Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11. Pertemuan Kali Kedua?

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.

.

.

Derap langkah itu terdengar menggema di lorong Rumah sakit yang tergolong sepi mengingat sekarang pukul sembilan malam. Beberapa orang yang menatap heran pada dua orang yang seperti sedang balap lari itu menuju meja resepsionis.

"Selamat malam, maaf, Sus. Apakah ada pasien masuk atas nama Ibu Surita?"

"Maaf, Sus. Apa ada pasien melahirkan atas nama Manda?"

Petugas resepsionis itu bingung, bergantian menatap dua orang yang terengah dan menuntut jawaban darinya itu. "S-sebentar, saya cek dulu ya, Mbak, Mas," jawabnya kemudian melihat daftar masuk di mejanya.

Tari melirik laki-laki di sampingnya yang terlihat tegang itu. Ia berdecih dalam hati mengingat konfrontasi yang terjadi diantara mereka tadi di depan pintu My I. Lagi-lagi mereka bertemu karena kecelakaan yang tidak menyenangkan, oh, mungkin lebih tepat disebut situasi yang tak menyenangkan. Setelah saling sinis, keduanya seperti beradu waktu untuk buru-buru sampai ke Rumah sakit dengan mobil masing-masing.

"Ada pasien melahirkan atas nama Manda Safeetri, masuk tiga puluh menit yang lalu," ucap resepsionis yang langsung menarik perhatian laki-laki yang kemudian menghela lega itu.

"Kalau boleh tahu, di ruang mana, Sus?"

"Sedang ditindak di ruang operasi karena keadaan ibunya yang sudah lemas."

Laki-laki itu memejamkan matanya, lalu mengembuskan napasnya pelan. "Terima kasih, Sus. Saya akan cari keluarga saya yang lain."

Laki-laki itu menatap Tari beberapa detik sebelum mengalihkan tatapannya dengan sinis lalu berjalan pergi mendahului Tari.

Ngapain dia begitu ke gue, apa salah gue?

"Pasien atas nama Ibu Surita ada di ruang Dahlia nomor tujuh, ya, Mbak. Tadi sudah diperiksa oleh dokter, sudah bisa dijenguk."

"Ah, iya, baik Sus." Tari tergagap kaget, ia sampai lupa tujuannya untuk menyusul sang nenek gara-gara orang tadi. "Terima kasih, Sus."

Tari menyusuri lorong lagi, mencari letak kamar neneknya. Dalam perjalanan singkat itu pikirannya kembali pada sosok laki-laki itu.

Ternyata, istinya sedang melahirkan.
Pantas saja dia buru-buru dan panik.

Tari jadi merasa tak enak karena sempat sinis tadi. Tapi, bukan salah ya juga, sih. Laki-laki itu juga sinis padanya.

Ah, sudahlah.
Kenapa jadi memikirkan dia?
Dia kan suami orang.

Suami orang.

Apa Revan juga akan setanggap itu saat anaknya dari wanita itu lahir?
Pasti begitu.
Revan kan selalu cekatan dan perhatian.

Tari menghentikan langkahnya, menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Bukan waktunya ia memikirkan Revan. Ia kembali mencari kamar neneknya dan melihat papanya baru keluar ruangan.

"Pa, gimana keadaan nenek?" tanya Tari yang mengintip ke dalam melalui pintu.

"Alhamdulillah, nggak parah. Tapi ya harus dirawat soalnya hipertensi nenekmu kambuh, makanya sampe jatuh."

Tari memeluk Papanya, menenangkan pria yang disayanginya itu. "Yang penting Nenek udah dapat pertolongan medis yang tepat, Pa. Aku masuk dulu ke dalam, ya?"

Tari membuka pintu perlahan, melihat Mamanya terkantuk-kantuk di samping Neneknya yang diam terjaga. Diusapnya pelan lengan sang Nenenk dengan sayang, lalu dengan hati-hati Tari membangunkan mamanya.

"Mama pulang aja sama Papa, biar Tari yang jaga di sini."

"Kamu nggak apa-apa sendirian?" Mamanya menatap bergantian antara sang nenek dan Tari dengan khawatir.

"Nggak apa-apa, Ma." 

Tari meyakinkan orang tuanya agar pulang dan beristirahat. Toh, besok hari Minggu. Ia tidak bekerja, jadi menginap di sini semalam tidak masalah untuknya. 

Menyimpan tasnya di sofa, Tari menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan membersihkan dirinya. Hari ini ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Lagu di kafe My I, kecelakaan pada neneknya, juga pertemuan keduanya dengan si laki-laki itu.

Tunggu. Harusya laki-laki itu tidak termasuk dalam hitungannya. Untuk apa ia memikirkan orang asing yang baru dua kali ditemuinya itu?

Baru saja keluar kamar mandi, terdengar ketukan di pintu lalu disusul oleh muculnya sosok tak asing di pintu yang membuat Tari tersenyum lega.

"Hai, Tari."

"Mas Rian! Kok kamu di sini? Kata Om Daniel kamu tugas di Bandung?" seru Tari kaget tak menyangka sepupunya itu ada di Rumah sakit ini.

"Iya, semingguan kemarin ada tugas di Rumah sakit Bandung, semalem baru pulang. Tadi dapet kabar dari papamu kalo nenek jatuh. Aku buru-buru ke sini," jelas laki-laki bernama Rian yang kini dipeluk Tari dengan senang itu. Keduanya lalu duduk di samping tempat tidur sang nenek, menunggui wanita tua yang sangat mereka hormati itu.

"Padahal udah lama, hipertensi Nenek nggak kambuh, agak kaget tiba-tiba dikabarin tadi."

"Iya, Mas. Padahal Nenek rajin check up juga dianterin Papa. Aku juga kaget tadi ditelepon suruh cepet pulang."

Rian menatap sang nenek dengan sayang sebelum tatapannya beralih kepada tari. "Kamu gimana kabarnya, Tar?"

Yang ditanya tentu bingung, menatap Masnya itu sebelum menjawab, "Aku ya baik sih, Mas. Baik-baiki aja, alhamdulillah sehat."

"Hati kamu gimana?"

Pertanyaan yang to the point. Tari paham masnya ini selalu begitu, nggak bisa basa-basi. Ia tersenyum tipis  menatap Rian yang juga sedang menunggu jawabannya.

"Hati masih sakit sih, Mas. Nggak tau kapan sembuhnya. Tapi ya, aku harus tetap bertahan, dan hidup terus berjalan kan, Mas? Mungkin nanti seiring berjalannya waktu, sakitnya akan sembuh sendiri," jawabnya masih dengan senyuman tipis di ujung bibirnya.

Tangan kanan Rian terangkat dan mengelus kepala Tari lembut. "Sabar ya, Tar. Mas tau, kamu kuat. Pasti akan ada orang lain yang segera datang buat sembuhin luka kamu, kok."

"Amin, Mas."

Hal seperti ini jugalah yang membuat Tari menghindari bertemu dengan keluarga besarnya sejak pernikahannya batal. Rasanya ia tak mampu menghadapi tatapan mengkasihani yang ditujukan padanya. Meski situasinya adalah yang terburuk, Tari tak mau dipandang seperti itu. Karena pandangan yang seperti itu hanya semakin menambah rasa sakit di hatinya.

"Mas, mau kopi nggak? Tari beliin dulu ya, sekalian beli camilan soalnya aku laper. Atau Mas Rian mau dibeliin makan aja?" tawarnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kopi aja deh, Tar. Tadi udah makan sebelum ke sini."

"Oke, Mas. Tari titip jagain Nenek bentar ya, aku beli kopi dulu." Setelah mendapatkan izin dari Masnya, Tari keluar ke kantin Rumah Sakit, niatnya memang membeli kopi dan camilan yang bisa menemaninya nanti. Sekaligus menghindari pembicaraan tentangnya lagi.

***

"Lo nggak bisa cepetan pulang apa gimana, sih? Manda lahiran dan lo nggak pulang? Gila ya lo, Angga!"

'Ya gimana, aku nggak bisa cancel gitu aja meetingnya. Ayah nggak bisa datang juga soalnya.'

"Terus gue yang repot ngurusin Manda? Untung tadi dia nggak kenapa-kenapa pas ditemuin Bi Ana di dapur, udah pecah ketuban katanya.'

'Sorry, Cakra. Aku nitip Manda ya, ini juga kalo kamu mau ikut turun di kantor, aku nggak akan serepot ini sama Ayah.'

"Kenapa jadi nyalahin gue? Lo pikir gue sepaham itu ngurusin orang hamil dan sekarang lahiran? Lo tuh, bener-bener ya Angga!"

'Terserah kamu mau marah atau ngomel, yang jelas aku nitip Manda sampai aku bisa pulang. Besok aku usahakan pagi udah sampai Jakarta. Thanks, Cakra.'

"Angga! Hei, tunggu!" Cakra melihat ponselnya yang sudah putus sambungan. "Ah, sial!" umpatnya kesal.

Jika tak ingat ponsel baru di tangannya, pasti sudah ia banting benda elektronik itu. Berulang kali ia mendengus kasar, menarik napas panjang guna mengatur emosinya. Dia baru saja mengalami kepanikan yang nyaris membuat jantungnya berhenti berdetak.

Bagaimana tidak, ia sedang ada di MY I saat Bi Ana, ART di rumah Manda menghubunginya dengan panik mengatakan Manda sudah mau melahirkan dan pecah ketuban. Untung Bi Ana dan Pak Mulyono sigap membawa Manda ke Rumah sakit samapi ia menyusul ke sini.

Masih dengan emosi yang tersisa, ponsel di tangannya kembali berbunyi memunculkan nama Ibunya.

"Halo, Bu. Iya, Cakra udah di Rumah sakit. Ada Bi Marti sama Pak Mulyono juga. Masih di ruang operasi, harusnya udah hampir selesai sih. Ini udah hampir satu jam."

'Ibu perjalanan ke sana sama sopir. Ayah sama Angga nggak bisa pulang.'

"Iya, Cakra udah dikasih tau sama Angga, kok. Ibu hati-hati di jalannya. Nggak usah buru-buru, Cakra kan udah stand by di sini."

'Iya, kabarin ya kalau perlu sesuatu.'

"Iya, Bu."

Mematikan sambungan ponselnya, Cakra kembali menghela napasnya kasar. Mau kesal tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain menurut pada keadaan. Ia memutuskan untuk kembali ke ruang tunggu setelah membawakan makanan untu Bi Ana dan Pak Mulyono.

"Aduh!

Cakra kaget, pasalnya begitu ia berbalik, tubuhnya menabrak seseorang yang tadi tak terlihat olehnya.

"Maaf, Mbak! Maaf, nggak sengaja..."

"Masnya kalo mau balik, liat-liat dong. Kopi saya jadi tumpah, panas ini kena tangan sama baju!" perempuan di hadapannya itu meringis sambil menunduk ke lantai mencari tisu dalam tasnya. 

Cakra meminta tisu pada petugas kantin untuk membersihkan tumpahan kopi di tangan dan pakaiannya.

"Untung nggak banyak yang kena tangan, bahaya tau Mas, gimana sih!" Tari kesal menerima tisu sambil mengomel. Ia langsung melepaskan gelas kopinya begitu tertabrak tadi. "Duh jadi kayak gini, lain kali... Lo?" Tari baru saja mendongak dan menyadari siapa yang ada dihadapannya.

"Lo lagi?" Memejamkan matanya lalu mendengus kesal, Tari menatap Cakra. "Lo nggak bisa ya hati-hati? Kenapa sih, lo selalu bikin gue nabrak? Gitar, pintu, terus sekarang kopi?"

"Gue nggak sengaja, sorry."

"Sorry? Lo nggak sengaja? Liat apa yang lo lakuin, gue selalu kena sial tiap gue ketemu lo, ada dendam apa sih, lo ke gue?"

"Kan gue bilang nggak sengaja. Gue ganti kopinya."

"Nggak usah! Nggak butuh lo ganti! Liat baju gue jadi kayak gini. Lain kali pakai matanya untuk liat sekeliling biar nggak bikin orang lain celaka," dengus Tari kemudian beranjak pergi dengan langkah menghentak kesal kembali ke ruangan neneknya.

Sementara Cakra hanya memandangi sosok Tari yang menjauh dan menghilang di belokan koridor. Menghela pelan, ia membereskan kekacauan yang ia buat tanpa sengaja itu. 

Dia dan perempuan itu memang selalu bertemu  dalam situasi yang salah.

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro