Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Good to Me

Judul: Baik(nya) Untukku
Oleh: Penulis

Sesak dadaku.
Lelah badanku.

Semuanya memuakkan.
Rasanya menjijikan.

Relung hanya ingin menarik semua nafas.
Hilang sebelum meledak di dalam ampas.

Tidak ada pijakan, tidak ada topangan.
Tidak ada siapa pun, hampa tanpa pegangan.

Serasa memabukkan namun menyesatkan.
Sulit diungkapkan meski sudah lama tertahan.

Sunyi tanpa nadamu, gelap tanpa cahyamu.
Jiwa tidak lagi menggebu, hilang bersama debu.

Mengekang di ujung maut.
Menciut bagaikan seorang pengecut.

Tatkala hati ini merindukan titik temu.
Sebelum akhirnya diri ini menemukanmu.

~*~
.
.
.
~*~

"Apa? Lembur?"

Wanita di hadapannya mengangguk singkat. "Banyak hal yang harus diurus, jadi aku akan mengambil waktu lembur hari ini."

Mendengar itu, pria yang tengah melihat laporan sejenak pun hanya memaklumi saja. Kedua tangannya merapikan berkas untuk disimpan di dalam pembungkus berkas.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menjemputmu saat selesai—"

"Soal itu," Dia melanjutkan walau ragu akan lirikan balik, "aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu menjemputku."

Hal itu membuat dirinya terdiam sesaat.

Mungkin memang perlu untuk mengerjakan tanpa diganggu.

Keheningan melanda sebelum kepalanya hanya mengangguk saja. "Baiklah. Kerja yang benar."

"Baik, pak. Terima kasih."

Awalnya memang tidak masalah pada hari itu, karena mereka berdua sama-sama bekerja keras dalam melakukan urusan dalam karier. Tidak ada yang khusus dan masih bisa dimengerti.

Namun saat hal yang tidak biasa terjadi, masihkah untuk membiarkannya begitu saja?

Pria bernama Victor tersebut sekarang berada di dalam kendaraan pribadi yang berada di parkiran. Goldsman juga sudah mengurus segalanya di kantor dan akan segera pulang, jadi tidak ada hal yang perlu dilakukan lagi.

Kepala cerdasnya mengarah ke pemikiran seorang wanita beberapa minggu yang lalu.

Aneh sekali akhir-akhir ini, pikirnya sebelum mengelus dagu sendiri.

Dipikir-pikir lagi, semuanya mulai sedikit berubah.

Pasalnya, semenjak yang bersangkutan sering ijin kerja di batas jam kantor—apalagi selalu memilih pulang sendiri tanpa dijemput—waktu keduanya untuk bersama menjadi terpotong.

Padahal sudah menentukan tempat agar bisa rileks sejenak, tapi kencan kemarin saja malah tidak jadi berangkat. Hanya karena pekerjaan mendadak wanita itu dan dirinya yang harus rapat dengan klien, semuanya jadi berantakan.

Waktu terbuang sia-sia untuk pekerjaan yang dijalani, sehingga mereka tidak bisa melakukan hal yang biasanya dilakukan sebagai sepasang kekasih.

Sebenarnya ia tidak masalah kalau tidak kencan, tidak mengapa. Lagipula itu pun jika bisa dan ada waktu luang. Namun harusnya wanita itu tahu; jika ia tidak bisa jarang melihat wajahnya yang manis meski sering temperamen.

Setidaknya pria itu mendapatkan kecupan di pipi. Itu pun tidak masalah, malah digunakan sebagai penyemangat untuk kerja dengan giat.

Namun semenjak dia semakin lembur, semua sirna.

Boro-boro kecupan. Kata-kata seperti 'sampai nanti!' atau 'semangat kerja hari ini!' saja sudah tidak terdengar di telinganya beberapa minggu terakhir.

Mengingat hal itu lagi, Victor jadi bingung dan kesal karena melihat perubahan yang cukup mendadak.

"Stella, ada apa denganmu?"

Apakah ada sesuatu yang disembunyikannya, sehingga harus menghindar dari Victor? Dan kenapa sampai sekarang?

"Ini sudah tidak benar. Aku harus menemuinya sekarang juga."

Masa bodoh dibilang aksinya ini seperti penculik atau apa pun istilahnya. Yang penting ia bisa mengetahui apa yang sebenarnya diperbuat oleh sang kekasih.

Seperti ada getaran diatas dashboard mobil, tangannya yang berjam tangan Rolex mengambil sebuah ponsel pintar.

Ada pemberitahuan berisi 5 missed call dari nomor ponsel Stella.

"Untuk apa anak ini menelpon...?" Mengingat kalau wanita itu tidak suka menelpon kecuali akan suatu hal yang penting.

Dengan gesit, jarinya langsung menekan tombol di layar dan menaruh di depan telinga. Percuma mengirim pesan, karena pasti takkan dijangkau.

[H-Halo! Apakah ini dengan Pak Victor??]

Dahinya mengernyit.

Ini bukan suara Stella.

"Siapa ini? Kenapa ponsel Stella ada pada Anda?" tanyanya dengan suara serius meski mencoba untuk tidak berprasangka buruk.

Yang berada disambungan langsung menjawab sedikit panik.

[Maaf, pak! Nama saya Willow, rekan kerja Stella di kantor. Saya pakai ponselnya karena tidak tahu harus memberitahu pada siapa lagi. Mengingat Anda mungkin juga perlu tahu soal ini.]

"Memangnya ada apa?" Tangannya yang satu lagi mulai menyalakan mobil dengan kunci otomotif tersebut.

[Bos kami, Stella, pingsan sejak tadi sore.]

Badannya langsung diam terpaku.

Matanya sedikit terbelalak saat membeku ketika mendengar perkataan yang diberikan.

Seakan dunia berhenti berdetak.

"A-Apa?"

[Maafkan saya karena tidak memberitahu lebih awal! Tapi bos kami mendadak pingsan dan sekarang kami hendak merujuknya ke rumah sakit.]

"Jangan. Jangan rujuk dulu,"

Secepat kilat, ia menyalakan mobil sedan tersebut dan bersiap untuk meluncur.

"Siapa saja yang ada di kantor selain Anda?"

[Ada dua rekan kerja saya juga di sini.]

"Tunggui dia saja. Saya ke sana sekarang."

Telepon dimatikan secara sepihak oleh Victor, ditaruh—lebih tepatnya hampir dilempar—ke dashboard mobil sebelum fokus untuk menarik perseneling mobil dan mengemudikannya.

Seperti sedang ingin balapan, Victor melajukan kecepatan untuk keluar dari tempat parkir mobil di lantai bawah.

Seluruh badannya tegang. Meski hati mulai panik, tapi tampak wajahnya malah ditekuk sedemikian rupa. Seperti orang ingin membunuh.

"Stella..."

Tangan di kemudi semakin mengejang dan mengerat, memperlihatkan samar nadi.

Mentari mulai mengiringi senja, menciptakan pemandangan yang indah namun sendu. Hampir berparadoks akan apa yang dirasakan oleh pria berpakaian rapi tersebut.

Akan ia minta pertanggung jawaban sehabis wanita itu sadar.

Tak lama, Victor keluar dari mobil setelah memarkirkannya di depan sebuah gedung kantor televisi yang cukup tinggi.

Ia melangkahkan kaki dengan tegas dan cepat, masuk ke dalam lobi dan melihat resepsionis dan seorang wanita yang cukup terlihat dewasa menoleh padanya.

Wanita tersebut langsung bersikap lega dan mendekatinya.

"Nona Willow?"

Yang bersangkutan mengangguk cepat. "Mari ikuti saya, pak!"

Keduanya langsung naik ke elevator yang berada di tengah dan memencet salah satu lantai tempat kerja. Willow langsung menceritakan kronologi setelah dipinta oleh sang pria bermata kelabu tersebut.

"Apakah ada projek besar yang sedang dikerjakan oleh kalian?"

"Sejauh ini, ada program 'Miracle Finder' dan 'Five Senses' yang baru diluncurkan kemarin minggu lalu. Selebihnya hanya soal administrasi, riset anomi masyarakat dalam bidang broadcasting, serta pembukaan lowongan kerja magang. Itu saja, pak."

Jadi hanya dua projek program besar saja, itu pun sudah minggu lalu.

Lalu untuk apa sampai Stella memaksakan diri untuk lembur meski sudah selesai perencanaan dan penayangan?

Bunyi elevator tanda tiba telah terdengar, Willow memimpin jalan disusul oleh Victor dan keluar dari sana. Mereka berdua menuju lorong tempat dimana para karyawan dan ruangan atasan berada.

Ketika pintu dibuka, ada dua orang yang berada di dekat sofa dan seorangnya lagi tengah terbaring diatasnya.

"!"

Seorang wanita muda dan berambut coklat kemerahan tengah tak sadarkan diri, terbaring dengan tidak berdayanya di atas sofa kantor yang tersedia.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Willow mendekati kedua rekan kerja.

Sang lelaki muda—Leo—menggeleng pelan, agak mengerutkan dahinya. "Kiki sudah memberikan minyak kayu putih, tapi belum sadar juga."

Mendengar itu, Willow menghela nafas risau, lalu menoleh pada Victor yang diam dekat sofa dan menatap bosnya yang terbaring.

"Padahal kami sudah menyuruhnya untuk tidak memaksakan diri, tapi bos tetap saja tidak mendengarkan..." Wanita berwajah manis dan sedikit kekanakkan berujar dengan sedih saat menyambung perkataan Willow.

"Oi, jangan memperkeruh suasana."

"Habisnya bos masih saja lembur. Tidak istirahat sama sekali!"

"Sudah, sudah... Kiki, Leo. Jangan bertengkar..."

Seperti menulikan segala hal, telinganya tidak menangkap suara apa pun dan mendekati sofa tersbut. Victor hanya bisa berdiri dengan wajah datar dan tatapan rumit di pandangan yang tertera. Terlihat dari wajah sang wanita, kantung mata mulai terbentuk, disertai wajah yang lesu membingkai lemah. Sudah terbayang namun tidak menghalangi bagaimana paras ayu membentang.

Pasti karena begadang dan lembur, makanya jadi kusut begini.

Hanya itulah yang dipikiran sebelum tanpa kata mendekati untuk berjongkok.

"Sudahlah—eh, lho, pak?! Bos?!"

Salah satunya mencicit, sedikit kaget dibarengi oleh wajah shock kedua rekannya.

Dalam sekali angkat, tubuh ringan Stella yang lemah dibawa oleh Victor.

"Saya akan bawa dia pulang. Liburkan semua jadwal untuk besok. Jangan buka mulut soal ini lagi. Paham?"

Diancam tanpa sadar begitu, ketiganya mengangguk patuh dan cepat. Bahkan tatapan mereka masih melekat ketika Victor keluar dari ruangan dan menuju elevator, hingga tidak terlihat lagi sosok keduanya.

Victor sudah tidak perduli lagi akan tatapan orang yang melihatnya keluar dari sana dengan sosok wanita di gendongan.

Hal terpenting sekarang adalah yang berada di dekapannya saat ini.

Memasukkan badan sang wanita perlahan ke kursi sebelah pengemudi, dirinya juga masuk lalu tancap gas secepat yang ia bisa semaksimal mungkin.

Sementara itu di ruangan kerja, ketiganya masih bercengkerama akan kejadian tadi.

"GILA, PAK VICTOR KEREN BANGET!!!"

"Bos Stella seperti putri pas diangkat begitu! Kyaa, irinya!!~"

Melihat Leo dan Kiki menggila begitu, Willow hanya bisa tertawa garing.

"Yah, setidaknya bos bisa berhenti lembur dulu. Mau makan juga sepulang ini?"

"Tentu! Aku lapar sekali!"

"Aku juga, kak Willow!"

Maka dengan begitu, berakhirlah jam kantor di perusahaan pertelevisian pada hari itu untuk dilanjutkan besok.

***

Tempat itu masih sama seperti ketika terakhir ditinggalkan. Meski Stella bukanlah orang yang bersih sangat, namun setidaknya barang-barang wanita tersebut cukup rapi untuk tingkat kebersihan pemula. Kadang Victor bingung sendiri, bagaimana bisa wanita bermata giok tersebut menjalani hari di apartemen kecil nan manis yang ia masukki sekarang.

Tumben sekali kekasihnya ini belum bangun juga meski sudah digendong dan mendengar suara bising dari hiruk pikuk kota Lianyu selama menyetir.

Pasti memang capek sekali, pikirnya demikian sebelum masuk ke dalam kamar wanita tersebut.

Minim sekali dekorasinya. Hanya ada sebuah kasur berseprai ungu pastel dengan sepasang guling dan bantal. Di sampingnya ada meja buffet yang dihiasi jam weker ukuran kecil. Sebuah lemari ukuran sedang yang berisikan baju dan gaun tidur digantung. Meja satunya disediakan kursi kayu dan bantal agar nyaman duduk.

Setelah melepas sepatu dan atribut luar kecuali pakaian, Victor membaringkannya diatas tempat tidur dan menyelimuti badan Stella. Dari sudut matanya, ia menengadah dan memperhatikan kalau ada sesuatu yang menarik pandangan pria tersebut.

Saat perlahan mendekati agar tidak berisik, tangannya mengambil salah satu buku yang ada di atas meja belajar kayu jati. Keningnya berkerut melihat apa yang dilihat.

Beberapa tumpukan buku masak untuk pemula, berisikan makanan pembuka mau pun penutup. Satunya lagi buku masak khusus makanan bento. Bahkan ada beberapa buku tentang keuangan dan industri yang cukup berat, ditumpuk di atas sebuah laptop putih perak yang tertutup. Di sampingnya, sebuah buku binder yang dicorat-coret dengan urakan. Dari tinta pena biru sampai warna warni berjamuran dan kertasnya bertumpuk tak beraturan dimana-mana.

'Buat lagi!!!'

'Percobaan ketiga baru sesuai rasanya.'

'Susah cari bahannya.'

'Besok harus masak lagi. Katanya asam.'

'Pepet terus sampai mampus pepesnya!!!'

Dan masih banyak lagi, tapi tetap tidak bisa dibaca. Victor tahu karena tulisan Stella seperti cacing kepanasan yang naik ke daratan mencari oksigen.

Dipikir-pikir lagi, Victor hanya mendapatkan kiriman makanan yang terlihat baru dimasak sebagai pengingat untuk makan siang selama seminggu penuh. Tapi pada minggu berikutnya, hanya beberapa hari dalam sekali. Dan kebetulan, hari ini pun tidak ada.

Otaknya semakin bekerja keras memeras informasi yang didapatkan.

Jadi selama ini, selain lembur, bahkan dia juga memasak makanan yang baru dipelajari?

Tapi untuk apa?

Biasanya juga Victor yang membuat makanan. Itu pun pudding dan cemilan yang sehat, karena prihatin akan gaya hidup serta pola makan Stella yang barbar.

Mana ada wanita makan tiga bungkus mie instan super pedas dalam sekali hantam?

Apakah jangan-jangan, masalah lembur itu karena ini...

Victor menoleh ke si yang tertidur, padahal biasanya Stella akan menyeplos sinis balik sebelum tersenyum lebar meski dimarahi olehnya.

Tatapan sedikit melembut dan ia duduk di sebelah kasur. Tangannya dengan lihai menarik kursi belajar di dekat sana.

Wanita tersebut terlihat lebih muda dan polos saat tertidur dengan pulasnya. Bahkan dengkuran halus terdengar samar dari bibir tipis ranum yang berlapis lipbalm.

Dari segala masam jenis wanita yang menghampiri, hanya Stella yang bisa membuat dirinya terpacu.

Apakah karena seleranya dalam memilih wanita sudah aneh sejak dulu? Atau karena masa lalu mereka berdua yang terikat?

Semenjak Stella masuk ke dalam kehidupannya, hal di sekitar jadi lebih terang. Bahkan setelah lama tak bertemu sekian lama, perasaan ini justru mengembang dari rindu menjadi suatu hal lain.

Semuanya jauh terlihat lebih... apa, ya namanya?

Indah?

Cerah?

Sejuk?

Ia sendiri sudah kehabisan kata.

Victor juga tidak paham soal hal yang berbau cinta dan menye-menye. Namun, hati lelaki itu merasa kalau hal yang dialaminya tidaklah salah.

Semuanya terasa benar.

Dirinya melakukan hal yang benar.

Stella adalah kebenaran baginya.

Akan ia lindungi hingga titik nafas penghabisan.

Berandai seperti itu, Victor jadi ingin tertawa.

Hah, rasanya seperti seorang tentara mengabdikan diri pada negerinya.

Victor memegang tangan diatas selimut dengan pelan, jika dilakukan lebih erat bisa saja membuat yang dipegangnya saat ini remuk seketika.

Saat itu juga, badannya seperti menahan diri untuk tidak mendongak. Kepalanya terus menunduk, perlahan dahinya berada di kedua tangan sendiri yang memegang milik sang wanita.

Yang dipegang hanya tertidur pulas dan tak terganggu sama sekali.

"Aku bisa mati hanya karenamu..."

Gumaman itu pelan tapi lembut disaat bersamaan, kontras dengan sikapnya yang berupa keras.

Pemikiran tersebut terpecah saat mendengar bahwa wanita tersebut memanggilnya dalam tidur.

"Mnghh... Victor.."

Kepalanya mendongak, memperhatikan gerakan samar sang wanita.

"Nghh.. Puddingnya kemanyisan... Zz... Buat yang.. keju juga.. Zzz..."

Ingin sekali ia rekam supaya kekasihnya ini malu sampai seminggu ke depan. Pasti menyenangkan.

Senyum setipis lidi terpapar di wajah tampan Victor.

"Tentu. Akan kubuat yang lebih manis melebihi dirimu."

Perkataan balasan tersebut hanya terdengar oleh sang pembicara sendiri, tidak sampai pada yang bersangkutan.

Tapi tidak mengapa, yang penting Victor bisa bersama dengan Stella meski dalam secara sepihak.

.
.
.
~*~
Extra
~*~
.
.
.

"Jadi begitulah."

Waktu berlalu begitu cepat. Senja melembanyung disaat ia merawat terkasih, hingga tak sadar dalam penjagaannya.

Wanita bermata giok tersebut sudah sadar, dan Victor tidak memberinya ampun demi menjelaskan semua yang dilakukan selama beberapa minggu lalu hingga kecapekan kerja.

Victor hanya diam mendengarkan, masih meminum kopi kalengannya dengan khidmat dan menatapnya datar di pandangan. "Lalu yang kau lakukan waktu itu, adalah untuk membuat dirimu memamerkan kemampuan padaku?"

Mulutnya mengerucut, menyinyir pelan. "Kalau bukan untukmu memangnya buat siapa lagi?"

Dikarenakan Stella yang melihat Victor yang hampir sempurna dalam segala hal, maka dirinya hendak bertekad untuk bisa mengimbangi si yang dipacari. Memasak dan membuat kudapan, pandai dalam keuangan, bekerja giat dalam melihat investasi, serta banyak pekerjaan lainnya sebagai seorang bos juga. Mana jika ada yang tidak bisa dilakukan oleh Victor, maka Stella berusaha untuk melampaui dan membantu sebisa mungkin.

Mendengar penjelasan yang sedemikian rupa, Victor memijit batang hidungnya dengan lelah.

Di satu sisi, sudah cukup akan kerepotan menjaga dirinya yang sampai pingsan hanya karena hal sepele tersebut. Namun di sisi lain, lelaki itu juga sedikit senang. Karena dirinya, si yang bersangkutan jadi lebih mengembangkan diri untuk menjadi lebih baik.

"Tapi tidak sampai pingsan juga, bukan..." katanya sembari meletakkan kopi kalengan di meja.

Kepala Stella menunduk pelan, memainkan jemarinya yang memegang secangkir teh melati. Pemandangan dirinya ada di genangan dalam barang pecah belah berwarna hitam tersebut.

"Kuakui aku salah. Tapi setiap melihatmu bekerja keras, rasanya tidak adil jika aku masih terjebak di kemampuan yang sedang-sedang saja."

Sebenarnya alasan asli mengapa Stella sampai memaksakan diri adalah gosip yang beredar di sekitar sesi kantor karyawan dekat ruangan kekasihnya; bahwa dia membuka kaki untuk menyelesaikan masalahnya pada Victor. Tentu saja, tidak mau berprasangka buruk pada orang-orang yang membuat gosip. Lagipula tidak ada gunanya bertengkar akan hal yang bahkan tidak terbukti seperti itu. Jadi sebagai dampaknya, Stella mencoba untuk mempelajari kemampuan yang dipunyai oleh Victor.

Berharap agar gosip itu reda dengan sendirinya, dan yang lebih baik lagi; Victor tidak perlu mendengar gosip tak berdasar. Karena Stella bisa menebak, jika Victor mendengarnya langsung maka bisa saja lelaki itu memecat tanpa hormat orang-orang yang mencemoohnya. Untuk kasus ini, dia sudah tutup mulut dan telinga.

"Aku tidak ingin jadi beban."

Perkataan yang bisa jadi disimpulkan sebagai pernyataan tersebut memaksa keheningan kembali.

Tangan Victor menyentil dahi Stella dengan keras, menghasilkan keluhan dari si korban.

"Aduh, sakit! Dahiku..."

"Dasar bodoh."

"Iya, aku tahu kalau aku bodoh! Silakan hina aku sesukamu, Tuan Victor~" sarkasnya sembari mengelus dahinya sendiri, meringis pelan tanpa melihat Victor tersenyum tipis sepersekian detik sebelum mendengus singkat.

"Kalau kau tahu kemampuanmu segitu saja, untuk apa memaksakan diri? Sama saja buang-buang tenaga."

"Hei! Tapi setidaknya aku mencoba! Aku juga ingin meningkatkan kemampuanku!" belanya sambil menyeruput teh melati dan meletakkan di meja samping kasur.

"Tidak usah sok kuat," Tangan lelaki tampan tersebut menggapai tangan yang lebih kecil darinya untuk dipegang, "untuk apa aku di sampingmu kalau tidak membantu juga?"

Victor menatapnya lekat, agak mendekat pada sang wanita yang terdiam sejenak. Terlihat tulus meski sekejap di kilatan mata kelabunya.

"Kau itu kekasihku, bukan beban. Jadi jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi. Paham?"

Stella terpaku menyendu ketika menatapnya balik. Tangannya meremas kembali dibarengi rona merah di kedua pipi.

"...Ya."

Begitu lebih baik, Victor mengangguk puas mendengarnya.

"Sekarang simpan tenagamu dan istirahat. Besok kau tidak perlu bekerja."

"Hah? Tapi—"

"Akan kubuat badanmu ngilu kalau kau tidak menurut."

Stella kicep, dan meringkuk makin menempel di kasur. Mukanya pucat ketika mendengar coretancamancoret dari Victor.

Tangan keduanya juga sudah lepas, memudahkan lelaki berpakaian rapi tersebut untuk menyelimuti wanita yang berbaring.

Perlahan, Stella agak bangun. Lalu dia menengadah sesaat untuk menghadiahkan kecupan malu di pipi Victor.

Agak terkejut namun melembut, hatinya lega bisa merawat wanita yang dicintainya. Ia tahu kalau yang berbaring sekarang ingin memberitahukan kalau dia baik-baik saja.

Senyum tipisnya mengembang saat selesai menyelimuti.

"Karena kau libur besok, aku akan menginap di sini."

"Mesum!"

Tawa menggelegar sesaat di kamar sebelum mengelus kepala sang wanita yang beristirahat. Lelaki tersebut pun menemaninya untuk hingga tertidur.

Di malam yang mulai dihiasi bintang dan bulan di angkasa, pikiran Victor mulai berkelana sejenak ketika memandang dan tangan kembali menggenggam di sisi pinggir. Bahkan ia bisa saja tidak perduli mau sampai kesemutan atau apa pun.

Yang terlintas di sanubari hanyalah kekaguman pada wanita yang tidak terpikirkan hingga sekarang.

Ibu jarinya mengelus pangkal jemari yang berkulit halus.

Dalam hati, mana bisa menghiraukan dirimu. Tampak lemah dan manis jika tidak berdaya seperti ini.

Sekarang, tidak ada yang bisa menghalangi untuk melindungi dirimu.

Karena kau, adalah segalanya bagiku.

.
.
.

Fin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro