinggung Tari.

Sontak Tari balas menatap sinis pada wanita yang telah mencuri Revan darinya. Bahkan ia sama sekali tidak pernah mengenal wanita ini sebelumnya. Kenapa wanita ini memandang rendah dirinya hanya karena ia tak bisa memiliki Revan?

"Ternyata pilihan kamu nggak sebaik itu, Van." Sekali lagi Tari mengucapkannya dengan dingin, hatinya sakit luar biasa. Ia berusaha tegar dan tak runtuh di depan wanita pencuri kekasih hatinya ini.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, wanita itu kemudian menarik paksa lengan Revan untuk masuk dan meninggalkan Tari berdiri di depan pintu lobi.

Kenapa kamu nggak terlihta seperti revan yang selama ini aku kenal?

Kenapa kamu berubah, Van?

Tanpa sadar, emosi yang dia tahan sejak tadi, tiba-tiba luruh menjadi air mata yang membasahi pipinya. Tari tak peduli lagi pada tatapan orang-orang yang melewatinya karena menangis di depan pintu. Ia baru merasakan bahwa luka yang diangggapnya segera sembuh itu nyatanya lebih dalam dari yang ia pikirkan.

Menutup wajahnya, Tari terisak.

"Hei, lo kenapa? Nggak apa-apa, kan? Ada yang sakit?"

Suara seseorang yang tak asing memasuki pendengarannya, namun Tari tak ingin menjawab. Ia ingin dibiarkan sendirian. Tetapi sentuhan lembut di bahunya itu entah kenapa membuatnya terdiam saat dibawa menepi ke salah satu bangku di depan lobi.

"Lo kenapa? Perlu gue panggilkan suster?"

Tari membuka tangannya dan mendongak, lalu wajah yang tak asing itu ada di hadapannya. Menatapnya dengan khawatir.

.

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro